Resensi Buku Biografi Angka Nol


Judul: Biografi Angka Nol

Penulis: Charles Seife

Penerbit: e-NUSANTARA – Yogyakarta

Cetakan: I – Juni 2008

Tebal/Ukuran: 348 hal/140 x 200 mm

---
Konon, ketika di barat sedang tak percaya pada suatu ketiadaan. Timur sedang cerlang dengan sebuah temuan. Temuan yang mengubah cara orang berlogika. Namun di barat, pikiran Phytagoras beserta konco-konconya masih saja berkuasa. Yunani adalah sentral segala pemikiran. Dan barat mengiblati ini negeri dalam berfilsafat. Maka pemikiran mereka adalah yang utama. Segala pemikiran. Apa saja. Tak terkecuali pula pemikiran tentang kekosongan, ketiadaan, nihil, atau (secara lugas) nol. Yunani khususnya, dan barat dalam lingkup umum menolak gagasan ketiadaan. Lucretius dengan tegas mengungkap dalam De Rerum Natura, bahwa; “tak ada yang bisa diciptakan dari ketiadaan”. Apatah hendak di kata. Yunani masih berdiri tegak, dan tegas berdiri dalam prinsip: tak ada kekosongan. Dimana dengannya, barat pun mengangguk. Ya, mengangguk setuju dengan prinsip “tak ada kekosongan” itu.

Ini keadaan berlaku ketika peradaban masih berjalan dalam rentang waktu abad-abad sebelum masehi. Saya tak seberapa tahu tentang tahun keberapa sebelum masehikah hal keadaan ini berlaku tepatnya. Tapi yang jelas, dalam sebuah buku saya temukan, bahwa gagasan ketiadaan tidak berlaku dalam pemikiran barat saat itu. Tak berlaku dan tak dipedulikan sama sekali.  

***


Bermula ini tulisan terlahir setelah saya membaca beberapa artikel tentang filsafat angka-angka. Dimana kemudian saya mendapatkan sebuah buku tentang sejarah angka nol dan tetekbengek yang berkenaan dengannya, yang berjudul Biografi Angka Nol. Buku termaksud saya beli ketika saya berkesempatan pergi ke Jogja di sebuah pasar loak dekat-dekat jalan Malioboro yang tenar itu. Nah, ketika saya baca ini buku, sungguh sangat mencerahkan pikiran dan mempengaruhi pemahaman saya tentang matematika. Saya katakan begini rupa, sebab ketika berbicara matematika, maka tak luput pulalah kita membicarakan angka-angka. Dan ketika berbicara angka-angka, mesti ianya angka nol adalah muasal topik yang hangat lagi enak diangkat. 

Kenapa mesti begini?

Begini ceritanya (meniru penuturan narrator dalam tontonan rahasia illahi yang beberapa waktu lalu ngetrend disiarin di tivi-tivi). Ternyata angka nol adalah angka yang penuh misteri di dunia. Angka nol ternyata tak hanya menyangkut tentang pribadi angka belaka, tapi jauh melebihi ini. Angka nol ternyata dapat memprovokasi pemikir-pemikir ulung untuk mengakui keberadaannya. Angka nol, lebih jauh lagi, di sebalik symbolnya berupa lingkaran yang bolong ditengah-tengahnya, ternyata menyimpan misteri keeksistensian suatu wujud. Ini saya ketahui setelah saya membaca buku yang sedang saya bicarakan ini. Tentang angka nol, Tobias Danzig, salah seorang matematikawan kelas kakap dunia yang lahir di Latvia, dalam bukunya yang berjudul Number: The Language of Science, angkat bicara dengan nada kira-kira seperti berikut:

“Dalam sejarah kebudayaan umat manusia, penemuan angka nol akan selalu dikenang sebagai salah satu capaian luar biasa ras manusia.”

Maka dengan quote di atas dapat kita bayangkan betapa magisnya angka nol. Sehingga penemuannya saja menjadi suatu pencapaian luar biasa ras manusia. Bukan ras suatu bangsa atau kaum tapi ras manusias secara menyeluruh. Gila. Segini pentingkah angka nol ini? Jawabnya, iya. Penting. Penting sekali. Sangat-sangat penting malah. 

Lantas, tanpa banyak-banyak cerita sana-sini lagi. Dalam buku yang sedang suam-suam kuku saya bicarakan ini, dijelaskan semua tentang kisah-kisah keberadaan angka nol. Dimana sebuah cerita yang paling ironis, yang saya juga baru tahu dari buku ini, adalah tentang pemahaman pencetus rumus geometri kawakan bernama Phytagoras ternyata tak setuju dengan keberadaan angka nol. Phytagoras punya alasan-alasan kenapa ia tak mengakui keberadaan angka nol yang menggambarkan ketidakberadaan. Dalam buku ini, dijelaskan pula alasan-alasan tersebut. Kemudian pemahaman sang maha guru ini diikuti oleh phytagorean-phytagorean (pengikut phytagoras) lain di seluruh Yunani. Yang selanjutnya pemahaman ini menular, menjalar jauh seluruh sendi pemikiran barat. Dan keadaan ini, anehnya lagi bertahan sampai berabad-abad kemudiannya. Sampai pada suatu saat angka nol masuk kekepala orang-orang barat ketika ilmu matematika di dunia timur sudah mencapai titik cerlang, yang terang benderang.

Dalam keadaan barat yang masih gelap tentang pemahaman ketiadaan tersebut, di India, angka nol (konsep kekosongan) memiliki tempat paling penting dalam agama Hindu. Konsep kekosongan ini, dapat kalian pahami penjelasan lebih jauhnya dalam buku ini. Kemudian konsep kekosongan ini diadopsi, dimodifikasi, dan dipelajari lebih jauh lagi oleh pemikir-pemikir Islam selanjutnya. Dimana pada tahap peradaban Islam menduduki puncak kejayaannya, Al-Khawarizmi, tokoh matematikawan yang kita mesti takjub dan takzim padanya, mengenalkan penggunaan angka nol dalam konsep matematika yang dicetusnya, yaitu konsep algoritma. Maka dimulai dari titik pengenalan ini, nol menjadi angka idola setelahnya. Mempengaruhi sesiapa saja, hingga kemudian berjangkit pula kedunia barat nantinya. 

Hmmm… saya pikir, bagaimanapun detilnya bercerita, adalah tidak puas juga nantinya jikalau kalian tak membaca ini buku. Saya akhiri saja cerita tentang ini buku, sebab cerita yang panjang lebar bisa membiaskan maksud nantinya. Yang jelas, ini buku adalah patut dipunyai jika kalian mengaku mahasiswa matematika, atau orang yang suka berfilsafat atau berlogika tentang angka-angka. Dan sebagai penutup ini tulisan, saya mengutip beberapa kalimat yang terdapat dalam buku ini. Tentang pribadi angka nol itu sendiri. Kutipannya seperti berikut:

“Angka nol menolak menjadi lebih besar, dan juga tidak membuat angka lain bertambah besar. Coba saja tambahkan angka dua dengan nol, maka hasilnya akan tetap dua: seolah kita tidak pernah menambahkan angka. … Angka nol tidak memiliki substansi. Dan angka tanpa substansi ini mengancam sistem operasi matematika paling sederhana, seperti perkalian dan pembagian. Dalam dunia angka-angka, perkalian adalah sebuah bidang rentang – secara harfiah. Bayangkan jika deretan angka adalah sepotong pita karet dengan tanda-tanda di dalamnya. Mengalikan dua bisa dianggap merentangkan pita karet dua kali: titik yang semula menunjukkan angka satu sekarang terletak di angka dua: titik yang semula terletak di angka tiga sekarang menunjukkan angka enam. Begitu juga, mengalikan setengah berarti mengendurkan pita karet itu, sehingga titik yang semula menunjukkan angka dua sekarang terletak di angka sati dan titik yang terletak di angka tiga berada di titik satu setengah. Tetapi apa yang akan terjadi jika mengalikannya dengan nol? Semua yang dikalikan dengan nol adalah nol, sehingga semua titik terletak pada titik nol. Maka pita karet tersebut menjadi tidak berfungsi dan seluruh deret angka menjadi kacau.”

Anda boleh membacanya berulang-ulang. Salam!


Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra