Mereka yang Menggugat Jakarta

Sumber: TerasSore Komunitas Kanot Bu
"Berbicara Indonesia adalah bicara bagaimana menyambung jilbab dengan koteka. Bagaimana menyambung jilbab dengan koteka? Saya juga tidak tahu. Tapi barangkali seni bisa melakukannya," kata Putra Hidayatullah pertengahan Juni lalu.

Putra Hidayatullah adalah seorang cerpenis Aceh, bergiat di Komunitas Tikar Pandan, yang sekarang sedang sibuk di perhelatan Jakarta Biennale 2015 di Jakarta. Di gelaran acara dua tahunan itu, ia terpilih sebagai kurator muda mewakili Aceh. Yang dengannya ia diberi kewenangan mengikutsertakan empat seniman daerah untuk menampilkan karya mereka bersama seniman-seniman lintas daerah dan sibuju nanggroe di dunia. 

Seperti dirilis di situs resmi Jakarta Biennale 2015, seniman-seniman yang ikut di ajang bertema "Maju Kena, Mundur Kena; Bertindak Sekarang", berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bali, Aceh, Makassar, Argentina, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Myanmar, Taiwan, Jepang, Turki, Belanda, Romania, Selandia Baru, Denmark dan Inggris.

"Sebab, bicara realitas Indonesia bukan saja bicara tentang kemacetan di Jakarta, tapi juga bicara bagaimana seorang janda yang anak dan suaminya dibunuh tetapi pembunuhnya masih bergentayangan di televisi," sambung Putra lagi.

Bersepaham tentang keindonesiaan dengan seorang Putra, adalah bicara tentang realitas yang tidak hanya berkutat di ibukota dan sekitarnya saja. Realitas sejarah kelam Indonesia, misalnya, yang bagi orang ramai di Jakarta kebanyakan hanya sibuk bergaduh-gaduhan dengan, represi militer tahun 1965, Malari, Tanjung Priuk, Widji Thukul, atau Munir, bagi Putra harus dilengkapi dengan apa yang pernah dan sedang berlaku di Aceh hingga Papua. Realitas itu harus diingat, dikenang, dan diambil pelajaran oleh seluruh manusia Indonesia masa kini dengan porsi yang sama. Putra menggugat sentralistik Jakarta dan sekitarnya.

Untuk perhelatan sekelas Jakarta Biennale, menggugat (membuka mata) Jakarta seorang diri adalah mustahil. Maka Putra memilih Idrus bin Harun, Iswadi Basri, Fuady Keulayu, dan Cut Putri Ayasophia, sebagai 'amunisi' penguat dari apa yang digugatnya.

Empat orang yang dipilih Putra ini adalah orang-orang yang bagi kebanyakan calon mertua masa kini dianggap sebagai orang kurang kerjaan. Orang-orang yang (saya yakin) namanya tidak masuk dalam database resmi jawatan kesenian pemerintah daerah sebagai seniman Aceh sebab form daftar seniman itu telah penuh terisi dengan nama-nama 'keramat' yang tidak bisa dihapus lagi sejak puluhan tahun silam. Intinya, boleh jadi sama dengan pribadinya sendiri, orang-orang yang dipilih Putra untuk menggugat Jakarta melalui karya seni adalah mereka jauh dari gapiet alias ketiak pemerintah.

Lalu mereka bisa apa? Banyak. Salah satunya bisa bikin Heyder Affan, seorang wartawan senior dari BBC London angkat komentar di akun facebook Husaini Ende seperti ini:

"Luar biasa! Ya tadi di lokasi (Gudang Sarinah, Pancoran, tempat Jakarta Biennale 2015 dihelat-red) saya bertemu anak-anak muda ini. Merinding lihat mural karya Idrus bin Harun, bung Husaini Ende."[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra