Reviev Buku Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi

Ini buku kumpulan cerita pendek (cerpen). Karya Kuntowijoyo, yang oleh Bakdi Soemanto -Guru Besar Ilmu Budaya UGM yang bernama lengkap Prof. Dr. Christoporus Soebakdi Soemanto, S.U- dalam pengantar buku menulis, "Hingga sekarang saya belum yakin benar apakah Prof. Dr. Kuntowijoyo seorang sejarawan yang menulis fiksi atau seorang novelis, penulis lakon, penyair dan penulis cerpen yang suka sejarah." 15 cerita pendek yang terkumpul dalam buku ini adalah cerpen-cerpen yang pernah dimuat Kompas antara pertengahan tahun 1990-an sampai awal 2000-an.

Membaca cerpen-cerpen dalam buku ini sama halnya seperti mengikuti keseharian orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan hidup kita, tapi hasilnya sangat bermakna. Keseharian orang-orang kecil, seperti seorang kampung yang entah siapa namanya dalam cerita Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, yang karena himpitan hidup terpaksa cari jalan pintas dengan mendalami ilmu hitam yang pada ujian akhirnya harus membawa lari sepasang daun telinga mayat dari kuburan, menunjukkan betapa harapan untuk sekadar melunasi iuran sekolah anaknya, cita-cita mendadani istrinya dengan sepasang anting bagus, bagi si lelaki malang itu sama sekali ghaib, dan harus diselesaikan pula dengan ilmu-ilmu ghaib. Sekali pun ilmu hitam segala.

Di cerita Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi lain lagi. Kuntowijoyo seperti mereview kembali alur politik masa rezim Suharto dalam cerpen ini. Militer dan pembangunan adalah dua kata terampuh untuk mendapat peran dengan leluasa di kancah politik. Di tingkat mana pun itu. Pensiunan tentara, pun figur pribadi amoral sekalipun, ia bisa dengan mudah memainkan peran dalam kancah politik. Embel-embel militer memuluskan seorang pensiunan tentara jadi lurah di kampung dalam ini cerita, sekali pun lawannya mengedepankan isu agama dalam masa kampanyenya. Kondisi ini seperti mengajak kita mengulang ingat kembali masa gelap demokrasi negeri ini.

Kesenjangan hidup terus terjadi. Di mana saja. Ia tidak hanya berefek secara fisik dalam kehidupan masyarakatnya. Tapi juga berefek pada pola pikir umum masyarakat. Kuntowijoyo melihat gejala ini kemudian mereka-reka kembali dalam cerita-cerita fiksi yang menggugah. Temanya beragam. Dengan gaya tutur santai, dialog antar tokoh apa adanya dan kerap jenaka, kecuali di sana-sini terdapat kata-kata dari bahasa Jawa yang kita orang luar Jawa tidak tahu artinya apa (dan ini sedikit agak mengganggu sebab tak ada terjemahannya), cerpen-cerpen dalam buku ini adalah cermin bagaimana logika masyarakat kecil sedikit demi sedikit menumpul, tak bernalar oleh sebab persoalan-persoalan hidup yang berat. Masyarakat beralih ke hal-hal berbau klenik, pasrah yang ujung-ujungnya kata takdir jadi kambing hitam.
***
Aku beli buku ini pada sebuah malam di Toko Buku Paramitha kepunyaan orang Tionghoa. Toko buku yang lengkap kukira. Aku suka. Tapi hal yang meyakinkanku untuk tidak lagi menjejakkan kaki lagi ke toko buku ini adalah cerita seorang teman yang sebelumnya pernah membeli buku di sini. Katanya, seorang bocah pernah kedapatan mencuri buku di sini, dan diperlakukan dengan cara tak elok oleh si pemilik toko. Fotonya dipajang besar-besar di depan toko dengan tulisan 'pencuri buku' memakai huruf kapital tertera di atasnya. "Ini sangat mengganggu nalarku," kata si teman. Dan aku sependapat dengan ketidaksetujuan temanku itu kepada si pemilik toko jika benar pernah terjadi seperti itu. 

Adalah sah-sah saja bagi siapa pun memproteksi hartanya dari tindak pencurian. Tapi untuk kasus sebuah buku yang dicuri seorang bocah tentu tak harus begitu macam perlakuannya. Kedapatan, marahi, atau kalau perlu jitak kepalanya sekali, dan ancam itu bocah agar tak mengulanginya lagi, ya sudah. Habis perkara. Bukan dengan memajang fotonya bertulis pencuri buku besar-besar begitu rupa. Ini gaya protektif harta yang bagiku bikin malu, hilang simpati pada si pemilik toko buku. 

Tapi sudahlah. Yang jelas aku beli buku ini pada sebuah malam awal Desember 2013. Sebuah malam lepas hujan, di mana beberapa hari sebelumnya seorang pejabat Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh berinisial SAG diberitakan terlibat kasus pemotongan uang pelatihan para Teungku Dayah. Aku beli buku ini pada akhir tahun 2013 di mana berita-berita korupsi semakin ramai terjadi di hampir semua institusi pemerintahan di Aceh. 

Tentang kasus-kasus korupsi yang rasanya sudah jadi adat para pejabat pemerintah, Kuntowijoyo melalui tokoh dalam satu cerpen di buku yang kubeli di toko yang tidak akan kusinggahi lagi di kemudian hari, menulis, "Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan."[] 

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra