Zaman Jahat & Mengkarat


Malam buruk rupa. Jahat tiba-tiba. Tiba jahat dengan gesa. Tanpa permisi, tanpa basa basi. Sedang angin tak satu pun hembus. Apalagi bintang. Pun jangkrik. Semua seperti tak berkutik. Dan jahat dengan sempurna ada. Tanpa undangan, tanpa isyarat tangan. Jahat seenak perutnya melakukan kejahatan. Kerjaan serupa menggugat yang alim, mengagungkan isu-isu lalim adalah perkara yang rutin dikerjakannya. Jahat adalah jahat adanya.

Celakanya, zaman tak menghirau. Menggubris pun tak.
Kata yang masih bertuah mulutnya, inilah zaman sedang menuju akhir. Zaman yang mengambang. Apung dalam keadaan bingung murung. Zaman seperti ini adalah zaman yang enggan melahirkan pahlawan. Sebab pahlawan tak ada gaji nantinya. Pahlawan mesti digaji juga, katanya. Serupa menggaji orang yang punya jabatan, atau boleh jadi sama juga dengan menggaji para kuli bangunan. Makanya, zaman enggan kiranya. Baginya menggaji adalah hal yang paling membosankan. Lebih baik menggaji diri sendiri atau menjadi kuli untuk diri pribadi, ketimbang mengurus pahlawan yang banyak menuntut perubahan. Zaman dalam keadaan suntuk berat, tambahnya pula. 

Celakanya, orang-orang seperti hilang ingatan. Orang-orang sibuk mencari makan. Tak ada lagi yang peduli pada keadaan, apa lagi punya niat jadi pahlawan. Orang-orang sudah tak tahu kata idealisma. Orang-orang sudah hilang selera pada yang sederhana. Bagi mereka, hidup pada zaman yang banyak hinggap jahat adalah bagaimana menyelamatkan perut sendiri. Bagaimana memenuhi kebutuhan perut untuk dapat terisi dari hari ke hari. Perut orang lain adalah urusan yang lain pula. Maka jangan heran jika sedekah menjadi hal yang tak lumrah. Apalagi meminta sedekah. Itu sama juga mengharap sumpah serapah. 
 Jahat adalah jahat adanya. Dan adalah pantas pula, ini zaman digelar dengan zaman jahat. Jahat sekarat atau mungkin juga jahat yang mengkarat.

Ini zaman sudah benar-benar tak memihak pada yang berhak. Orang-orang seperti tak punya jalan lain kecuali mengikut kehendak jahat yang dimaksud. Orang-orang dalam kemelut. Dibalut. Jahat berkuasa semena-mena. Dalam negara, negeri, kampung, kaum dan bahkan dalam diri sendiri pun, jahat berkuasa. Berkuasa dengan cara membuat mabuk sampai orang-orang tak sadar bahwa mereka sedang diamuk kutuk. Yang punya kuasa boleh jadi bertindak jahat kepada rakyatnya. Rakyat juga sebaliknya. Maka tak ada yang untung, selain keberadaan sama-sama bingung, dengan lapar dalam arti luas kian membusung. 

Pram, pernah bilang begini; "Dan kini, Adikku, kini terasa betul oleh kita, pahit sungguh hidup di dunia ini, bila kita selalu ingat pada kejahatan orang lain. Tapi untuk kita sendiri, Adikku, bukankah kita tidak perlu menjahati orang lain?”  (Pramoedya, Bukan Pasar Malam, hal.62). Tapi apa pula kata Pram yang begitu tadi. Zaman sekarang , kata itu sudah tak berarti. Sebab kepada diri pribadi pun orang-orang punya niat jahat sendiri-sendiri. Maka ketika sudah berlaku seperti ini, bagaimana pula untuk tidak jahat kepada yang lain. Sedang kepada diri sendiri saja sudah berjahat-jahat pula. Semua sudah hidup individualis. Orang-orang sudak tak saling menggubris, orang-orang larut dalam perilaku picis. Sungguh jahat sudah merasuk. Masuk. Ke setiap akal orang tak berakal, ke segala akal orang punya akal, ke seluruh akal orang yang penuh akal-akal. Sungguh, jahat berkuasa penuh, menyeluruh. 

Sekali lagi, jangan sebut-sebut pahlawan menghadapi ini zaman. Tak ada pahlawan jika tak ada honoratium sesuai standar. Semua hal dihitung materi. Yang masih bertuah mulutnya menimpali, "bahwa faktor berkuasa jahat dengan sempurna adalah ketika orang-orang sibuk dengan materi". Dimana ketika orang-orang bergelut dalam pekerjaan mencari isi perut, jahat datang membayang. Membayang sambil mengimingi jumlah uang. Kemudian dari bayangan, jahat menjadi bentuk. Membentuk. Membentuk dan meringkuk dalam nafsu, hingga orang-orang kepada jahat lutut tertekuk. 

Yang masih bertuah mulutnya kembali berkata; jika orang-orang sudah berjama’ah dalam rasukan jahat. Jangan banyak berharap pada negara. Negara tak bisa berbuat apa-apa. Dan adalah benar adanya seperti yang tertulis dalam sebuah novel yang berjudul Saman, yang aku lupa siapa nama pengarangnya. Dalam novel itu tertulis begini; “Dunia ini penuh dengan orang jahat yang tak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum, atau aparat.”
Malam buruk rupa. Siang juga. Ketika yang jahat-jahat berkuasa, hari demi hari sama saja. Semua buruk. Tak terkecuali, siapa pun dalam mabuk. Mabuk sangat. Sangat bersemangat. Bersemangat jahat. Dan hari-hari  pun dalam suasana panas menyengat. Panas berat!

image by, Rully shabara herman.

Comments

  1. Bener banget mas. Kebanyakan sekarang pahlawan dipandang dari materi, walau gak semua, tapi itu lebih mendominasi..
    Memang udah zaman jahat atau memang karena jahatnya zaman sekarang..

    Salam Blogger..!!

    ReplyDelete
  2. Setuju aku sama "Uc Herawati", di lingkunganku selama ini dari 100 yang kukenal, 97 orang mengutamakan materi dan pangkat/jabatan! Sedang dua sisanya munafiq berat! (termasuk aku yang munafiq!)
    Sekalipun demikian, daku beranikan diri untuk jadi follower dikau #42 (CahNdeso); sudilah bersahabat dengan si-Munafiq ini.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra