Pelajaran Menggambar

Untuk satu kegiatan ini saya tak ingin muluk-muluk. Saya menyebutnya kegiatan menggambar. Belajar menggambar lebih tepatnya. Saya tak menyebutnya melukis. Sebab saya tak bisa melukis sama sekali.

Dasarnya, menggambar yang telah saya geluti dalam semingguan ini tak lebih sebagai pelarian dari rasa suntuk belaka. Perasaan suntuk yang entah datang dari mana, terus menggerogoti pikiran sehingga saya seperti tak tahu harus berbuat apa. Maka kanvas kelak memberikan jawabannya. Adalah iseng atau sekadar ingin coba-coba menggoreskan kuas atas kanvas pertamanya. Tapi kemudian, setelah merasakan bagaimana asyiknya mengkombinasikan cat sehingga lahir warna yang kita suka, setelah merasakan bagaimana asyiknya menggores kuas atas kanvas dengan membayangkan objek-objek yang akan kita gambar nantinya, tiba-tiba saya mendapati diri serupa anak kecil yang mendapatkan mainan baru.

Sadar bahwa dengan menggambar suntuk di pikiran buyar seketika, maka menggambarlah saya. Dipandu Idrus bin Harun, salah satu pelukis tak seberapa terkenal, tapi karyanya cukup banyak bertebaran di dinding tembok sekitar rumah, saya menggoreskan kuas atas kanvas dengan suka cita. Setiap goresan kuas yang kemudian menghasilkan objek-objek tak menentu wujudnya apa telah membuat saya merasa seperti Van Gogh atau Mahdi Abdullah saja. Setiap gradasi warna yang kadang-kadang secara tak sengaja membentuk objek-objek tertentu, saya membayangkan seperti sedang mengikuti jejak Monet yang rumit.

Satu hal yang saya dapat dari menggambar, dan mungkin ini sedikit banyaknya memberikan cara pandang berbeda bagi sesuatu yang berlaku di sekitar saya. Bahwa penentuan warna gelap terang dalam setiap sapuan kuas adalah amsal dari cara bergaul dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa ada kalanya kau harus menempatkan diri sebajik-bijak mungkin, tapi adakalanya kau harus bertindak menyerupai bandit terkutuk. Ini berhubungan dengan standar ganda dalam bertahan hidup.


"Dunia yang keras hanya bisa dilalui oleh mereka yang adil dalam bersikap," kata Kasim Kirmizi. Adil di sini, barangkali adalah sama halnya dengan ungkapan Pram dalam Bumi Manusia: "Adil sejak dalam pikiran."Kau harus mampu menempatkan diri sebaik mungkin. Paham kapan menjadi seorang bijak bestari dan tahu betul kapan waktunya berubah menjadi seorang bajingan.

Saya mengibaratkan goresan gelap-terang atas kanvas sebagai penentuan dari mana titik cahaya datang dan jatuh ke objek adalah senyawa wajib dalam hidup. Suatu objek tak akan pernah nampak hidup jika tidak ada gelap terangnya. Dari menggambar saya belajar adil membagi gelap-terang saya sendiri untuk bisa bertahan hidup. Tapi 'adil sejak dalam pikiran' adalah bagaimana menentukan gelap-terang berdasar apa yang telah menjadi keyakinan dalam hati. Darinya ungkapan Pram secara utuh bisa diulang kembali: "Seorang terpelajar itu, harus adil sejak dalam pikiran."[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra