Secangkir Peradaban di Kopi Pancong

Doc. Morenk
ADA banyak frasa berkenaan dengan kopi. Salah satu yang paling mendunia dan kerap terpajang dalam bentuk poster di kedai kopi atau cafe-cafe adalah, “Life begin after coffee.” Tapi sederet kalimat yang tertera pada sebuah banner dekat meja kasir kedai kopi itu terbaca lain dari biasanya.
“Semua boleh kau rampas. Tapi tidak secangkir peradaban dalam genggaman ini!” Di dinding sebelahnya terpampang pula sebuah backdrop merah menyala dengan kalimat, “HANYA SATOE KATA, TOEBROEK!”
Dua kalimat itu terpajang dalam bentuk banner dan backdrop di sebuah kedai kopi yang berlokasi sudut lantai dasar Tower Gaharu, Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Kopi Pancong nama kedai kopi itu. Terletak persis di sebuah pojok menyatu dengan dinding tower apartement. Dengan ruang terbuka yang atapnya berupa kanopi bergaya minimalis, kedai kopi ini menghadap taman kecil. Meja dan kursi bagi pelanggan ditata dalam formasi empat deret berhadap-hadapan menghadap atau membelakangi jalanan komplek. Di seberangnya deretan tower-tower apartement Kompleks Kalibata City menjulang dengan pongahnya.
Di satu sore pekan terakhir Agustus 2016, saya berkesempatan mendengar pemiliknya berbagi cerita tentang tempat usahanya. Kami berjanji akan bertemu di kedainya ini. Saya memilih datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Sambil menunggu saya pesan kopi pancong pada pelayan. Menurut Arif, pelayan kedai, kopi pancong dalam daftar menu di mana namanya sama dengan nama kedai, adalah salah satu menu favorit. Sementara kopi spesial juga merupakan menu andalan yang paling sering dipesan pelanggan. Kedua menu ini berupa kopi tubruk dengan jenis kopi Arabica Gayo sebagai bahan baku utama.
Arif bergegas menuju gerai tempat kopi pesanan pelanggan disiapkan. Di sana kopi diracik dengan sangat sederhana. Tidak ada mesin canggih seperti yang terdapat di cafe-cafe. Biji kopi Arabica Gayo yang telah ditumbuk kasar hanya diseduh dengan air mendidih. Cara penyajian yang cukup sederhana.
Tak berapa lama Arif kembali datang. Membawa kopi pesanan dalam cangkir kaleng ukuran mini. Kopi Arabica Gayo yang diseduh dengan air mendidih menguar aroma khas. Aroma yang mengingatkan saya pada kampung-kampung di dataran tinggi Gayo, kawasan tengah Provinsi Aceh, dengan kebun-kebun kopi berjejer di lembah-lembah dan lereng perbukitan yang subur.
Pada seruput pertama kopi pancong ini, saya membayangkan sedang berada di sebuah sudut kampung dekat Danau Laut Tawar saat senja beranjak turun. Beberapa nelayan menambatkan perahu di tonggak penambat sementara anak-anak berebut mengutip ikan depik di jaring mereka. Di seberang, kabut turun dari lereng bukit diiringi suara syair dan tepukan yang terdengar sayup-sayup dari orang-orang yang sedang bermain Didong di kampung sebelah. Hingga rasa pahit yang terkecap di pangkal lidah adalah jeda yang menghentak dari apa yang saya bayangkan.
Ada alasan tersendiri kenapa kopi tubruk dengan cara penyajian paling sederhana menjadi menu andalan di kedai Kopi Pancong. Itu tidak lain berhubungan dengan apa yang tertulis di banner. Berkaitan dengan visi dari hadirnya kedai kopi ini di tengah-tengah salah satu pemukiman masyarakat urban Jakarta yang notabene cafe-cafe di sana hampir semuanya bergaya urban pula.
“Keberadaan gerai-gerai kopi milik luar negeri membuat kita harus merogoh kocek yang banyak ketika ingin minum kopi yang berkualitas. Sepintas keadaan ini tidak bisa dilawan kecuali kita punya modal besar,” ungkap si pemilik kedai.
Menurutnya perusahaan-perusahaan kapital dengan modal besar telah merampas banyak hal di negeri ini. Termasuk kopi. Produk kopi luar negeri yang membuka gerai-gerainya di hampir semua kota di Indonesia adalah ancaman yang demikian mendominasi bagi keberadaan tradisi kopi kita sendiri.
Apa yang diungkapkannya adalah kenyataan dan merupakan sebuah ironi. Di hampir semua cafe dan kedai kopi di Jakarta, sekadar minum kopi semisal secangkir espresso seseorang harus merogoh kocek sampai puluhan ribu rupiah. Padahal kita punya bahan baku kopi berkualitas yang dihasilkan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Untuk melawan keadaan seperti ini, itulah kenapa Kopi Pancong ada, dan deretan kalimat di banner itu adalah semacam manifesto perlawanannya.
***
Adalah Ahmad Mauladi sang pemilik kedai Kopi Pancong. Seorang pria asal Aceh yang telah berdomisili di Jakarta. Pria yang lebih dikenal Morenk tinimbang nama aslinya adalah salah satu seniman desain grafis. Karya-karyanya banyak ditemui pada produk-produk advertising, buku, majalah baik terbitan Banda Aceh maupun Jakarta.
“Dalam dunia kopi, saya bukan ahli,” Morenk mengakui, berbagi pengalamannya. Ia datang dan bergabung dengan saya ketika kopi pancong yang saya pesan hampir tandas di dasar cangkir. Ini hari ketika Kopi Pancong penuh dengan pelanggan. Suara para pelanggan berbicara, tertawa, bersaing dengan derum mesin kendaraan di jalan Kalibata Raya. Sore hari adalah salah satu waktu tersibuk di Jakarta. Orang-orang pulang kerja saling mendahului di jalan raya, dan sebagian lainnya menepi di kedai kopi. Kopi Pancong adalah satu pilihan di seputaran Kalibata City.
“Dulu semasa di kampung orang-orang kita tidak banyak tahu tentang kopi. Kita semua minum kopi, tapi kebanyakan tak terlalu peduli dengan jenis kopi yang kita nikmati,” kata Morenk disela-sela sapaan para pelanggan yang dijawabnya dengan ramah.
Menurutnya, kedatangan para relawan dan pekerja luar paska bencana smong, kopi menjadi booming dengan adanya pemilahan yang mana kopi robusta dan yang mana kopi berjenis arabica. Pada masa ini pula kedai kopi yang khusus menyuguhkan Arabica Gayo mulai bermunculan di Banda Aceh.
Hal yang membuat Morenk pertama sekali merasa sangat tertarik dengan kopi Arabica Gayo adalah apa yang dialaminya pada medio tahun 2008 – 2010. Antara tahun itu ia pernah tinggal selama hampir setahun di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam tiga bulan pertamanya, hampir saban hari ia minum kopi tiam di sana. Itu kopi yang mengandung kadar asam tinggi hingga kelak ia sempat tidak bisa lagi minum kopi sebab sistem pencernaannya terganggu karenanya.
Namun kepulangannya ke Banda Aceh suatu kali adalah awal baru baginya untuk lebih mengenal kopi asal kampungnya sendiri. Ia disuguhi kopi Arabica Gayo oleh seorang temannya dengan jaminan tak akan berefek apa-apa. Hasilnya; memang tak berefek apa-apa. Sama sekali tidak mengusik sistem pencernaannya. Sejak saat itu Morenk kepincut dengan kopi Arabica Gayo. Kembali minum kopi seperti sebelumnya tapi khusus untuk kopi berjenis yang sesuai dengan anjuran temannya.
Sekalipun mengaku awam dalam dunia kopi, Morenk adalah penikmat kopi. Dan desain grafis sebagai dunia yang digelutinya adalah titik anjak yang membuatnya kemudian tertarik mempelajari kopi secara mendalam hingga akhirnya menjalani bisnis kedai kopi seperti sekarang ini.
Setelah sekian lama di Banda Aceh, ia balik ke Jakarta dan tak lupa ia bawa serta bubuk kopi itu. Awalnya untuk konsumsi pribadi, dan ia terus minta dikirimi lagi kopi yang sama sekira stok yang dibawanya telah habis. Ini berlaku untuk beberapa bulan seterusnya, hingga suatu waktu temannya tidak bisa lagi mengiriminya kopi sebab telah keluar dari tempatnya bekerja.
Kopi mesti ada, pikir Morenk saat itu. Ia telah kadung jatuh cinta, dan telah tak bisa mengkonsumsi kopi jenis lain selama di Jakarta. Itulah alasannya kepada si teman, hingga kemudian ia kembali dikirimi kopi. Tapi kali ini tidak dalam jumlah biasanya. 5 kg sekaligus  sekali kirim, yang dibungkus dalam beberapa kemasan terpisah.   
5 kg kopi untuk stok pribadi bagi seorang Morenk adalah jumlah yang cukup banyak. Kemasan-kemasan kopi yang dilihatnya polos begitu saja membuat jiwa seni desain grafisnya timbul seketika. Kopi ini layak dijual. Tapi harus ada merk, pikirnya saat itu. Maka ia memilih nama Beladro sebagai  merk bubuk kopi Gayo yang akan coba dijualnya itu.
Dalam dunia desain grafis yang digelutinya, pada setiap produk desain yang digarapnya, ia selalu menoreh nama Morenk Beladro sebagai pekarya, pengganti nama aslinya. Beladro yang kini diambil menjadi merk bubuk kopi Arabica Gayo sudah barang tentu merujuk dari nama aliasnya itu. Dari sini lahirlah sebuah brand baru kopi Arabica Gayo: Beladro Coffee.
“Waktu  itu sekitar tahun 2011, saya mulai menjual bubuk kopi Arabica Gayo via media sosial. Tanpa disangka dalam sebulan semua stok yang ada ludes,” katanya.
Sejak saat itu sambil bekerja di desain grafis dan mengelola event-event seni, Morenk telah aktif melakukan bisnis kopinya secara online. Bubuk kopi Arabica Gayo ia datangkan langsung dari tanah Gayo. Di samping ia juga semakin mendalami pengetahuannya tentang kopi di dunia. Mulai dari jenis-jenisnya, cara penyajiannya berikut dengan mempelajari pelbagai hal yang berhubungan dengan bisnis kopi serta terus mengeksplor tradisi minum kopi di Aceh, Indonesia bahkan dunia.
Dari apa yang dipelajarinya, Morenk mengungkapkan, geliat kedai kopi modern Indonesia belum sempat membumikan identitas dan tradisinya sendiri ketika cafe-cafe atau raksasa-raksasa produk kopi luar negeri datang dengan daya gempur kapitalismenya. Hal ini kemudian diperparah lagi dengan munculnya kedai kopi-kedai kopi ala luar negeri yang dikelola oleh orang-orang Indonesia yang pernah belajar di sana.
“Mereka menduplikasinya secara instan tanpa mau mengeksplor kekayaan tradisi kopi Indonesia secara mendalam. Apakah itu cara raciknya atau pun penyajiannya. Mestinya orang-orang ini punya kesadaran untuk bagaimana bisa melawan produk luar negeri agar peradaban kopi Indonesia tidak tergerus dengan sendirinya. Inilah alasan kenapa tradisi kopi kita tidak terlalu populer, dan inilah pula yang menyebabkan kenapa harga segelas kopi di tempat-tempat tersebut terasa agak kurang wajar,” jelas Morenk.
Kendati begitu, ia optimis dan berpandangan dengan kesadaran menjaga kualitas, harga, kekompakan dan juga dengan menjaga tradisi merupakan salah satu cara melawan hegemoni cafe-cafe atau raksasa-raksasa produk kopi luar itu.
Secara kualitas, Morenk berpendapat, kopi produksi daerah-daerah di Indonesia adalah kopi yang cukup bisa bersaing di dunia. Lebih-lebih dengan kopi Arabica Gayo yang telah diakui sebagai salah satu kopi terbaik. Sementara dalam hal harga, harusnya orang Indonesia memiliki kekompakan dalam hal penyajian kopi itu sendiri. Tidak mengikuti produk-produk luar yang memakai mesin di mana harganya sampai puluhan juta hingga membuat modal naik lebih besar yang berakibat pada harga segelas kopi menjadi tak wajar.
“Padahal kopi adalah tanaman yang tumbuh di halaman dan belakang rumah kita sendiri. Bukan bahan baku yang mesti diekspor. Tapi kenapa harga kopi di cafe-cafe demikian tidak wajar? Ya karena itu tadi. Ibarat peternak sapi. Sapi seharga 10 juta sementara tali pengikatnya 30 juta. Meuhai talo dari pada leumo,” jelas Morenk.
Dari apa yang diungkapkannya, pada awal Oktober 2014 Morenk berinisiatif membuka kedai kopi. Ini juga sebagai jawaban bagi para pelanggan Beladro Coffee di media online yang kerap bertanya di mana kedai kopi yang mereka pesan bubuknya berada. Untuk membuktikan bahwa tradisi kopi Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk-produk luar yang banyak diduplikasi oleh orang Indonesia, Morenk nekad mengusung kopi tubruk seharga Rp7000 untuk secangkir kopi pancong sebagai sajian utama kedainya.
Dalam hal promosi ke publik, Morenk menjadikan Kopi Pancong sebagai tempat yang bukan sekadar kedai kopi belaka. Memanfaatkan jaringan dan beranjak dari kepeduliannya dalam ranah sosial dan seni, di Kopi Pancong ia menggelar pelbagai acara-acara semisal peluncuran buku, diskusi, dan pemutaran film. Salah satu yang paling diingatnya, dan bagi sebagian orang dianggap sedikit ‘gila’ adalah acara pemutaran film Senyap di kedai kopi ini.
“Waktu itu pemutaran film Senyap gencar dilarang pemerintah. Sementara di beberapa tempat seperti di Malang pemutaran film ini batal, saya putar saja hingga acara selesai tanpa gangguan apa-apa,” terang Morenk lebih lanjut.
Usaha yang dirintis Morenk dalam menjaga peradaban atau tradisi kopi Indonesia nyatanya terbukti mendapat tempat bagi para penikmat kopi Jakarta. Dua tahun sejak berdiri pada Oktober 2014 Kedai Kopi Pancong tak pernah sepi dari pengunjung. Kopi tubruk Arabica Gayo menjadi pilihan hampir semua pelanggan yang berkunjung ke sini dari pelbagai kalangan dan etnis. Tak ayal Morenk harus mendatangkan 100 kg kopi Arabica Gayo setiap bulannya yang diambil langsung dari dataran tinggi Gayo.
Di antara apa yang diungkapkan Morenk, satu hal yang paling membuatnya begituexcited terhadap kopi Arabica Gayo adalah karakter cita rasanya. Yang menurutnya punya kesamaan dengan karakter tari saman.
“Seperti banyak disebutkan para pelanggan, karakter kopi yang kita suguhkan di sini adalah karakter kopi yang kerasnya menghentak. Ini adalah karakter sejati Kopi Arabica Gayo, berbeda dengan kopi-kopi dari daerah lain yang karakternya agak lebih soft. Sementara kopi kita, sekali seruput menghentak. Seruput lagi menghentak lagi. Begitu seterusnya. Ini persis seperti hentakan-hentakan tari saman pada scene gerakan yang berhenti tiba-tiba di titik jeda.”[]

*Sebelumnya tulisan ini telah dimuat di Tabloid Media Aceh

Comments

Popular posts from this blog

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

DN Ibnoe Hadjare

Ganja - II