Cerita Tamat Ganja di Pulo Aceh

MENDUNG berarak cepat memayungi langit Banda Aceh setelah kapal motor (KM) Satria Baro bernomor lambung GT 33 No 279/QQM angkat sauh dari pelabuhan Lampulo. Sesaat KM Satria Baro keluar dari muara Krueng Aceh, hujan turun dengan lebatnya diiringi jilatan kilat. Guyur hujan lebat terlihat serupa tirai raksasa. Banda Aceh dari jauh tak ubahnya seonggok daratan berwarna kusam kelabu. Kesan angker dan misterius semakin terasa saat jilatan kilat yang serupa mata tombak berpijar dengan gempita.

Minggu (26/4/2015) lalu, dengan menumpangi KM Satria Baro kami menuju Pulo Aceh. Satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, yang wilayahnya terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil di sebelah Barat Laut dari Kota Banda Aceh.
KM Satria Baro adalah salah satu alat transportasi masyarakat setempat yang hampir setiap hari pulang pergi Pulo Aceh – Banda Aceh. Di Banda Aceh, pelabuhan Lampulo menjadi tempat bersandarnya kapal penumpang menuju ke Pulo Aceh, kecuali ada beberapa di antaranya juga berlabuh di pelabuhan Ulee Lheue. Ongkos sekali jalan Rp30 ribu per orang.
Kapal terus melaju membelah ombak. Kota Banda Aceh tempat kami bertolak telah tinggal jauh. Di kapal ini kami berbaur dengan sekitar 30 lebih penumpang. Hampir semuanya membawa barang belanjaan dari kota untuk di bawa pulang. Ada yang membawa bibit kelapa, sepeda anak-anak, bahan bakar minyak, papan, gula, sepeda motor, dan beragam jenis keperluan lain yang semuanya disusun sedemikian rupa oleh awak kapal di bagian lambungnya.
Usai berlayar sekitar dua jam, kami mulai memasuki wilayah Pulo Aceh. Ia meliputi tiga pulau utama, yaitu Pulau Breueh, Pulau Nasi dan Pulau Teunom serta beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Kapal motor yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Seurapong Pulo Breueh. Untuk mencapai ke sini, siapa pun harus melewati sebuah selat kecil yang memisahkan Pulau Breueh dan Pulau Nasi. Selat kecil yang dihimpit dua pulau di mana hamparan pantai berpasir putih di kedua sisi kapal tak ubahnya sebuah gerbang yang menyimpan keeksotisan panorama laut daerah ini.
Sekitar pukul 16.25 WIB kapal telah bersandar di pelabuhan Seurapong. Ini pelabuhan kecil yang terletak pada sebuah teluk yang tenang berpasir putih. Di pinggir pantai anak-anak bermain dengan deru ombak. Puluhan motor boat nelayan dengan cat warna warni tertambat rapi memenuhi hampir sepertiga luas telukKontras dengan hijau hamparan bukit di seberangnya.
Foto: Zulfan Amroe

Turun dari kapal kami langsung menuju ke sebuah warung kopi. Dari dermaga jaraknya hanya sekitar dua puluh meter saja. Warung kopi sederhana. Berupa bangunan kayu, dengan beranda yang di bangun terbuka tempat para pelanggan duduk menikmati kopi menghadap teluk.
Memasuki beranda warung kami disambut ramah oleh para pelanggan yang lebih duluan mengambil tempat. Tapi yang paling berkesan setiba di sini adalah dua deret kalimat yang tertulis dengan spidol. Memakai huruf kapital, font lettering, dan tipografi seadanya, dua deret kalimat itu tertera terpisah. Satu bertulis, “WAR COP” tertera di dinding sebelah kanan pintu. Sementara sederet kalimat lain yang tertera di dinding sebelah kiri pintu terbaca,  “Dilarang hisap ganja di area warung!!!”
Tak jauh dari warung, sebuah bangunan dengan plang bertulis Kantor Polsek Kecamatan Pulo Aceh terlihat sepi. Di pagar sebelah kiri bangunan itu terpajang sehelai spanduk berisi taklimat pengumuman penerimaan anggota polisi, perwira, dan lain sebagainya untuk tahun 2015, lengkap dengan keterangan syarat-syarat administrasinya.
Menyesap kopi di beranda warung yang menghadap teluk tempat anak-anak bercengkerama dengan gelombang, boat-boat nelayan tertambat rapi, dengan panorama bukit hijau di seberangnya jelas-jelas jarang bisa ditemui di Banda Aceh. Pulo Aceh, dengan warung kopi sederhana tempat singgah pertama setiba kami di sini, benar-benar menawarkan suasana damai alamiah.
Beberapa laki-laki, tua atawa muda terus berdatangan ke warung ini. Mereka saling bertegur sapa satu sama lain yang kerap berujung pada senda gurau dan cukup bisa memancing gelak tawa.
Seorang lelaki paruh baya datang dan mengambil tempat duduk di antara kami. Menyambangi kami dengan ramah. Namanya Tarmizi (50), warga Pulo Teunom yang setelah tsunami (smong) telah pindah ke  Seurapong. Perawakannya tinggi, kekar, berkulit gelap, raut wajahnya keras namun terkesan ramah saat ia mulai berbicara. Sekilas ia terlihat mirip dengan Eli, pemeran utama film The Book of Eli yang dibintangi aktor papan atas Hollywood, Denzel Washington. Oleh warga setempat ia akrab disapa Bang Di. Selama di Pulo Aceh kami akan menginap di rumahnya.
Magrib segera tiba, gelas kopi sedari tadi sudah tak berisi. Mendung mulai bergelayut. Anak-anak yang bermain di pantai telah pulang satu-satu. Begitu juga dengan pelanggan di warung kopi. Bang Di yang menyambut kedatangan dan menemani kami ngopi sore mengajak untuk segera ke rumahnya. Setelah membayar, kami beranjak pulang mengikuti Bang Di dengan berjalan kaki. Saat ingin keluar warung, sekali lagi terbaca tulisan di dinding, “Dilarang hisap ganja di area warung!!!”
Sekitar lima belas menit berjalan kaki, kami tiba di sebuah area perumahan yang serupa komplek. Seluruh rumah tertata, dengan pintu depan saling berhadapan di batasi lorong-lorong kecil. Hampir semua rumah sama bentuknya. Sebelum smong, masyarakat Gampong Pulo Teunom tinggal terpisah di satu pulau sebelah selatan Gampong Seurapong, di mana nama gampong tersebut merujuk kepada nama pulau: Pulo Teunom. Setelah smong, fasilitas seperti sekolah, puskesmas dan pelabuhan hancur, sehingga semua masyarakatnya sekarang bermukim di Gampong Seurapong. Termasuk ia dan istrinya.
“Ini adalah perumahan bantuan setelah tsunami. Di sini, khusus tinggal warga Pulo Teunom. Semua kami yang dari sana terpaksa harus pindah ke sini, karena tsunami telah merenggut semuanya di sana,” jelas Bang Di.
Belum semua barang bawaan turun dari bahu, hujan deras turun diselingi kilat dan petir yang menyambar. Beruntung kami sudah di rumah. Disambut istri Bang Di, yang oleh warga sekitar akrab disapa Emak, dengan suguhan kopi dan pulut ketan bakar sedikit banyak bisa menghangatkan suasana.
Maghrib usai. Di luar, hujan masih saja mengguyur. Tapi kopi telah terseduh kembali. Sementara Emak tengah sibuk menyiapkan makan malam, di ruang tamu Bang Di bercerita banyak tentang kesehariannya kepada kami. “Pekerjaan saya sekarang tak menentu. Paling ya cari gurita dan berkebun di Pulo Teunom sana,” ujar Bang Di.
Dari semua cerita Bang Di, malam itu, cerita tentang ganja di Pulo Aceh adalah hal yang paling membuat kami tertarik untuk mendengarnya. Betapa tidak, Pulo Aceh adalah satu kawasan di Aceh yang terkenal sebagai penghasil ganja dalam beberapa dekade terakhir. Ganja, pun ditabal sebagai tanaman paling diharamkan negara, sempat menjadi komoditi utama bagi masyarakat setempat. Namun kini, itu sudah tinggal kenangan. Hiruk pikuk Pulo Aceh sebagai penghasil ganja terbesar meredup sudah. Atau bisa dikatakan hilang sama sekali.
Sebelum tanaman ganja menjadi komoditi utama pulau Aceh yang terbagi dalam Pulo Nasi dan Pulo Breuh, masyarakat mengandalkan cengkeh sebagai penopang utama ekonomi. Kala itu, kata Bang Di, bertepatan dengan masa jaya pelabuhan bebas Sabang. Cengkeh jadi tanaman prioritas warga karena hasilnya lebih mudah dijual, apalagi dengan harga yang cukup tinggi. Itu berkisar antara awal hingga akhir 1970-an.
Konon, masyarakat percaya kematian tanaman cengkeh di Pulo Aceh disebabkan kemarau panjang yang melanda. Rumor lain, banyak juga penduduk percaya bahwa kematian cengkeh akibat dari euforia masyarakat kala itu. Karena uang seperti sangat mudah didapatkan di sini dari hasil produksi cengkeh. Itu kata Hamdani (50) warga Seurapong, saat ditemui di pinggir pantai pada Kamis (30/4/2015) dini hari. Ia baru hendak pergi memasang jaring dengan sampan kano, ketika kami ajak bercerita.
“Sejak cengkeh sudah tidak ada lagi. Hampir semua kami di sini kemudian beralih ke tanaman ganja,” ujar Hamdani.
Seingatnya, awal sekali ganja ada di Pulo Aceh dibawa oleh seorang pendatang bernama Munir alias Yah Nek. Tepatnya di gampong Meulingge. Sebuah desa di ujung pulau di mana mercusuar Williems Torren yang di bangun Kerajaan Belanda pada masa perang Aceh berlangsung berdiri kokoh hingga sekarang. Dimasukkannya tanaman ganja itu pertama sekali menurut Hamdani, tercatat sebagai masa transisi kejayaan cengkeh ke tanaman ganja.
Hamdani tambah asyik bercerita. Rokok yang kami sodorkan disulutnya pelan, sambil mencari posisi duduk yang pas di sebatang kayu yang teronggok di pinggir pantai. Debur ombak, dinginnya angin malam, gugusan bintang dan api unggun yang sebelumnya kami buat dengan reranting kering mengiring nostalgia Hamdani tentang tanah kelahirannya ini yang sempat berjuluk Pulo Ganja. Hamdani seperti lupa untuk turun ke laut saking asyiknya bercerita. Dan kami menyimaknya dengan seksama.
Menurutnya, tahun 1979, di mana tanaman ganja dibawa masuk oleh Yah Nek, masyarakat setempat belum banyak tahu tentang apa pun terkait dengannya. Padahal tahun 1976, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan ‘fatwa’ haramnya ganja.
Larangan Itu diawali dengan berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl. 1927 No 278 jo. No 536). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-undang (UU) No 9 Tahun 1976 tentang narkotika. Selanjutnya diganti menjadi UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika sampai dengan munculnya UU No 35 tahun 2009 sebagai pembaharuan terbaru dari undang-undang tentang narkotika.
Namun, kata Hamdani menurut kabar yang sempat didengarnya, Yak Nek tertangkap kemudian di Banda Aceh.
“Saya tidak tahun berapa tepatnya Yah Nek tertangkap. Yang jelas, ada kabar yang kami dengar waktu itu beliau tertangkap, dan sejak saat itu saya tidak pernah mendengar kabar lagi tentangnya,” kata Hamdani.
“Konon,” lanjut Hamdani, “warga di sini kemudian tahu bahwa tanaman itu adalah ganja dan dilarang negara, tak lain karena pernah suatu kali, biji ganja yang keberadaannya sudah meluas di Pulo Aceh dikirim ke seorang pejabat kepolisian di Sabang oleh kerabatnya yang tinggal di sini. Saat itu si pengirim juga tidak tahu biji ganja yang dikirimnya adalah barang haram, melainkan yang ia tahu barang itu bisa jadi obat dan bumbu masakan.”
Sejak itulah mulai dikenal luas Pulo Aceh menjadi daerah penghasil ganja, di mana kelak ia tersebar dan menjadi dekat dalam kehidupan masyarakat hingga akhir tahun 2003.
Di luar hujan mulai reda. Namun Bang Di masih semangat bercerita. Lelaki ramah ini mengaku, ia adalah bekas seorang pengutip dalam peredaran skala besar ganja dari Pulo Aceh. Sejak diketahui ganja punya harga tinggi, warga setempat mengalihkan tanaman bercocok tanamnya di kebun-kebun mereka dari cengkeh ke ganja.
Soal larangan negara, menurut Bang Di, hampir semua masyarakat tidak mengetahuinya sama sekali. Itu tidak lain karena tertutupnya informasi luar ke wilayah ini. Di tambah kawasan Pulo Aceh masa itu masih termasuk bagian dari kecamatan Pekan Bada Kabupaten Aceh Besar, yang pusat administrasinya di daratan membuat kawasan ini benar-benar tertutup.
“Dulu mana ada kantor pemerintahan di sini. Polsek, Koramil dan Kantor Camat semua di Pekan Bada sana. Di darat sana,” terang Bang Di.
Maka sebab tertutupnya Pulo Aceh, jadilah ganja menjadi sumber ekonomi warga kala itu. Bisnis ganja untuk dibeli oleh orang-orang daratan yang sengaja berlayar ke sini dipegang oleh beberapa orang berpengaruh. Termasuk Bang Di.
Bang Di masuk dalam sebuah sindikasi beranggotakan tujuh pemuda dari gampong berbeda di pulau paling barat Indonesia ini. Setiap anggota mempunyai tugas tersendiri. Malam itu Bang Di hanya menyebutnya tiga nama panggilan orang-orang yang pernah menjadi rekan kerjanya. Ada Pek Yan, Abu Salam dan Nek Min, sementara tiganya lagi Bang Di sudah tidak mengingat namanya.
Untuk memudahkan kerja di lapangan, Bang Di selaku kepala pengutip dibantu oleh 22 orang anggota lainnya. Lingkaran pelaku terbagi dari setiap gampong dan semuanya ia rekrut sendiri. Semasa itu, kisah Bang Di, ganja nyaris bisa ditemui di setiap halaman rumah masyarakat. “Kalau kita buka pintu rumah langsung nampak pohon ganja di kebun-kebun warga,” ujarnya sambil menyulut rokok.
Ketika ganja telah benar-benar menggantikan posisi cengkeh dalam keseharian masyarakat. Umumnya penduduk Pulo Aceh berprofesi ganda: Nelayan sekaligus petani ganja.
Pun demikian, warga tidak pernah menjual sendiri ganja hasil tanaman mereka. Apalagi dalam jumlah besar. Semuanya dikendalikan oleh kelompok Bang Di. Sebagai bocoran, untuk setiap sepuluh kilogram ganja yang akan dikeluarkan dari Pulo Aceh. Satu kilogram diambil Bang Di untuk diserahkan ke Pek Yan selaku kepala kelompok.
“Saya tidak tahu dibawa kemana ganja yang telah saya kumpulkan itu, saya hanya bertugas untuk mengutip,” kenang Bang Di.
Namun, menurut Bang Di, kedekatan masyarakat Pulo Aceh dengan ganja benar-benar terpisah setelah adanya peristiwa penting yang masih dianggap sakral oleh masyarakat aceh. Itu terjadi setahun sebelum bencana smong. Setelah kejadian itu bisa dikatakan ganja benar-benar hilang di Pulo Aceh. Pasar gelapnya seketika tutup. “Kalau pun masih ada ganja dan jual belinya masih ada, saya berani bertaruh itu hanya cilet-cilet (ecek-ecek) saja dibanding dengan apa yang kami kerjakan dulu,” katanya.
Sejak peristiwa penting itu, kata Bang Di, Pulo Aceh tuntas bersih dari ganja. Apa lagi sejak dimekarkannya wilayah Pulo Aceh menjadi satu kecamatan dan lepas dari kecamatan Pekan Bada di daratan sana. Kawasan ini sudah lebih terbuka, dengan adanya beberapa kantor administrasi kecamatan seperti Kantor Camat, Polsek dan Koramil.
Peristiwa penting yang mengikis keberadaan ganja yang dimaksud Bang Di adalah apa yang terjadi pada tahun 2003. Adalah kebijakan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Irjen Polisi Yusuf Manggabarani pengukuh peristiwa yang hingga sekarang masih lekat dalam ingatan warga.
Tahun itu, Pulo Aceh menjadi pusat pemberantasan ganja secara besar-besaran se Provinsi Aceh. Tapi jika dibayangkan pemberantasan ini dilakukan dengan gaya militer yang mengedepan tindak kekerasan adalah salah besar. Sebab kebijakan Kapolda Manggabarani saat itu bisa diterima dengan suka rela oleh semua masyarakat.
Kata Bang Di, dari caranya, jelas Kapolda saat itu memahami seutuhnya watak masyarakat Pulo Aceh. Kapolda pintar, sambung Bang Di, ia tidak menangkap. “Kalau main tangkap begitu saja, maka terlalu banyak warga yang harus ditangkap, karena hampir semua rumah dipastikan menyimpan ganja yang siap jual. Kapolda menggunakan pendekatan yang sesuai dengan tabiat masyarakat Aceh.”
Kepolisian Daerah Aceh memberikan tenggat waktu tiga bulan untuk tumpas habis ganja, baik di ladang atau di rumah. Ini disosialisasikan ke seluruh gampong di Pulo Aceh. Bersamaan dengan kegiatan ini, polisi juga telah mendeteksi jaringan lokal pemasok ganja ke pasar gelap daratan Aceh.
Disisi lain pada masa yang sama pula ganja telah jadi komoditas utama di Pulo Aceh. Ekonomi masyarakat bergerak naik. Hampir semua warga sudah mampu beli sepeda motor kala itu. Padahal ruas jalan di belumlah sebagus sekarang. Masih berupa jalan tanah yang kalau musim hujan dipastikan sangat susah dilalui.
“Harga ganja saat itu 25 ribu rupiah perkilogram,” terang bang Di.
Anehnya, ungkap Bang Di, sejak awal ultimatum selama tiga bulan bahwa ganja akan dibumi hanguskan di Pulo Aceh, masyarakat saat itu justru merasa sangat bebas untuk bertransaksi. “Masyarakat seperti dibebaskan untuk menanam dan menjual sebanyak mungkin. Apa maksudnya? Kami tidah tahu,” kata Bang Di sambil terkekeh.
Bang Di dan istrinya | Foto: Zulfan Amroe

Tiba saatnya setelah tenggat tiga bulan ultimatum di tahun 2003, seluruh masyarakat diwajibkan untuk mengeluarkan semua ganja yang disimpan di rumah. Bagi yang punya ladang juga diharuskan mengerjakan hal serupa. Himbauan dikirim ke setiap gampong via Keuchik/ Kepala Desa. Pada hari yang telah ditentukan, warga berduyun-duyun memanggul ganja ke pelabuhan di gampong Ulee Paya.
Setelah terkumpul yang menurut Bang Di jumlahnya dalam hitungan ton, di mana tumpukannya menggunung di lapangan luas, ganja pun dibakar. Masyarakat menyaksikan langsung dari dekat proses pembakaran ganja ini.
Hal serupa juga diceritakan Burhanuddin (30) ketika ditemui di warung kopi bertuliskan “Dilarang hisap ganja di area warung” keesokan harinya. Pun pada masa pemusnahan ganja besar-besaran itu Burhan masih terbilang pemuda tanggung, ia pernah mendengar cerita orang-orang tua tentangnya.
Bahkan sebagaimana yang pernah didengarnya, dalam operasi tersebut, polisi juga menurunkan helikopter untuk mengawasi proses pemusnahan. “Pada masa itu, warga yang datang membawa ganja, ada yang menentengnya kantong plastik, ada yang mengangkut menggunakan karung besar. Semua dibawa ke lapangan untuk dibakar,” ujar Burhan.
Walau semua ganja sudah dibakar, proses pemutusan mata rantai pasar gelap ganja di Pulo Aceh belum usai. Strategi Kapolda Aceh selanjutnya, kata Bang Di, adalah dengan memanggil tujuh orang anggota kelompoknya. Pemanggilan itu, menurutnya, dilakukan dengan sangat terhormat oleh pihak polisi. Yaitu semua anggota kelompoknya dipanggil untuk berkumpul di Masjid Gampong Gugop. Tetangga Gampong Seurapong yang letaknya persis di seberang teluk tempat pelabuhan Seurapong berlokasi.
Bersamaan dengan pemanggilan terhadap Bang Di dan komplotannya, Kapolda juga mengundang 13 ulama di daratan Aceh untuk berjumpa langsung dengan komplotan Bang Di di masjid yang sama. “Suasana hari itu riuh sekali. Masyarakat berdatangan untuk menyaksikan gerangan apa yang terjadi di dalam masjid.”
Setelah dipertemukan dengan saling berhadapan dengan sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Aceh, ketujuh orang kelompoknya lalu diambil sumpah di Al-Qur’an untuk tidak lagi menampung ganja dan penjualnya kepada siapa pun. Proses pengambilan sumpah ini, menurut Bang Di adalah sumpah yang dilakukan secara simbolik, dan juga tertuju kepada seluruh masyarakat untuk tidak menanam ganja lagi.
Mengenang peristiwa itu, Bang Di tersenyum tipis. Bibirnya yang legam oleh candu rokok tersungging sambil menarik napas dalam-dalam. Seperti ada beban hidup yang baru saja dilepaskan begitu saja setelah ia mengisahkan prosesi pengambilan sumpah itu.
Bang Di mengaku dengan sadar. Kenakalan yang ia lakukan dengan kelompoknya berakhir di bawah Al-Qur’an. “Di hadapan ulama, tokoh, polisi dan masyarakat ramai, kami bersumpah untuk tidak menanam dan menjual ganja lagi. Itu masih saya pegang hingga sekarang. Kita orang Aceh sebakhil apa pun kita, kayaknya tidak akan mau main-main dengan sumpah. Apalagi yang melakukan sumpah kita para ulama. Siapa berani ingkar coba?”
Sejak sumpah diikrarkan, Bang Di mulai merubah kesibukannya. Begitu juga dengan teman-teman seperjuangannya. Ia aktif turun ke laut sekadar mencari lobster atau gurita di sekitar Pulo Teunom hingga sekarang. Hasilnya ia jual ke penampung.
“Setelah setelah sumpah, mendadak peredaran ganja di Pulo Aceh boleh dikatakan tamat,” kata Bang Di menutup ceritanya.
Seusai Bang Di menutup kisahnya sejenak semua diam. Hujan telah reda. Suasana ruang tamu yang sekarang berkabut oleh kepul asap rokok mendadak hening. Kecuali debur ombak pantai berderu, dan suara jangkrik di luar menjadi pelengkap bagi meruapnya aroma laut masuk ke dalam indera penciuman.
“Saatnya makan malam,” kata Emak membuyarkan keheningan.
Lantas ruang tamu tempat cerita tamatnya ganja di Pulo Aceh dikisahkan kembali oleh Bang Di, disulap jadi ruang makan. Nasi putih, telur dadar, ikan asin dan sayur bening telah terhidang.
“Kalau ganja tidak dilarang mungkin Emak bisa memasakkan kalian kuah lemak pucuk ganja dicampur dencis,” kata Emak sembari terkekeh. (Zamroe/Reza)

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di atjehlink.com, hasil liputan bersama wartawan Zulfan Amroe.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra