Seorang Tua yang Muda Kembali di Wapres Bulungan Jakarta



Ada tiga lagu yang dinyanyikannya malam itu. Tiga lagu yang cukup mengukuhkan Mick Jagger–pesohor musik renta yang dengan Keith Richards, Ronnie Wood, Charlie Watts telah melambungkan nama The Rolling Stones jadi band yang patut dikenang sepanjang masa–sebagai pecundang. Sekalipun hanya akan berlaku untuk malam itu saja.
Ia telah renta. Saat dipanggil ke panggung oleh host yang sebelumnya membawakan tiga lagu bergenre rock ‘n roll, dangdut dan reggae, nampak betul jalannya telah ringkih. Tapi celetukan host, “Ini Pak, menyanyilah sampai pingsan,” membuat suasana jadi riuh oleh tepuk tangan dan cekikikan para pengunjung. Dan dengan sumringah ia mengambil pengeras suara yang disodorkan kepadanya.
Warung Apresiasi, berlokasi di Jalan Bulungan, Blok M bilangan Jakarta Selatan. Satu komplek dengan gedung olahraga Bulungan atau persis di sebelah belakang Plaza Blok M. Tempat ini lebih terkenal dengan singkatan Wapres Bulungan. Bagi yang pernah tinggal dan kuliah di Darussalam Banda Aceh antara tahun 2010 ke bawah, lokasi dan bentuk bangunan Wapres hampir sama dengan letak dan gaya bangunan komplek KRB di belakang kedai kopi Alhambra tak jauh dari Simpang Galon. 
Bedanya, jika KRB berupa kostan cewek, sesuai namanya, warung apresiasi (Wapres) Bulungan adalah warung yang menyediakan panggung bagi para seniman lintas bidang untuk unjuk kreasi. Seperti pada Sabtu malam, 31 Januari 2016, Wapres Bulungan adalah tempat di mana si tua yang telah berkeriput itu menyanyi dengan gairah umur duapuluhannya. Menyaksikan performanya, barangkali ia hanya bisa dikalahkan Udin Pelor tapi jelas-jelas mampu menyandingkan diri dengan Mick Jagger. Sekalipun hanya akan berlaku untuk malam itu saja.
Lihatlah. Di atas panggung yang tepat mengarah ke pintu masuk dan tempat duduk para pengunjung yang punya formasi letter U itu, ia melantunkan Separuh Nafas milik Dewa sebagai lagu pembukanya. Tepuk tangan penonton riuh meski suaranya tak sesempurna Once atau Ahmad Dhani. Tapi aksi panggungnya benar-benar mampu memancing para personel band yang mengiringinya membetot bass, menggebuk drum, dan mencabik senar gitar mereka dengan sempurna.
“Bapak capek? Haus, Pak? Mau minum dulu?” berondong host pada si tua itu usai outro Separuh Nafas berakhir yang dijawabnya dengan anggukan saja. “Oke, panitia kosongin ember di belakang dan bawa seember air mineral ke panggung,” kata host itu lagi disambut tawa seluruh pengunjung. Di bully begitu rupa, si vokalis tua bergeming. Malah melodi gitar kembali terdengar dan membuatnya bersiap-siap untuk melantunkan lagu selanjutnya.
“She’s gone, out of  my life …” teriaknya menyambut melodi lagu milik band glam metal Steelheart berjudul She’s Gone. Ini lagu kedua yang dinyanyikan si penyanyi ringkih. Suasana Wapres Bulungan kembali riuh oleh tepuk tangan pengunjung. Para pengunjung yang datang lebih awal berbagi tempat dan langsung berbaur dengan mereka yang datang belakangan.
Wapres Bulungan adalah tipikal lain wajah Jakarta yang sedikit lebih menunjukkan keakrabannya. Beda persis dengan wajah meukeureu’op-nya ketika kau menyusuri sekujur tubuhnya di jalanan yang na’udzubillah macetnya. Dan di Wapres Bulungan, dengan jadwal rutin pertunjukan seni setiap akhir pekannya, kau akan benar-benar paham bahwa mengapresiasi jiwa seni anak muda adalah perkara wajib bagi ‘tenangnya’ sebuah kota. Banda Aceh tidak ada itu, kecuali ruang-ruang apresiasi harus diciptakan sendiri oleh mereka yang bergiat di bidang seni. Kecuali ruang apreasiasi tahunan yang diciptakan pemerintah sering bermasalah dengan polemik kepentingan.
Siapa pun boleh unjuk gigi di Wapres ini. Boleh bernyanyi, bermusik, berpuisi, atau bahkan boleh berpameran lukisan di sini. Tapi jangan sangka Wapres Bulungan adalah tempat eksklusif, tempat berkumpulnya para kawula hedonis yang lebih mementingkan kawat gigi dari pada membeli buku. Dari tampilannya, bangku dan meja-meja kayunya, bentuk panggung berikut pencahayaannya, kau boleh taruhan apa yang tampak di sini masih kalah jauh dengan yang ada di Haba Cafe. Dan dari tempat yang sesederhana Wapres Bulungan inilah, Nidji dan D’Masiv, katanya, mengindonesia. Tak hanya itu, Slank yang baru-baru ini berkunjung dan nyanyi sambil cari emas di Freeport Papua sana, juga kerap singgah ke sini sebelumnya. Begitu juga Rendra semasa hidupnya.
Para pengunjung masih terus berdatangan. Yang tak kebagian tempat, berdiri di dekat pintu masuk dan berbagi meja dengan siapa saja untuk menaruh minuman atau penganan pesanan. Si lelaki ringkih telah berkeringat di panggung. Tapi lirik She’s Gonemasih keluar dari mulutnya walau pun pada lirik-lirik yang membutuhkan lengkingan suara di atas enam-tujuh oktav, ia menyerah dan mengarahkan pengeras suara ke penonton yang duduk tak jauh dari panggung. Koor penonton seketika serempak.
Usai She’s Gone, ia menyeka keringat. Pelayan naik ke panggung membawakannya segelas besar air putih yang langsung disambarnya dengan antusias. Penonton tertawa menyaksikan ulahnya. Dan belum usai tawa mereka, si tua itu kembali menari setengah bersejingkat menyambut intro musik lagu terakhirnya. Dan inilah klimaks penampilannya.Smoke On The Water dari album Machine Head keluaran tahun 1972 Deep Purple dinyanyikannya, yang dengan semangatnya itu membuat penampilannya masuk dalam kategori sempurna.
Selebihnya ia turun dari panggung dengan usaha menegapkan tubuhnya sambil menenteng gelas besar yang telah habis isinya. Panggung Wapres Bulungan yang baru saja dijejakinya telah membuatnya muda kembali. Entah cucunya hadir dan menontonnya di sini.[]

Telah dipublish sebelumnya di komunitaskanotbu

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra