Aduh Subuh –mengenang sejarah–
Sementara,
kami telah melewati banyak subuh di sini. Ribuan subuh yang cekam oleh amuk
perang. Hingga kami menamakannya dalam hati: subuh penuh peluh. Tapi kami
melewatinya senantiasa. Sambil berpura-pura gembira seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Tahun
90-an,
Subuh;
bagi kami adalah pertanda agar liang mesti siap dibuka. Akan ada tubuh diliput
subuh. Tak berpeluh, hanya darah yang membasuh. Dan kami, dengan sigap
merangkai kafan sambil saling sembunyi badan. Sebab di balik subuh, ada intai
tak bertubuh oleh mata yang tak pernah utuh. Inilah resiko kerja kifayah, kata imum
meunasah.
Sementara,
kami telah melewati banyak subuh di sini. Subuh yang kerap kabur oleh banyaknya
jerit mengaduh. Hingga, ketika jam malam berangsur usai, kami berteriak
serempak: Aduh subuh! Tapi kami melewatinya dengan rona muka biasa. Sambil
berpura-pura gembira seperti baru saja ditraktir makan mertua kaya.
Awal
2000-an,
Subuh;
tak lebih sama. Dua, tiga, atau tujuh tetua sudah kembali berjama’ah seperti
dulu-dulunya. Sudah ada kerlip kendaraan
satu dua di jalan raya. Sedang di utara, suara bedil masih kerap menyalak.
Menyerang galak seperti tak menginginkan azan mengudara. Tapi imum meunasah berpesan, “Toh, mereka tak punya rencana menembak
Tuhan. Biarkan saja. Setidaknya subuh kita sudah berjalan seperti pesan para orang-orang
tua.”
Meureudu - Banda
Aceh|medio 2004-2012
Comments
Post a Comment