Posts

Showing posts from May, 2013

Menolak Lupa Tragedi Diana

Image
tulisan ini telah dimuat sebelumnya di the atjeh post   dengan judul Setelah Diana Berada Di Surga AMIRUDDIN, dalam keadaan payah hari itu. 4 April lepas zuhur di ruang Kanit I Polresta Banda Aceh ia tampil dengan balutan seragam tahanan berwarna oranye bernomor dada 44. Bersama teman ‘seperjuangannya’ Hasbi, ia hanya menunduk saja dan tak berani bertatap muka. Perlahan saja ia beri keterangan. Dengan bibir yang malas digerakkan, ia mengaku, “Saya dan Hasbi memperkosa dan membunuh Diana.” Amiruddin mengaku. Hasbi mengangguk setuju. Diana telah dimangsa syahwat kesumat mereka. Ada cerita beringas terdengar. Cerita yang membuat pikiran kita terasa bingar oleh sadisnya ulah yang tak punya hati dan akal. Begitulah. Cerita keduanya, bagi kita yang punya akal dan nurani, bisa bikin mual-mual. Kita mesti membelokkan cerita kepada isu tentang bagaimana perasaannya ketika mengeksekusi seorang bocah tanpa dosa. Sekali lagi keduanya lesu. Ruangan jadi bisu. Sementara sang penyid

Putri Yang Berulang Tahun

Image
Kemarin satu sms masuk dari adik paling bungsu. Bunyinya; ehai, long ka 18 thon (euy, saya sudah 18 tahun). Hmm... Aku lupa. Aku tak ingat sama sekali 22 Mei adalah tanggal hari lahirnya. Tahun ini angka 18 menyatu dengan umurnya. 18 tahun sudah usia si adik bungsu. Adik bungsu perempuan bernama Nur Rizqa yang kami sekeluarga memanggilnya Putri. Selepas membaca pesannya di ponsel, aku nyengir sendiri. Betapa ingatanku tentang tanggal-tanggal penting semisal tanggal lahir adikku itu tak pernah lekat di kepalaku. Tapi bicara tentang Putri, tak ada ingatan lain yang sekarang menyarang di kepala kecuali kenangan akan seisi keluarga. Ingatan tentang Pak Chik, Ma Chik, Ma Yeuk, Ayah, dan Cek Na. Lima orang yang telah membesarkan kami dengan kasih sayangnya, yang kini sama sekali tak bisa kami jumpai lagi di rumah atau di seisi dunia. Lima orang hebat yang telah membentuk watak kami tak kecuali Putri, adikku yang bungsu, yang kemarin berulang tahun itu. Lima tokoh penting yang sebelum ber

Hilversum vs Radio Rimba Raya

Image
sebelumnya tulisan ini telah dimuat theatjehpost   Dalam sejarah perjuangan Indonesia, sudah jelas Serangan Umum 1 Maret 1949 akan tidak ada jika Belanda tak melancarkan agresi keduanya. Setelah agresi militer jilid II Belanda berhasil menguasai Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Republik Indonesia yang baru seumur jagung itu linglung. Presiden dan Wakil Presiden dengan segenap pembesar revolusi lainnya ditawan. Saat itu Indonesia memang benar-benar dalam keadaan rawan. Untung saja, walaupun kondisi negara sedang di ujung tanduk, sebelum tentara Belanda belum sempat masuk; Panglima Besar Soedirman yang dalam keadaan sakit melapor ke Presiden. Setelah itu ia mengumumkan perintah singkat ke seluruh Indonesia. Itu pesan di siar melalui radio saja. Sebab zaman baru-baru merdeka itu, apa lagi dalam keadaan darurat, televisi sama sekali tidak membumi. Empat butir perintah singkat, yaitu: 1. Kita telah diserang , 2. Pada tanggal 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda

Kau Tahu Siapa Aku?

Adakalanya aku menjelma patung yang dipahat sembarangan oleh seorang tukang patung amatir. Adakalanya pula aku berupa manekin bekas terpajang sepi di sudut toko pakaian obral milik seorang pesakitan yang sejak dari lahir menderita ketimpangan otak sehingga agak sedikit susah kalau diajak berpikir. Meski begitu aku tak pernah mengeluh ketika pada saat-saat tertentu harus menjelma serupa ini atau itu. Aku sama sekali tak menggubrisnya kecuali hanya menjadikannya sebagai bagian dari hidup yang memang sudah begitu adanya. Kadang sempat terpikir tokoh aku sendiri bukanlah benar-benar diriku yang sedang menulis ini. Aku yang menulis tulisan ini adalah tidak sama dengan aku yang membacanya. Atau bahkan tidak sama pula dengan aku yang ada di pikiranku. Aku sendiri, aku yang sempat berpikir, aku yang berpikiran, aku yang menulis, aku yang membaca, adalah keaku-akuan yang jika dijabarkan terdapat saling-silang sengkarut perbedaan.Tapi untuk mendefinisikan perbedaan pun, dengan terpaksa mesti