Bersoal Maaf Buat Seorang Prabowo

sumber: antara.com
Persoalan minta maaf adalah lumrah. Manusia tak jauh-jauh dari kata khilaf. Sudah fitrahnya begitu. Tak jauh-jauh dari pelbagai perbuatan salah, yang di kemudian hari lumrah juga ia tobat. Insaf, lantas minta maaf. Selanjutnya, adalah manusiawi pula jika orang yang dimintamaafi tak menggubris sama sekali. Tak memaafkan walau si peminta maaf telah jauh-jauh datang untuk hajat pertobatan, oleh sebab-sebab tertentu yang jika diungkapkan satu-satu akan semakin memanjangkan kalimat ini.

Tapi ihwal permintaan maaf seorang Prabowo Subianto tanggal 12 Maret 2014 lalu, adalah permintaan maaf dalam bentuk lain. Boleh dikatakan permintaan maaf paling politis sepanjang tahun. Kenapa dikatakan seperti itu? Semua orang tahu, bahwa Aceh yang pernah banjir darah beberapa tahun silam tidak jauh dari campur tangannya Prabowo selaku Danjen Kopasus saat itu.

Tanpa harus menjabarkan bagaimana aksi para tentara pada masa lalu di bawah komando sosok tambun yang telah meminta maaf itu, persoalan lain yang membuat kita sebagai orang awam mengelus-elus dada, geram, geli dan tertawa sampai harus bersumpah serapah ria adalah manakala melihat permintaan maaf yang diucapkan Prabowo diamini dengan baik oleh sesosok figur yang kerap disapa dengan nama Mualem. Di mana pada hari pertobatan yang menurut kabar berita, sukses terselenggara secara gemilang, sosok berperawakan macho dengan brewok di wajahnya berdiri tegap di samping orang yang mengorasikan penyesalannya.

Adakah yang salah dengan persoalan yang disebutkan di atas? Sama sekali tidak, jika dilihat dengan memakai kacamata politik. Sebab, bicara politik akan tidak jauh-jauh bahasannya dengan persoalan kepentingan merebut kekuasaan. Untuk satu kepentingan yang sama, adalah lazim jika seorang bandit bahu membahu bekerja sama dengan bandit lain atau malah saling berangkulan dengan seorang aulia, misalnya.

Jelas, Prabowo dan Mualem yang berdiri gagah saling mendampingi pada perhelatan tobat itu merujuk pada satu kepentingan yang dimaksud. Terserah jika dulu keduanya musuh bebuyutan bak bermusuhannya anjing dan kucing, yang imbasnya bisa ditelusuri pada jejak rekam tragedi berkata kunci seperti Rumoh Geudong, Simpang KKA, Krueng Arakundo, Beutong Ateuh, dan lain sebagainya.

Namun, jika sedikit ingin mengulang sejarah, permusuhan dua orang besar di masa lalu disebabkan permasalahan politik. Lugasnya politik yang penuh dengan unsur-unsur ideologis di belakangnya. Jika dulu Prabowo memusuhi Mualem sebab ideologi keutuhan NKRI, Mualem sebaliknya. Ia bersama segenap turunan komandonya memusuhi Prabowo beserta para tentaranya atas nama ideologi lain yang telah ditanamkan oleh seorang sosok besar lain: Hasan Tiro. Tokoh besar yang untuk membuat jiwa perlawanan orang Aceh menggelegak, telah menekankan ideologi nasionalisme Aceh sebagai dasar perlawanannya.

Merujuk Hasan Tiro, akan mudah diketahui bagaimana penekanan ideologi nasionalisme Aceh dijabarkannya melalui aneka karya tulisan. Salah satunya, ungkapan yang pernah dikatakannya dalam Majalah AGAM, sebagaimana telah dikutip Musanna Teungku Abdul Wahab Tiro dalam Sekapur Sirih buku Aceh Di Mata Donya karangan Hasan Tiro sendiri, yang pada Juli 2013 diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Bandar Publishing. Di sana tertulis, “Soe mantong djipeuteuwoe seudjarah, meumakna ka djidjak peulamiet droe bak gop.”

Beranjak dari sekalimat ungkapan itu, permintaan maaf seorang Prabowo terdengar menggelikan. Patut ditertawai atau malah diserapahi dan sangat tidak patut untuk diterima dengan serta merta. Tanya kenapa? Pasalnya, persoalan yang membuat dia merasa harus minta maaf tersebut bukanlah masalah sepele serupa dosa seorang pancuri manok, yang ketika insaf tinggal datangi si pemilik ayam, minta maaf, atau jika ada kemampuan, berikan imbalan ganti rugi. Selesai urusan. Selesai sebab kasus pencurian seekor ayam tak akan pernah tercatat dalam sejarah kelam komunal masyarakat, kecuali jika suatu waktu diadakan kongres korban pencurian ayam sedunia, di Den Haag, misalnya.

Dan untuk seorang Mualem berikut punggawa-punggawa lain yang masuk dalam jajaran perlawanan masa lalu, tentu lebih tahu tentang persoalan sejarah kelam Aceh saat senjata masih sering menyalak. Di mana hampir setiap peluru yang keluar dari ujung senapan merk SS1 dan M-16 masa konflik dulu kerap menjatuhkan korban manusia yang untuk menebusnya tidak bisa hanya dengan mengatakan, “Meu’ah bang, salah timbak.”

Dan adalah mustahil pula jika Mualem yang pada hari ketika Prabowo dengan memakai ija deudak di lehernya meminta maaf atas sejarah tragis Aceh di zaman konflik, pikun atau lupa akan petuah Hasan Tiro seperti disebutkan sebelumnya. Atau jika memang benar-benar lupa, baik adanya orang-orang intelektual di sampingnya mencari definisi kata peulamiet dalam jabaran makna yang membuat masyarakat Aceh tidak mencurigainya macam-macam.[]

Nb. Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di sini.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra