Sahur Aceh Kini & Dulu

:mengenang MoU Damai Aceh [sekadar wacana saja].

doc. galleryaceh.blogspot.com
Ketika sejarah terbakar di pakaianku/dan kuku-kuku biru tumbuh dalam kitabku/Ketika aku berteriak kepada siang hari-/siapakah engkau, siapa yang melemparmu/ke dalam buku-bukuku/ke bumi perawanku?/aku lihat dalam buku-bukuku/di bumi perawan/ dua mata debu/Aku dengar seseorang berkata:/ "Aku adalah luka yang mulai membesar dalam sejarahmu yang kecil" --Ali Ahmad Said (Adonis)--

Jika waktu memang telah betul benar sahur. Mari bangun. Lepaskan diri dari berbagai unsur dengkur dan lelap mata tidur. Kita regang tubuh dari empuknya kasur, untuk kemudian lekas menuju dapur. Lantas mari kita siapkan menu-menu sederhana sambil kembali mengingat-ingat sesuatu perkara agar kita tak lekas lupa. Sebab sebelum pikun adalah bajik bagi kita untuk tidak melupa. Kita makan dengan sederhana pula. Tak perlu mesti lekas, tak usah dengan mata awas. Kita makan tanpa memendam rasa was-was. Sebab imsak tak lekas datang. Tak akan benar-benar datang sebelum padanya subuh jinjit menguntit.

Imsak yang dengannya mengingat kita pada pertanda adalah benar-benar pertanda adanya; dimana ketika imsak tiba, kita sudah tak boleh menyantap sesuatu apa. Pertanda yang ditanda dengan bunyi sirene dari corong-corong pengeras suara di meunasah-meunasah. Maka kita berpuasa pula setelahnya.

Bersoal sahur yang sedang kita lalu ini, adalah mesti pula ianya kita mengingat sahur-sahur terdahulu. Sahur pada tahun-tahun yang telah lalu. Khusus pada tahun-tahun ketika orang-orang masih banyak memegang senjata ketimbang memegang perkakas-perkakas kerja. Tentu ini bukanlah sekadar mengingat untuk mengungkit suatu luka yang telah kita kubur. Namun perkara ingatan ini lebih kepada mengingat agar kita tak lupa pada sesuatu yang membuat luka. Sehingga esok hari kita tak lagi berjalan di jalur yang mengarah langkah kepada suatu lubang, dimana sebelumnya kita pernah terpuruk masuk di dalamnya. Atawa boleh jadi pula ingatan ini adalah sebagai cerita-cerita yang patut didengar dengan khidmat oleh anak cucu kita sehingga kelak mereka dapat mengambil pelajaran karenanya.

Sahur terdahulu. Sahur pada tahun-tahun dimana terlalu banyak dentum yang menderu. Dimana sahur yang ketika kita sedang makan sering dikejutkan oleh bunyi gemerisik di luar rumah. Gemerisik jang mengusik. Tapi kita tak berkutik, walau pun untuk sekadar menelisik. Kita kerap menamakan sahur-sahur tersebut adalah sahur tahun-tahun getir. Sahur khawatir.

Maka mengingat yang begini rupa adalah sama halnya mengingat sejarah. Asbab, sejarah yang mesti diingat itu bukan melulu cerita-cerita gemilang saja tentunya. Pula sahur pada tahun-tahun getir itu adalah sejarah kecil bagi kita semua. Yang patut oleh kita mengingat demi terwujud rasa syukur dalam dada. Rasa yang timbul setelah kita merasakan banyak getir pada dulu waktu, dan sekarang hilang dengan usaha-usaha yang telah kita laku. Kita mesti bersyukur karenanya. Bersyukur dan tetap berusaha tentunya. Sahur pada tahun-tahun getir, sebenarnya bukan hilang secara permanent begitu saja. Ini mesti kita camkan dengan cermat dan kita tanam dalam pikiran, dalam-dalam, lamat-lamat. Sahur yang mengkhawatir itu masih ada bekas atawa jejak yang tertinggal di belakang langkah kita sekarang ini. Karenanya, kewajiban kita untuk terus menjaga ini keadaan. Agar tak sampai lagi sahur kita kembali menjadi sahur pada tahun-tahun yang menakutkan itu. Cukuplah kita saja yang pernah mengalaminya, dan cukup pula anak cucu kita mendengar saja cerita-cerita yang ada. Jangan sampai mereka mengalami apa jang pernah kita alami. 

Cukup sahur di sini. Jangan tambah lagi nasi!

Bivak Emperom, 16 Ramadhan 1432 H. 

Comments

  1. sahoer tanpa bedil seperti soenji ianja..maka, lekas pegang senjata

    tabik

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra