Posts

Showing posts from February, 2013

Kurator Lukisan Adalah

Image
source: senirupa Mungkin kita tak pernah bisa mengerti bagaimana bentuk otak seorang pelukis. Entah bagaimana pandangan kasat mata bisa diterjemahkannya dalam sebuah lukisan yang tak kalah nyatanya dengan apa yang pernah kita pandang dengan mata telanjang. Inilah yang disebut sebuah keahlian. Dan di berbagai negara sebagaimana penduduk bumi di belahan dunia lainnya selalu menyisakan tempat bagi setiap perupa untuk terus berkarya. Menerjemahkan lukisan dalam kata, bagi kita yang awam, adalah sama halnya dengan seorang bocah yang mencoba membaca koran dalam keadaan serba gesa. Tapi ini tentu saja tidak berlaku bagi seorang kurator lukisan ulung. Seorang yang hampir saban waktu mendelikkan biji matanya untuk lukisan-lukisan yang ada dan kemudian menerjemahkan itu lukisan dalam sebuah bacaan yang mengasyikkan adalah seseorang yang telah diilhami otak mumpuni walaupun hanya sekadar untuk menangkap isi hati si pelukis itu sendiri.

Egosentrisme Aceh

Aceh punya sejarah panjang. Saking panjangnya kita yang hidup dalam generasi modern ini tak sanggup menghitung atau mengukurnya. Yang dalam kepanjangan sejarah tersebut telah terlalu banyak hadir fenomena-fenomena yang mencengangkan mata dunia. Konon lagi mata Indonesia, sebagai negara yang menaungi negeri Aceh tempat kita beranak pinak ini.  Kesempatan untuk bicara tentang Aceh secara keseluruhan ―apalagi yang membicarakannya kita sendiri yang punya KTP, KK dan berhak mendapatkan layanan JKA secara sah― adalah sama artinya dengan memiliki waktu berbangga diri di depan orang lain. Sebab bukan isapan jempol belaka bahwa Aceh adalah sebuah bangsa superior dalam tatanan kehidupan negara Indonesia. Sebagai bukti, tak usah ngomongin zaman baheulanya Iskandar Muda. Cukuplah kita menunjuk-nunjuk puncak Monas di Jakarta atau replika pesawat Indonesia pertama di Blang Padang sana.  Yang jelas, dalam hal berbangga diri di depan orang, kita adalah kaum yang tidak pernah alpa ambil bag

Mengenang Ayah

Ada yang janggal ketika kau pulang ke rumah. Entahlah. Yang jelas hati tak seriang dulu ketika langkah telah berjejak di anak tangga samping rumah kau disapa ayah dari arah beranda. Atau paling tidak, ada protes keras ketika kau lupa merapal salam saat pintu berderit dibuka ayah. Ada sebentuk sepi yang tak juga kau mengerti. Dan ayah telah benar-benar pergi. Itu pada awal pagi. Ketika subuh sedang bersiap-siap (barangkali berdan-dan) keluar dari dekam malam. Entahlah. Rumah yang haru adalah rumah ketika ibu membicarakan apa pun tentang ayah. Sementara kau sedang berimaji sendiri tentang lembaran-lembaran ingatan semisal debat sejarah di meja makan yang kesemuanya kerap berakhir dengan 'ejekan-ejekan'. Suatu kali setelah menyeruput kopi ayah bilang, "Kau sudah sarjana tapi itu saja tidak tahu. Saya yang tamatan SR tahu. Kiban nyan? " Ah, ayah memang punya serangan yang tak disangka-sangka jika sudah berdebat begitu rupa. Lain waktu, ketika ibu sedang di dapur,