Membunuh Kecoa Dalam Kepala

“Membunuh Kecoa Dalam Kepala.” Sederet ini kalimat mungkin terbaca aneh. Tapi kalimat inilah yang kemudian menjadi alasan terkuat saya kenapa menulis itu penting. Agak bernada subjektif. Namun kecoa-kecoa yang berkeliaran di kepala tentulah harus dibasmi cepat-cepat, agar tidak sempat beranak-pinak, membangun koloni hingga menggerogoti sel-sel saraf di otak dan menjadi beban pikiran yang memungkinkan saya mengalami mimpi buruk baik sedang tidur siang apalagi tidur malam.

Sejatinya sederet kalimat ini saya dapat dari mulut seorang sastrawan Aceh, Azhari Aiyub, pentolan salah satu lembaga yang bergerak di bidang seni dan kebudayaan di Aceh, Komunitas Tikar Pandan. Kalimat ini saya dapat pada tahun 2007. Saat saya terdaftar sebagai salah satu peserta kelas menulis Seuramoe Teumuleh yang diselenggarakan oleh Kata Hati Institute. Azhari salah satu pematerinya. Saya ingat, pertama sekali membuka kelas pada pagi yang baik itu, Azhari melempar sebuah pertanyaan, “Untuk apa menulis?” Seisi kelas senyap. Pertanyaan ini, saya kira telah menyihir kelas sepagi ini.

Semua peserta kelas punya jawaban masing-masing, tentu saja. Dari mimik teman-teman peserta kelas, bisa dilihat semua sedang mencari alasan-alasan menulis itu untuk apa selama Azhari sejenak jeda dari pertanyaannya. Tapi Azhari tak mau menyusahkan kami. Tanpa menunggu lama, ia menyela sendiri dengan logat cadelnya yang khas, “Menulis itu, ya, untuk membunuh kecoa dalam kepala.”
Seisi kelas nyengir. Bahkan ada yang terbahak. Bagi teman-teman, mungkin jawaban ini terdengar nyeleneh ketika disebutkan alasan menulis adalah untuk membunuh kecoa dalam kepala oleh seorang sastrawan Aceh dengan raut wajah seserius itu. Namun bagi saya, itu tidak nyeleneh. Sebab sederet kalimat itulah yang menurut alur pikiran saya paling mengena untuk menjelaskan untuk apa menulis.

Saya seperti tersadar. Membunuh kecoa dalam kepala seperti dikatakan Azhari, adalah respon dari idiom yang biasa terdengar di warung-warung kopi di Aceh. Untuk menggambarkan suatu beban pikiran yang sedang dialami, seseorang kerap memakai kata Meu-keuraleuep Ulee yang jika diindonesiakan kata per kata berarti “Berkecoa Kepala”.

Suatu beban pikiran yang entah disebabkan oleh apa, sehingga bagi orang-orang di Aceh menggambarkannya dengan ungkapan berkecoa kepala, menurut Azhari bisa dihadapi dengan mencurahkan beban pikiran itu dalam bentuk tulisan. Saya ingat, ketika mengilustrasikan jawaban yang disebutkannya tadi, Azhari berujar, “Bayangkan jika seorang pemuda atau pemudi yang meukeuraleuep ulee sebab persoalan cinta, misalnya. Dan ia mencurahkan beban pikiran itu dalam bentuk tulisan, tentu, barangkali ia akan menghasilkan tulisan-tulisan layaknya karya Gibran.”

Maka tak bermaksud punya keinginan menyanding diri layaknya Gibran. Saya mengadopsi sederet kalimat yang disebutkan Azhari sebagai nama blog ini. Pada tahap-tahap tertentu kalimat ini juga bisa dipakai sebagai alasan jika saya ditanyai orang untuk apa menulis. Sekian.[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra