Tentang Memperingati 10 Tahun Smong

Jum'at, 26 Desember 2014. Bangun pagi kudapati matahari cerah bersinar, setelah dalam dua minggu terakhir Banda Aceh dikepung mendung serta hujan tak henti-henti.

Ini hari bersejarah bagi orang Aceh. 10 tahun lalu, 26 Desember 2004, laut mengamuk. Gelombang yang biasanya membelai lembut sepanjang garis pantai Aceh yang indah, hari itu berubah menjadi momok maha besar, hitam, seperti naga kalap menghantam daratan berikut isinya. Ratusan ribu manusia meninggal dunia, dan tak terhitung harta benda hilang dalam sekejap mata. Sekonyong-konyong semuanya ambruk, tersuruk, seperti apa yang disebut Chairil dalam puisinya; "... guyah lemah/Sekali tetak tentu rebah ..."

Dunia menyebut amuk laut itu dengan nama tsunami. Dua suku kata dari bahasa Jepang; tsu (pelabuhan) dan nami (gelombang), yang secara bebas bisa diartikan gelombang besar di pelabuhan. Aceh punya nama sendiri untuk gelombang maha dahsyat ini; ie beuna dan smong. Ie Beuna didapat pada sebuah naskah pantun lama yang menceritakan kejadian dahsyat begitu rupa pernah terjadi jauh tahun sebelumnya. Smong adalah kata lain yang menunjukkan kejadian sama yang pernah menerjang Kabupaten Simeulue, satu wilayah kepulauan sekitar 150 km lepas pantai barat Aceh, pada tahun 1904 silam. Hikayat smong telah diceritakan oleh masyarakat di sana secara turun temurun dalam bentuk seni tutur tradisional atau lebih dikenal dengan Nandong. Kesenian tradisi Nandong ini, dengan kisah-kisah hikayat smong-nya terbukti telah menjadikan masyarakat Simeulue lebih awas pada fenomena naiknya air laut ke daratan. Dari sejumlah tempat yang di terjang smong, Simeulue tercatat sebagai daerah dengan jumlah korban jiwa paling sedikit di antara daerah-daerah lain. Itu makanya dalam tulisan ini, aku lebih memilih kata smong tenimbang kata tsunami.

Seperti biasa aku ke warung kopi dekat rumah setelah cuci muka. Cuaca cerah dan acara peringatan 10 tahun smong yang puncaknya diadakan di Blang Padang membuat jalanan ramai pagi ini. Di warung kopi kudapati meja-meja pelanggan penuh terisi, kecuali sebuah meja terletak di sudut belakang yang kosong tanpa pelanggan seperti sengaja disediakan khusus buatku yang datang belakangan. Kupesan sepancung kopi dan beberapa penganan basah sebagai menu sarapan pagi ini.

Kopi dan penganan disuguhkan pelayan. Kuseruput pelan-pelan. Lantas kusibukkan diri dengan membaca macam-macam artikel yang link bacaannya berseliweran di akun laman sosial melalui smartphone. Tapi lima pelanggan yang duduk mengitari meja di samping kiri seperti tak membiarkan konsentrasiku fokus pada bacaan sebab mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang cukup keras. Mereka berbagi kisah 10 tahun lalu itu. Cerita-cerita berhubungan dengan smong tentu saja. Dari apa yang sekarang tak sengaja kudengar, dapat kupastikan kelima orang ini tidak berada di Aceh ketika bencana smong menerjang. Tiga di antaranya bukan orang Aceh. Itu bisa kuketahui dari logat bahasanya yang medhok, yang pake kata lu-gua, dan satu lagi beraksen timur Indonesia. Sementara yang dua lagi, juga dari logatnya dapat di tebak orang Aceh asli.

Smong bagi kelima lelaki parlente yang sekarang tertawa terbahak-bahak adalah momen yang membuat mereka saling kenal satu sama lain. Paska smong, seisi dunia berbondong menunjukkan solidaritasnya kepada para korban. Ada yang datang membawa uang, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya. Puluhan trilyun rupiah mengucur demi pemulihan paska bencana. Jumlah uang yang demikian besar dikelola pelbagai NGO, LSM, dan instansi-instansi pemerintah, yang tenaga-tenaganya banyak berdatangan dari luar. Dan di antara tenaga yang mengelola uang bantuan tersebut, hari ini kudapati sedang reuni di sini. Di samping tempatku duduk menikmati kopi pagi.

Dari reuni kecil ini, aku mendengar mereka mengenang pengalaman-pengalaman mereka selama bekerja di Aceh sambil terbahak-bahak, ngakak, penuh suka cita. Di sela-selanya kudengar pula gaji per bulan mereka selama bekerja di salah satu NGO jumlahnya setara dengan setahun gaji seorang kepala sekolah ditambah uang sertifikasi plus gaji tiga belas. Aku mengernyitkan dahi. Sesaat kutoleh wajah mereka satu per satu, dan hmmmm... dari penampilannya dalam hati aku bergumam sendiri, "Inikah orang-orang yang telah 'sukses' membantu kami dulu." Lantas pikiranku menerawang kemana-mana hingga sampai pada pernyataan; bahwa terima kasih yang tak terhingga kepada siapa pun yang telah membantu para korban smong adalah mutlak. Tentu saja.

Bagiku atau mungkin juga bagi orang Aceh, smong adalah titik balik. Dalam hitungan hari, Aceh yang tertutup dari dunia luar akibat konflik bersenjata RI-GAM selama puluhan tahun, terbuka lebar setelah smong menghumbalang. Lantas setahun kemudian damai tercipta, dan perang pun berhenti. Smong seperti datang membuka jalan lempang bagi proses perdamaian RI-GAM yang sebelumnya selalu tersendat-sendat dan macet di tengah jalan. Tapi jalan lempang itu butuh tumbal ratusan ribu nyawa dan kedatangannya tercatat sebagai musibah maha besar yang pernah terjadi di dunia abad ini.

Paska smong, Aceh merangkak, menapak, bangkit sedikit demi sedikit sambil dipapah oleh berbagai suku manusia dari belahan dunia mana pun berikut gelontoran dana bantuan yang sangat besar jumlahnya. Selama proses bangkit ini, cerita-cerita tentang smong, yang ghaib, yang di luar nalar, atau bahkan cerita-cerita skandal bantuan dana yang tidak sampai kepada korban, atau juga cerita-cerita sukses lembaga-lembaga donor yang telah bekerja tanpa pamrih menyalurkan bantuan, atau cerita-cerita pembangunan fisik dan non fisik orang-orang pemerintahan kuserap baik-baik dalam ingatan. Diam-diam apa yang kuserap itu kucerna sendiri dengan akal logika yang ada tanpa mau mendiskusikannya dengan siapa pun.

Selama proses bangkit dari kehancuran akibat smong hingga hari ini hal-hal yang berhubungan dengannya, apakah pengalaman di minggu kelam itu, kuburan massal, museum smong, kapal apung, pengungsi, rumah bantuan, dan lain sebagainya adalah perihal yang paling enggan untuk kubicarakan dengan yang lain. Bagiku pengalaman hidup sebagai seorang remaja pada zaman konflik, ketika kontak senjata kerap terdengar adalah topik yang lebih asyik dikenang dan dibicarakan tenimbang pengalaman smong yang efeknya benar-benar meyayat hati.

Hari ini mendengar obrolan menyangkut smong yang penuh canda tawa keluar dari mulut orang-orang yang sepertinya 'patut' diucapkan terima kasih, aku seperti memendam perasaan yang mendidih. Bulu kuduk seketika bangkit, dan kopi yang biasanya terseruput manis-manis pahit seperti berubah hambar seketika. Aku beranjak ke kasir, membayar bill dan pulang ke rumah dengan perasaan geram yang tak tahu harus kulampiaskan kemana, kepada siapa. 10 tahun setelah kedatangan smong, aku masih belum bisa tertawa tentang apa pun yang berhubungan dengannya.

Tapi hari ini, di warung kopi langganan kudapati kata peringatan telah disamaartikan dengan kata perayaan. Entah di Blang Padang berlaku hal yang sama juga? Aku cemas sendiri, pulang berjalan kaki sambil mengingat penggalan puisi Chairil dalam judul yang lain; "aku berkaca/bukan buat ke pesta//ini muka penuh luka/siapa punya? ..."[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra