Kain Sigli, Memoar Dua Kota Dalam Puisi

Di Sigli aku kembali berbaur dengan orang-orang yang tak pernah jenuh berlama-lama di warung kopi. Satu kali dari mulut seorang pemuda yang penampilannya bisa ditebak iaa adalah mahasiswa, aku dengar nama Sarjani disebut-sebut. Nama Bupati Kabupaten Pidie usungan partai politik lokal, yang setelah kemenangannya dalam pilkada lelucon-lelucon seperti, "Kalau sudah ada Sarjani, untuk apa lagi sarjana," beredar dari mulut ke mulut.

"Sarjani maunya begini, tapi anak buahnya berlaku begitu. Atau sebaliknya. Maka beginilah kita di sini. Sigli berdenyut antara hidup dan mati," kata si pemuda sambil terbahak kepada temannya. Mendengar ocehan itu aku berpaling. Si pemuda terus berbicara dengan suara lantang tanpa menggubris orang lain. Bersama temannya ia membicarakan kota kelahirannya yang pasif.

Pandanganku masih tersangkut di wajah pemuda itu. Di sana kutemukan raut kenangan tentang Sigli yang ringkih. Yang terus berusaha beranjak-bangun dengan langkah tertatih. "Kau lihat sendiri, Sigli adalah kota statis. Pembangunan hanya berupa ruko-ruko di pinggir di terminal yang tak begitu aktif, beton-beton trotoar yang saban tahun diganti, aspal kota yang tiap akhir tahun diperbaharui, juga toilet-toilet meunasah yang bangunannya megah tapi akhirnya hanya menguarkan bau pesing yang membuat putus bulu hidung," kata si pemuda sambil menyeruput kopinya.

Aku terus menatapnya. Ia terus menyerocos tanpa henti seperti mengutuk diri sendiri, seperti menyesali kenapa ia terlahir sebagai orang Sigli. Tapi lain kali, saat ia diam sejenak, menghela nafas sambil menyeruput kopi untuk kemudian menyulut sebatang rokok yang asapnya dihisap dalam-dalam, kutemukan rautnya berubah menjadi selembar naskah puisi. Naskah puisi berjudul Kain Sigli yang ditulis Nirwan Dewanto sembilan tahun silam. Di raut wajah itu, kubaca kembali; "Kain Sigli, kain jahitan bundaku/kukenakan jika jika aku pergi ke dunia/Kain dengan rupa laut rupa benua/milikmu jua jika kau ingat namaku//Kain Sigli, kain yang meninggi juga/jika serdadu melintas di depan pintu/Kain bundaku, kain yang bisa luka/jika senjata berseru di Meureudu// ... Sampai di kata Meureudu aku ingat rumah. Bait puisi Kain Sigli yang terbaca di wajah pemuda itu kubuat enyah.

Sesampai di Meureudu, nafasku tinggal sepenggal. Sekian kali pulang kampung, sejak kota kecil ini berubah menjadi ibukota kabupaten yang baru mekar, Meureudu hilang bentuk. Bubungan atap pertokoan terus naik, kian tinggi mengangkasa. Sementara di bawahnya saluran air yang sambung menyambung ke hampir setiap los, setiap muka pintu toko yang dulunya selalu meriah dengan gemericik air, kini lenyap tak berbekas. Meureudu berubah dari kota yang paham betul bagaimana mengendalikan air menjadi kota yang tidak tahu bagaimana menata diri. Celakanya, Meureudu seperti telah hilang ingatan. Bahwa ilmu pengelolaan aliran air dalam kota adalah ilmu yang jarang dikuasai umat manusia. Kecuali hanya dimiliki oleh orang-orang di Mesopotamia, Panama, Venesia, Bruges, Suzhou, atau bahkan orang-orang India di kota Alappuzha. Itulah kota-kota yang sejak zaman tak bertanda telah menaruh pikiran sepenuhnya pada bagaimana mengelola air yang mengalir dengan membangun kanal-kanal terindah.

Dan Meureudu pernah seperti kota-kota berperadaban tinggi itu. Bukan dengan kanal-kanalnya yang megah, tapi saluran-saluran airnya yang saban waktu bergemericik adalah bukti jejak peradaban ada di sini. Tapi lihatlah, saluran-saluran telah sumbat dan tersumpal sampah. Maka di sini, aku seperti ingin mengutuk diri atas kota yang hilang bentuk.

Maka di Jalan Revolusi yang dulu teduh-tenang kini berubah jadi riuh-kerontang, kurapal kembali Kain Sigli. Kurapal pelan, lamat dari bait ke bait hingga tuntas semua isi sebagaimana Nyak Ina Raseuki pernah melantunkan bait-baitnya dalam simakDialog April 2005 di Auditorium Goethe Institut Jakarta sana.

Kain Sigli 

Kain Sigli, kain jahitan bundaku
kukenakan jika jika aku pergi ke dunia
Kain dengan rupa laut rupa benua
milikmu jua jika kau ingat namaku

Kain Sigli, kain yang meninggi juga
jika serdadu melintas di depan pintu
Kain bundaku, kain yang bisa luka
jika senjata berseru di Meureudu.

Siapa meneteskan darah ke kain Sigli?
Siapa mencuci kainku dengan airmata?
Kain ini akan tumbuh jika aku mati -
kain bundaku akan seluas negeri.

Tanamlah benang ke kain Sigli
demi baju terindah untuk anakmu
Peliharalah tangan bunda kami
agar kain kami benarlah kainmu

Kain yang memelukku sepanjang gempa-
kain yang gemilang sepanjang duka
kini sebentar terluka, kain Sigli
akan kujahit lagi, kujahit tak henti.

2005          


Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra