Menulis November

doc. idrusbinharun
Bagaimana kalau tak kutuliskan apa-apa di awal november ini? Atau bagaimana kalau nanti seseorang datang mengetuk pintu belakang, dan bertanya; "Adakah sesuatu tulisan yang bisa kusantap nanti malam?" Apa yang mesti kujawab? Mungkin kamu ada saran. Dan sementara kutunggu kau punya saran, aku akan mencoba menyarankan -itupun kalau kau mau untuk diberi saran- tentang bagaimana semestinya saran yang sedang kutunggu datang darimu itu kau pikirkan. Aku mengharapkan beberapa saran yang punya keterikatan dengan soalan. Serupa saran yang merujuk kepada pokok permasalahan. Bingung? Jika begini saja sudah bingung, bagaimana pula kau akan memberi saran. Sudahlah, lupakan saja!



Malam awal november yang dirundung dingin begini, ada baiknya aku memang tak menulis apa-apa. Sebab, pasal apakah yang perlu kutulis selain rasa dingin yang menusuk, dan bunyi dengkur kawan sekamar yang menyerupai batuk. Sungguh. Aku kira menulis adalah perkara yang membosankan untuk dikerjakan pada awal november ini. Apalagi pekerjaan menulis juga telah banyak digeluti oleh siapa pun. Bukan wartawan saja, bukan pengarang, dosen, mahasiswa, pelajar, sastrawan, atau tukang ketik sekalipun; sesiapa boleh menulis apa saja. Tak mengenal usia, tak mengenal status janda atau duda. Tak pula mengenal bahasannya tentang apa. Sesiapa boleh menulis apa saja. Menulis bukan lagi barang langka. Maka inilah sebab yang kuanggap baik sebagai alasan untuk mengungkap bahwa di awal november yang dingin ini. Aku ingin tak menulis apa-apa. Tak ingin menghabiskan tinta untuk menoreh kata-kata. Tak berkata. Apalagi memusatkan pikiran untuk merangkai kata-kata.



November -khusus tahun two thousand eleven ini- adalah bulan yang meniriskan batok kepalaku, sehingga hujan yang berguyur tadi siang masuk dan bertengger dalam kepala. Celakanya lagi, air hujan yang bertengger dalam kepala ini, sekarang mulai menetes keluar melalui hidung. Kawan sekamar bilang; "Lekas minum obat flu!" Aku tak seberapa paham tentang flu. Hanya saja, aku sudah terbiasa dengan bersin-bersin sejak beberapa tahun kemarin. Tapi perkara tirisnya batok kepala dan air hujan november yang bertengger di dalamnya adalah bukan perkara yang patut diperhatikan dengan seksama tentunya. Karena yang menjadi perkara utama untuk terus dipantau adalah, bagaimana kalau aku memang benar-benar tak ingin menulis apa-apa di awal bulan ini? Siapa peduli? Atau seseorang harus datang dan peduli. Peduli dalam arti benar-benar peduli. Bukan peduli yang dikorupsi. Bukan peduli imitasi.



Tapi ngomong-ngomong tentang peduli. Beberapa hari lewat, akhir oktober, tentang kotaku, Banda Aceh, aku peduli beberapa hal padanya. Bahwa di setiap rute jalanan kota, papan-papan iklan besar makin banyak saja ditancapkan. Iklan-iklannya pun kebanyakan mengisi wajah-wajah orang yang di beberapa tempat terlihat wajah yang sama saja. Kadang sangat membosankan. Ada wajah yang berpeci dengan sunggingan senyum yang terlihat sebagai usaha melebarkan pipi, ada pula yang menatap sayu ke arahku. Dari sini, aku mulai peduli pada wajah-wajah di baliho iklan. Kebanyakan wajah yang terpampang beraksesoris peci di kepalanya. Entahlah? Apakah ini untuk menunjukkan bahwa yang punya wajah adalah seorang yang agamis, religius, bisa mengaji, pintar khutbah, atau bukan? Aku tak seberapa tahu tentang itu. Yang jelas, kepedulianku yang beranjak dari seringnya melihat wajah-wajah yang terpampang di baliho iklan besar adalah sebatas peduli pada apa yang bisa dilihat kasat mata saja. Kadang dalam hatiku sering bertanya; "Koq, orang-orang tua sekarang makin narsis gitu? Sudah tahu wajahnya sudah keriputan, tapi masih mau juga gambarnya dipajang besar-besar di kiri-kanan jalan." Kadang juga hatiku yang sering bertanya ini, nyeletuk mengungkapkan jawaban atas pertanyaan sebelumnya. Jawaban celutukan ini pun kadang-kadang kebanyakan bernada sindiran, yang kadang-kadang tak elok diperdengarkan pada telinga publik. Cuma kadang-kadangnya lagi, mungkin sindiran yang semacam ini boleh jadi, setidaknya, memancing selera humor seseorang. Ya, kadang-kadang, memang.

Oya! Celutukan sebagai jawaban atas ungkapan; "Koq, orang-orang tua sekarang makin narsis gitu? Sudah tahu wajahnya keriputan, tapi masih mau juga gambarnya dipajang besar-besar di kiri-kanan jalan.", kadang-kadang sering terbaca begini:

"Ini memang zaman runyam kawan. Zaman yang merunyamkan banyak pikiran. Lihatlah! Akhir-akhir ini, bulan-bulan seperti ini, orang-orang tua kita disibukkan dengan berbagai urusan. Hingga untuk bercermin pun mereka tak sempat sama sekali. Hingga keriputan yang ada sudah tak mereka sadari. Hingga kemudian tiba saatnya untuk berdandan. Maka orang-orang tua kita pun sibuk berhias diri di salon-salon kecantikan, sibuk berdandan, untuk kemudian diabadikan dalam selembar papan iklan. Hasilnya? Ya, seperti yang kau lihat setiap hari. Cukup mengesankan bukan? Hihihihi...

Ini zaman aneh kawan. Banyak di antara kita yang suka berperilaku nyeleneh sekarang. Lihatlah! Akhir-akhir ini. Kita sudah tak sering berjumpa orang tua yang pernah punya andil menetaskan pikiran kita di dunia. Hari-hari padat jadwal. Pekerjaan menumpuk dan mengurung orang-orang tua kita, seperti angka matematika yang terjebak dalam kurung kurawal. Hingga dengan kita, sebagai anaknya sekalipun, untuk berjumpa walau sesaat saja sudah menjadi barang langka. Kita sudak tak sempat mengingatkan keriputan di wajah mereka. Karenanya, mari mengurut dada dan berusaha bersenyum manis, ketika kita temukan wajah mereka nangkring narsis di papan iklan pinggir jalan. Dengan begitu, kita dapat menghibur diri sembari berkata dalam hati; orang tua kami punya gaya yang mengesan-(mengenas)-kan. Lantas kita sama-sama menggerutukkan gigi. Hihihihi...."
doc. idrusbinharun

Sungguh. Pertanyaan dan jawaban seperti yang terungkap di atas adalah bentuk peduliku sekarang ini. Sebagai peduli yang paling up to date. Tentu saja bukan peduli sisa korupsi atau peduli imitasi. Bukan. Ini peduli asli, walau peduli sebatas dalam hati.

November, tanggal pertama jelang subuh. Hawa dingin kian mencekam saja. Dingin yang menyerupai sebuah bisikan makhluk lain untuk mengekalkan tekadku sebelumnya agar tidak menulis apa-apa lagi di bulan ini. Maka, bagaimana jika siang nanti seseorang datang mengetuk pintu belakang, dan bertanya; "Adakah sisa tulisan yang tak sempat kau baca semalam? Bolehkah kau kabulkan sisa bacaanmu itu kusantap sekarang juga? Tolonglah. Aku sedang lapar. Bacaan di luaran membuat otakku menderita asam lambung. Bagaimana tidak. Diagnosa pakar lambung, bacaan koran adalah pemicu tingkat tinggi akan sakit yang kualami. Aku kira, memang benar adanya. Beberapa bulan terakhir aku terus-terusan mengkonsumsi berita-berita seperti: 'pasangan yang naik bulan', perilaku pejabat serupa perilaku anak belum khitan, si miskin yang kelaparan, pegawai yang mengeluh datang bulan, dll. Aku kira, berita-berita seperti ini membuat otakku benar-benar sakit. Makanya, siang ini aku kesini. Tolonglah. Adakah sisa tulisan yang tak habis kau baca semalam? Adakah sesuatu tulisan untuk kubaca diam-diam?"

Comments

  1. november banyak ide untu ditulis. apalgi orang2 tua yg narsis. eksistensi mereka perlu ditulis, biar sejarah mereka dikenang waktu.

    ReplyDelete
  2. @Rusydi; thanks sob! telah berkunjung dan meninggalkan jejak komentar di sini. salam kenal! memang meski november di aceh sedang diliput hujan, sungguh, sangat banyak hal yang perlu ditulis dari sini. salam!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra