Sopir Nyentrik dan Gosip Para Perempuan Tentang Profil Calon Gubernur Aceh Kedepan

Dalam angkutan umum Minibus L.300 jurusan Banda Aceh-Lhokseumawe. Penumpang penuh. Dua orang perempuan di samping sopir, tiga orang perempuan di jok belakang sopir, dua perempuan dan satu laki-laki di baris ketiga. Saya bersama satu penumpang laki-laki lainnya duduk di jok paling belakang.

Aku menumpangi mobil ini saat pulang ke Meureudu akhir Januari lalu. Ini mobil penumpang yang mangkal di terminal angkutan umum antar kota dalam provinsi di Batoh, Banda Aceh. Mobil yang kutumpangi adalah salah satu mobil yang tergabung dalam perusahaan jasa angkutan CV. Mandala. Setidaknya inilah yang tertulis dengan stiker putih di bagian atas kaca depannya.

Sang sopir adalah seorang pria setengah baya. Agak nyentrik untuk ukuran sopir L.300 yang sering kutemui ketika bolak balik Banda Aceh-Meureudu atau ketika aku bepergian ke daerah-daerah lain di Aceh. Minibus L.300 adalah satu-satunya jenis mobil penumpang alternatif yang menjangkau seluruh kabupaten kota di Aceh.

Si sopir yang kubilang nyentrik itu punya penampilan menarik, walau dari gurat wajahnya kutebak ia telah berusia kepala empat atau bahkan mendekati usia lima puluhan tahun. Tapi paduan celana jeans merk Levi's sepatu boot kulit, dan baju kaos hitam yang di bagian dadanya tertulis kata yang sama dengan merk celananya adalah indikator pertama akan kenyentrikannya.

Kedua adalah lagu-lagu yang diputar melalui pemutar musik MP3 selama perjalanan ini. Kurang lebih selama tiga jam perjalanan Banda Aceh-Meureudu, ada sekitar 20-an lagu yang kudengar tanpa jeda. Kesemuanya adalah lagu-lagu milik beberapa band papan atas Indonesia seperti Kesepian Kita-Pas Band, Hio-Swami, I Miss U But I Hate U-Slank, Kirana-Dewa 19, Dan-Sheila on 7, dan beberapa lagu lawas milik God Bless. 

Lagu-lagu itu selang seling diputar otomatis bercampur dengan beberapa lagu barat seperti Wind of Change-Scorpion dan Viva Forever-Spice Girl. Tapi di saat yang lain ada juga terdengar lagu-lagu Aceh, di antaranya Saleum-Nyawoeng, Kutidhieng-Liza Aulia dan Peusapeu Padan-Kande Band.

Saat singgah di Saree, aku menyempatkan diri bertanya pada si sopir perihal pilihan lagu-lagunya itu. Sambil terburu-buru menuju toilet di belakang warung, singkat ia berujar, "Alah keuh na lagu-lagu lagee nyan, hai Dek. Meuhan beh panee ek taba moto tiep uro tuhan. (Untunglah ada lagu-lagu seperti itu, Dik. Kalau tidak, mana sanggup kita nyetir mobil tiap hari)."

Indikator ketiga kenyentrikan si sopir yang kumaksud tadi adalah sepotong stiker yang tertempel di sudut kiri atas bagian dalam kaca depan mobilnya. Itu stiker berupa vektor sosok perempuan dengan lekuk tubuh yang nyaris sempurna bohainya. Di bagian lengkung pinggul vektor perempuan itu menyatu sederet kalimat: CAUTION! NAIK GRATIS, KELUAR BAYAR.

Setelah selesai dengan urusan toiletnya, aku sengaja duduk semeja dengan si sopir yang belakangan menyebut nama panggilannya Wak Jol. Kusempatkan juga untuk bertanya soalan stiker itu. "Nyan lon bloe di Medan. Di Banda Aceh hana barang yang lagee-lagee nyan. Lom pih ji drop le WH meunyo na awak peubloe. (Stiker itu saya beli di Medan. Di Banda Aceh tidak dijual barang-barang seperti itu. Lagi pun ditangkap sama WH penjualnya kalau jualan barang seperti itu.)" ungkapnya sambil terbahak.

"Saya suka hal-hal yang berbeda. Stiker itu untuk ukuran awam sekalipun pasti tahu arah pesannya kemana. Tapi mobil penumpang kan sama juga dengan wanita panggilan itu. Setelah dinaiki baru dibayar," sambung Wak Jol sambil lagi-lagi tertawa terbahak.

Setelah sekitar 25 menit singgah di Saree, mobil yang aku tumpangi melanjutkan perjalanan lagi. Hari telah agak gelap. Mendung bergelayut dari puncak Seulawah Agam hingga ke lembah Seulawah Inong. Kulihat jam di telpon selulerku, kuprediksi kami akan tiba di Sigli pas maghrib nanti. Beberapa penumpang yang tadinya tertidur selama dari Banda Aceh hingga Saree, kini telah aktif ngobrol satu sama lain.

Wak Jol yang tadinya juga diam saja kini telah terlibat dalam obrolan dengan dua orang penumpang perempuan di sampingnya. Suara mereka cukup terdengar di telingaku yang duduk di jok paling belakang. Setelah tahu topik apa yang mereka bahas, aku tersenyum sendiri dan benar-benar berkesimpulan Wak Jol memang salah satu sopir L.300 yang nyentrik.

"Beh ka! Barosa di gampong lon na troh Tarmizi Karim. Dipeugah dijak silaturrahmi ngon ureueng gampong. Man adak bangai-bangai that tanyoe, kon ka meuho meukeusud jih ho. Cit ka teuntee diyue pileh droe jih watee pilkada ukeue. Teuma meunyo lon tanyong bak ureueng droeneuh dua, miseu calon gubernur jadeh di ek Mualem, Irwandi, Farhan Hamid, Tarmizi Karim, Doto Zaini dan Apa Karya. Di antara awak nyan mandum kira-kira soe cocok tapileh menurot ureueng droeneuh seulaku ureueng inong?"* Wak jol membuka obrolan dengan dua orang perempuan di sampingnya sambil tangannya cekatan memutar-mutar stir mobil sesuai arah jalanan di lereng Seulawah Inong yang terkenal banyak kelokan tajam.

Dua perempuan di jok paling depan terdiam. Aku beringsut duduk tegap di jok belakang. Pasang telinga, menyimak. Dengan pertanyaan yang diajukan Wak Jol, aku menyimpulkan bahwa caranya melempar wacana pada dua penumpang itu adalah indikator pelengkap akan kenyentrikannya. 

Ia mengangkat isu politik. Menarik. Soalan politik di Aceh adalah topik yang tak pernah habis di kupas. Di mana saja kau berada, politik adalah topik yang selalu mendapat tempat untuk dibicarakan sekalipun kerap berujung pada debat kusir yang hanya menghabiskan energi dan menyebabkan ketidakstabilan emosi pembicaranya belaka.

Mobil telah sampai di Taman Hutan Raya (Tahura), dan kini baru saja melewati gerbang pembatas Kabupaten Aceh Besar dengan Kabupaten Pidie. Dengan laju mobil sekitar 60 km/jam, aku menyaksikan gugusan pegunungan Seulawah berlarian berlawanan arah. Hawa dingin, terpaan angin yang masuk melalui sela-sela kaca membuat rambutku, jilbab para perempuan di depanku berkibar-kibar. 

"Teuma soe cit laen tapileh jeut keu gubernur seulaen yang mantong muda, gagah, ganteng. (Siapa lagi pilihan kita selain yang masih muda, gagah dan ganteng)," timpal seseorang. Ini bukan suara dari perempuan yang duduk di samping sopir. Tapi suara dari seorang perempuan yang duduk di deretan jok kedua. Suara milik seorang perempuan berjilbab hitam yang sedang berkibar hebat ditiup angin karena kaca jendela tepat di samping kanannya dibiarkan sedikit terbuka.

Obrolan jadi sengit kukira. Jawaban perempuan berjilbab hitam itu disambut gelak tawa oleh semua penumpang. Melalui spion di atas kepalanya, Wak Jol melirik ke arah perempuan yang menjawab pertanyaanya. Aku cepat-cepat merogoh saku celana jeansku. Kuambil telpon seluler, kubuka aplikasi office android, buru-buru kucatat semua pembicaraan mereka.

"Kah cit nyang ganteng-ganteng neu jaga. (Kamu taunya cuma yang ganteng aja)," timpal perempuan yang duduk di sebelahnya. Dari gaya bicara dan kalimatnya, kupikir dua orang perempuan ini cukup kenal baik satu sama lain. 

Saling timpal menimpali antara Wak Jol, dan dua orang penumpang di belakangnya cukup bisa memancing dua perempuan di jok paling depan ikut bersuara. Kini salah satu di antara keduanya, yang memakai jilbab oranye dan duduk di jok samping pintu angkat bicara. "Saya tidak mau tahu ganteng apa tidak. Yang penting bisa bikin tanyoe Aceh sijahtra. Untuk apa ganteng, taunya cuma kawin sana, kawin sini," ujarnya. Kini seisi mobil seperti hanya diisi oleh para penumpang perempuan yang duduk di jok deretan kedua dan dua orang yang duduk di paling depan di samping Wak Jol. 

"Hai meunyo lagee nyan cit hana bantah, (Ya, kalau masalah itu memang tidak ada bantahan)," tukas perempuan berjilbab hitam tadi.

Wak Jol tambah gesit di belakang stir. Sepanjang perjalanan mimiknya sedari tadi sumringah. Lagu-lagu sebelumnya terdengar agak jelas di telinga, sejak memasuki Simpang Beutong, Laweueng hanya terdengar samar-samar saja. Ini artinya percakapan antara antar para penumpang tentang profil para calon gubernur cukup dinikmatinya. 

Pertanyaan pertamanya itu telah membuat suasana di mobil ini menghangat. Akrab. Aku dan dua orang abang-abang yang masuk dalam daftar penumpang di mobil ini hanya menjadi pendengar belaka. Tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Kecuali aku terus mencatat apa saja yang dibicarakan para penumpang perempuan yang sesekali disambut Wak Jol dengan gurauan-gurauan bernada 21 tahun ke atas, dan cukup membuat mereka cekikikan dalam waktu bersamaan. 

Tak terasa mobil yang kutumpangi telah sampai di Simpang Beuracan, Meureudu. Hari telah gelap ketika aku masih saja mencatat obrolan mereka yang telah masuk dalam tahapan: Orang mana Tarmizi Karim itu? Siapa Farhan Hamid? Berapa banyak istri Mualem? Uang dari mana Irwandi beli pesawat? Padup umu Apa Karya? Dan, Doto Zaini ada rumah ngga ya di Swedia?

Di Simpang Empat Meurah Dua, mobil berhenti. Wak Jol berlari membukakan pintu belakang mobilnya agar aku bisa turun keluar. "Na ka deungo, kiban bereh ureueng inong tanyoe bak peugah haba peulitek," kata Wak Jol sebelum meneruskan perjalanannya.[]


____________
*"Baiklah! Beberapa waktu lalu, kampung saya kedatangan Tarmizi Karim. Mau silaturrahmi dengan orang-orang kampung, katanya. Cuma sebodoh-bodohnya kita orang kampung, tahulah kita maksud dia itu apa. Sudah pasti ancang kampanye untuk pilkada depan. Tapi, kalau boleh saya tanya sama kalian berdua, misalkan calon gubernur Aceh nanti ada Mualem (Muzakkir Manaf), Irwandi Yusuf, Farhan Hamid, Tarmizi Karim, Doto Zaini, dan Apa Karya (Zakaria Saman). Di antara mereka, siapa yang lebih cocok kira-kira?"

Comments

  1. Hahaha.....
    Awak aceh kalo masalah politek memang tat cokup carong bak geupegah...
    Cuma trkadang sering kalah dalam mempetakan politek...

    Kunjungi juga
    Sikonyol.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

DN Ibnoe Hadjare

Ganja - II