Yang Singgah Lantas Buru-buru Pergi; Mengenang Tangisan Nona Meijer Atas Kematian Kekasihnya Letnan de Bruijn di Belantara Meulaboh-Teunom Pada 11 Juli 1902

Pada Gelap yang Berbintik-bintik, karya Reza
Ada saat-saat manakala malam mulai turun untuk menyatu dengan kedalaman sunyi, kau membuka bilah-bilah kenangan. Semisal kenangan tentang ia yang pernah singgah untuk kemudian buru-buru pergi. Atas kepergian itu kau hanya bisa mengulum senyum, sambil bersikeras menyatukan unsur manis dan pahit dalam sebuah adonan perasaan yang seketika saja menggemuruh.

Namun, kentut jualah yang membuat kau menyungging senyum kali kedua. Lepas. Lega. Sambil menarik napas panjang, bersiap-siap melepaskan kentut yang kedua. Yang bunyinya lebih keras dari kentut pertama. Yang bunyinya hampir sama kerasnya dengan letup karaben pasukan Pang Polan di belantara Meulaboh - Teunom yang membuat seorang calon pengantin pria Belanda, Letnan de Bruijn beserta hampir semua tentara bawahannya seketika jadi mayat pada 11 Juli 1902.

Kepergian kekasih adalah muasal dari segala pilu. Setidaknya itulah yang dialami Nona Meijer, ketika mendengar berita calon suaminya telah tak bernyawa. Sementara hari akad telah ditentukan jauh-jauh hari, seperti halnya Van Heutsz yang bengis merestui keduanya dengan tanggung beres segala biaya termasuk pesanan baju pengantin dari Pulau Jawa. Tapi Van Heutsz yang bengis pun nestapa. Konon lagi si Nona Meijer malang. Ratap isak bersidekap dengan pupusnya segala harap demi menyaksikan iringan mayat tunangannya masuk ke pekuburan Peutjut. Alih-alih berjalan lembut ke kamarnya yang kini telah terhias ciamik penuh bunga.

Barangkali kau masih sempat tersenyum setelah kepergiannya sembari lega melepaskan kentut dengan perasaan lapang merdeka. Tapi tidak demikian dengan Nona Meijer yang tengah menderita. Amarahnya senantiasa menyatu dengan jiwa nelangsa. Terpendam dalam dada yang tentu saja bertetangga dengan angin buruk alamat kentut yang mengendap dalam lambungnya. Dan ia harus memendam itu semua dalam tubuh sengsaranya yang tak dapat diuraikan dengan segala kata derita di dunia.

Cinta adalah perang Aceh versus Belanda. Adalah geram yang meusapat dengan rindu berbaur dendam ingin ketemu dan terlukis dalam kuatnya degup jantung manakala sayup-sayup terdengar kokang senjata musuh di seberang rimba. Mungkin itu kokang senjata Pang Polan. Boleh jadi bukan. Tapi kau tak akan mengerti tentang hal ini. Zaman kau hidup, kau mencinta, berpaut jauh dengan zaman dendam cintanya Nona Meijer. Dan Letnan de Bruijn yang rubuh meuhila adalah tumbal dari gelora perang, gelora cinta. Sampai-sampai wajah Van Heutsz menjadi kuning pucat mendengar kabarnya.

Malam telah lama turun dan sekarang meringkuk di kedalaman sunyi. Kau buka kembali bilah-bilah kenangan yang di dalamnya bercampur pahit manis mencinta yang telah menggumpal menjadi semacam partikel asing tak bernama. Itu partikel paling absurd yang pernah kau pendam dalam batok kepala. Tapi senyuman mendiang Letnan de Bruijn dimana arwahnya tengah duduk santai di Taman Ghairah Putroe Phang sekarang ini adalah perihal yang lebih absurd tenimbang segala absurditas yang ada.

Lantas (arwah) Van Heutsz pun bangkit setelah keluar dari kamar kecil di dalam kuburannya yang sempit. Bibirnya bergerak-gerak lambat. Lamat-lamat mulutnya mengeluarkan suara.Pelan merambat. Ia bersenandung. Der gute Kamerad. Lirih: "Ich hatt' einen Kameraden, einen bessern findst du nit." Pedih.[]


Bacaan: Henri Carel Zentgraaff, ACEH (terj.)


Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra