Ayah, Izinkan Aku Tak Ikut Tes PNS
Apa boleh
buat, rata-rata calon mertua kampung saya hanya bisa 'ditembus' jika sang
lajang bekerja di pemerintahan. Sementara bagi hampir semua orang kampung, PNS
adalah ukuran ideal sebuah pekerjaan. Celakanya, ini anggapan sudah begitu
membumi sampai-sampai pernah saya dengar celetukan seseorang di warungkopi.
Isi
celetukannya, "Si agam lon mantong hana jeulaih. Lon yue ikot tes PNS, han
ditem. Hana galak jeut keu ureueng jih. Susah that aneuk miet lawetnyoe.
Padahai kalheuh lon peugah, meunyoe ditem ikot PNS kali nyoe, blang lhee naleh
jeh jadeh kulego. Aleh peu galak that jeut keu wartawan. Padahai ka diteupeu
sinan peng cit meuna meutan."
Maka hari
ini, tibalah hari yang mencengangkan itu. Puluhan ribu muda-mudi bergelar
sarjana dan sarjani bangun pagi-pagi sekali. Yang agak kesiangan bisa
dipastikan tidak sempat mandi, gesek deodorant apalagi gosok gigi. Yang bangun
sebelum subuh bisa ditebak, kalau mereka bisa agak santai sedikit. Bisa dandan
serupawan mungkin, atau kasarnya sempat berbedak-bercelak.
Kenapa bisa
begitu? Pasalnya hari inilah hari penentu. Hari yang jika dirunut berdasar
celetukan di atas, adalah hari penentuan seseorang benar-benar bisa disebut
orang.
Tapi tadi
pagi, saya malah bangun kesiangan hanya gara-gara dering telpon. "Hei kamu
baru bangun? Masyaallah! Bukankah hari ini ujian tulis PNS? Ya Allah, kamu
benar-benar keras kepala rupanya. Sudah berapa kali saya bilang, kalau dibuka
tes PNS, ya, kamu ikut. Siapa tahu kamu punya rezeki," kejar suara di
ujung telpon menggebu-gebu. Tak ada yang dapat saya jawab selain cepat-cepat
berusaha menyadarkan diri dari rasa kantuk yang belum juga menguap.
Lepas telpon
menyisakan bunyi tut...tut...tut..., saya menyibakkan selimut. Lalu bergegas ke
kamar mandi sambil memendam dengungan setengah lusin pertanyaan di ujung telpon
tadi. Telpon dari seorang kerabat dekat yang sekarang punya posisi cukup
tangguh di sebuah kantor dinas kabupaten yang baru beberapa tahun mekar. Posisi
cukup tangguh yang, saya tahu betul, didapatkannya oleh karena ia punya koneksi
kuat dengan orang-orang kelas wahid di tingkat provinsi.
Sambil mandi
saya ingat celetukan seseorang tak dikenal di sebuah warungkopi. Ingatan ini
saya kombinasi dengan isi telponan barusan. "Ya Tuhan, benarkah begini
cara pandang kami tentang pekerjaan?" gumam saya dalam hati sambil terus
mengguyur tubuh.
Selesai
mandi, sambil bercelana, kombinasi dua ingatan di kamar mandi masih berkelindan
di kepala saya. Sejak awal tahun, saya sudah tercatat sebagai seorang karyawan
di sebuah perusahaan perkabaran. Tapi ini tetaplah bukan sebuah pekerjaan dalam
anggapan orang-orang. Setidaknya anggapan yang berteriak di ujung telpon
itu. "Ya Allah, benarkah hidup saya akan terus dalam kesusahan sekiranya saya
benar-benar tak jadi pegawai negeri sampai mati nanti?"
Kelar
berpakaian, saya keluar. Seperti biasa, saya tancap gas ke warungkopi. Ini
sudah jadi tradisi. Warungkopi adalah tempat paling cocok
ber-hahahaha-hiihihihi lepas tsunami beserta efek deritanya reda. Di sini,
kerap jadi ruang diskusi kecil atau tempat bertukar informasi kami yang banggi
kupi.
Di
warungkopi seorang teman menyambut hadirnya saya. Sambil menyulut rokok, tanpa
basa-basi sang teman bilang, "Kau tahu? Aku baru saja didamprat Ayah sewaktu
di rumah."
"Kok
bisa? Emang ada apa?"
"Hanya
gara-gara aku membuka rahasia, kalau aku tak jadi ikut PNS kali ini,"
katanya sambil menyeruput kopi yang dari kepul asap dan aromanya membuat jakun
saya naik turun.
"Hahahahaha....
Terus?" ketawa saya lantang.
"Ya
begitu, tadi selesai didamprat habis-habisan aku hanya bilang: Ayah, izinkan
aku tak ikut PNS tahun ini. Sekali ini saja," terang sang teman memasang
mimik rawan.
"Isi
dampratannya gimana tuwh?" seloro saya lagi.
"Biet-biet
han jeut keu ureueng kah. Padum go ka kupeugah, meunyoe na dibuka tes PNS ka
daftar. Nyan lheuh ku peu kuliah ho kaneuk ba ijazah? Peu ka meumada ngon
mukat-mukat pulsa saja? Gob mandum diikot. Troh bak kah, ka meu laen sidroe
keuh. Kiban cit ka peugah kaneuk meu kawen. Ho kaneuk ba aneuk gob singoh
meunyo buet keu hana jeulaih," urainya mengutip isi dampratan ayahnya
sendiri.
"Kir,
ka tamah kupi sikhan teuk," teriaknya pada seorang pelayan.[]
Emperom, 3
November 2013.
- See more
at: http://www.atjehtoday.com/content/read/927#sthash.vIbcfJli.dpuf. Kredit Foto: Junaidi Hanafiah.
Apa
boleh buat, rata-rata calon mertua kampung saya hanya bisa 'ditembus'
jika sang lajang bekerja di pemerintahan. Sementara bagi hampir semua
orang kampung, PNS adalah ukuran ideal sebuah pekerjaan. Celakanya, ini
anggapan sudah begitu membumi sampai-sampai pernah saya dengar celetukan
seseorang di warungkopi.
Isi celetukannya, "Si agam lon mantong hana jeulaih. Lon yue ikot tes PNS, han ditem. Hana galak jeut keu ureueng jih. Susah that aneuk miet lawetnyoe. Padahai kalheuh lon peugah, meunyoe ditem ikot PNS kali nyoe, blang lhee naleh jeh jadeh kulego. Aleh peu galak that jeut keu wartawan. Padahai ka diteupeu sinan peng cit meuna meutan."
Maka hari ini, tibalah hari yang mencengangkan itu. Puluhan ribu muda-mudi bergelar sarjana dan sarjani bangun pagi-pagi sekali. Yang agak kesiangan bisa dipastikan tidak sempat mandi, gesek deodorant apalagi gosok gigi. Yang bangun sebelum subuh bisa ditebak, kalau mereka bisa agak santai sedikit. Bisa dandan serupawan mungkin, atau kasarnya sempat berbedak-bercelak.
Kenapa bisa begitu? Pasalnya hari inilah hari penentu. Hari yang jika dirunut berdasar celetukan di atas, adalah hari penentuan seseorang benar-benar bisa disebut orang.
Tapi tadi pagi, saya malah bangun kesiangan hanya gara-gara dering telpon. "Hei kamu baru bangun? Masyaallah! Bukankah hari ini ujian tulis PNS? Ya Allah, kamu benar-benar keras kepala rupanya. Sudah berapa kali saya bilang, kalau dibuka tes PNS, ya, kamu ikut. Siapa tahu kamu punya rezeki," kejar suara di ujung telpon menggebu-gebu. Tak ada yang dapat saya jawab selain cepat-cepat berusaha menyadarkan diri dari rasa kantuk yang belum juga menguap.
Lepas telpon menyisakan bunyi tut...tut...tut..., saya menyibakkan selimut. Lalu bergegas ke kamar mandi sambil memendam dengungan setengah lusin pertanyaan di ujung telpon tadi. Telpon dari seorang kerabat dekat yang sekarang punya posisi cukup tangguh di sebuah kantor dinas kabupaten yang baru beberapa tahun mekar. Posisi cukup tangguh yang, saya tahu betul, didapatkannya oleh karena ia punya koneksi kuat dengan orang-orang kelas wahid di tingkat provinsi.
Sambil mandi saya ingat celetukan seseorang tak dikenal di sebuah warungkopi. Ingatan ini saya kombinasi dengan isi telponan barusan. "Ya Tuhan, benarkah begini cara pandang kami tentang pekerjaan?" gumam saya dalam hati sambil terus mengguyur tubuh.
Selesai mandi, sambil bercelana, kombinasi dua ingatan di kamar mandi masih berkelindan di kepala saya. Sejak awal tahun, saya sudah tercatat sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan perkabaran. Tapi ini tetaplah bukan sebuah pekerjaan dalam anggapan orang-orang. Setidaknya bagi anggapan yang berteriak di ujung telpon itu. "Ya Allah, benarkah hidup saya akan terus dalam kesusahan sekiranya saya benar-benar tak jadi pegawai negeri sampai mati nanti?"
Kelar berpakaian, saya keluar. Seperti biasa, saya tancap gas ke warungkopi. Ini sudah jadi tradisi. Warungkopi adalah tempat paling cocok ber-hahahaha-hiihihihi lepas tsunami beserta efek deritanya reda. Di sini, kerap jadi ruang diskusi kecil atau tempat bertukar informasi kami yang banggi kupi.
Di warungkopi seorang teman menyambut hadirnya saya. Sambil menyulut rokok, tanpa basa-basi sang teman bilang, "Kau tahu? Aku baru saja didamprat Ayah sewaktu di rumah."
"Kok bisa? Emang ada apa?"
"Hanya gara-gara aku membuka rahasia, kalau aku tak jadi ikut PNS kali ini," katanya sambil menyeruput kopi yang dari kepul asap dan aromanya membuat jakun saya naik turun.
"Hahahahaha.... Terus?" ketawa saya lantang.
"Ya begitu, tadi selesai didamprat habis-habisan aku hanya bilang: Ayah, izinkan aku tak ikut PNS tahun ini. Sekali ini saja," terang sang teman memasang mimik rawan.
"Isi dampratannya gimana tuwh?" seloro saya lagi.
"Biet-biet han jeut keu ureueng kah. Padum go ka kupeugah, meunyoe na dibuka tes PNS ka daftar. Nyan lheuh ku peu kuliah ho kaneuk ba ijazah? Peu ka meumada ngon mukat-mukat pulsa saja? Gob mandum diikot. Troh bak kah, ka meu laen sidroe keuh. Kiban cit ka peugah kaneuk meu kawen. Ho kaneuk ba aneuk gob singoh meunyo buet keu hana jeulaih," urainya mengutip isi dampratan ayahnya sendiri.
"Kir, ka tamah kupi sikhan teuk," teriaknya pada seorang pelayan.[]
Emperom, 3 November 2013.
- See more at: http://www.atjehtoday.com/content/read/927#sthash.vIbcfJli.dpuf
Isi celetukannya, "Si agam lon mantong hana jeulaih. Lon yue ikot tes PNS, han ditem. Hana galak jeut keu ureueng jih. Susah that aneuk miet lawetnyoe. Padahai kalheuh lon peugah, meunyoe ditem ikot PNS kali nyoe, blang lhee naleh jeh jadeh kulego. Aleh peu galak that jeut keu wartawan. Padahai ka diteupeu sinan peng cit meuna meutan."
Maka hari ini, tibalah hari yang mencengangkan itu. Puluhan ribu muda-mudi bergelar sarjana dan sarjani bangun pagi-pagi sekali. Yang agak kesiangan bisa dipastikan tidak sempat mandi, gesek deodorant apalagi gosok gigi. Yang bangun sebelum subuh bisa ditebak, kalau mereka bisa agak santai sedikit. Bisa dandan serupawan mungkin, atau kasarnya sempat berbedak-bercelak.
Kenapa bisa begitu? Pasalnya hari inilah hari penentu. Hari yang jika dirunut berdasar celetukan di atas, adalah hari penentuan seseorang benar-benar bisa disebut orang.
Tapi tadi pagi, saya malah bangun kesiangan hanya gara-gara dering telpon. "Hei kamu baru bangun? Masyaallah! Bukankah hari ini ujian tulis PNS? Ya Allah, kamu benar-benar keras kepala rupanya. Sudah berapa kali saya bilang, kalau dibuka tes PNS, ya, kamu ikut. Siapa tahu kamu punya rezeki," kejar suara di ujung telpon menggebu-gebu. Tak ada yang dapat saya jawab selain cepat-cepat berusaha menyadarkan diri dari rasa kantuk yang belum juga menguap.
Lepas telpon menyisakan bunyi tut...tut...tut..., saya menyibakkan selimut. Lalu bergegas ke kamar mandi sambil memendam dengungan setengah lusin pertanyaan di ujung telpon tadi. Telpon dari seorang kerabat dekat yang sekarang punya posisi cukup tangguh di sebuah kantor dinas kabupaten yang baru beberapa tahun mekar. Posisi cukup tangguh yang, saya tahu betul, didapatkannya oleh karena ia punya koneksi kuat dengan orang-orang kelas wahid di tingkat provinsi.
Sambil mandi saya ingat celetukan seseorang tak dikenal di sebuah warungkopi. Ingatan ini saya kombinasi dengan isi telponan barusan. "Ya Tuhan, benarkah begini cara pandang kami tentang pekerjaan?" gumam saya dalam hati sambil terus mengguyur tubuh.
Selesai mandi, sambil bercelana, kombinasi dua ingatan di kamar mandi masih berkelindan di kepala saya. Sejak awal tahun, saya sudah tercatat sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan perkabaran. Tapi ini tetaplah bukan sebuah pekerjaan dalam anggapan orang-orang. Setidaknya bagi anggapan yang berteriak di ujung telpon itu. "Ya Allah, benarkah hidup saya akan terus dalam kesusahan sekiranya saya benar-benar tak jadi pegawai negeri sampai mati nanti?"
Kelar berpakaian, saya keluar. Seperti biasa, saya tancap gas ke warungkopi. Ini sudah jadi tradisi. Warungkopi adalah tempat paling cocok ber-hahahaha-hiihihihi lepas tsunami beserta efek deritanya reda. Di sini, kerap jadi ruang diskusi kecil atau tempat bertukar informasi kami yang banggi kupi.
Di warungkopi seorang teman menyambut hadirnya saya. Sambil menyulut rokok, tanpa basa-basi sang teman bilang, "Kau tahu? Aku baru saja didamprat Ayah sewaktu di rumah."
"Kok bisa? Emang ada apa?"
"Hanya gara-gara aku membuka rahasia, kalau aku tak jadi ikut PNS kali ini," katanya sambil menyeruput kopi yang dari kepul asap dan aromanya membuat jakun saya naik turun.
"Hahahahaha.... Terus?" ketawa saya lantang.
"Ya begitu, tadi selesai didamprat habis-habisan aku hanya bilang: Ayah, izinkan aku tak ikut PNS tahun ini. Sekali ini saja," terang sang teman memasang mimik rawan.
"Isi dampratannya gimana tuwh?" seloro saya lagi.
"Biet-biet han jeut keu ureueng kah. Padum go ka kupeugah, meunyoe na dibuka tes PNS ka daftar. Nyan lheuh ku peu kuliah ho kaneuk ba ijazah? Peu ka meumada ngon mukat-mukat pulsa saja? Gob mandum diikot. Troh bak kah, ka meu laen sidroe keuh. Kiban cit ka peugah kaneuk meu kawen. Ho kaneuk ba aneuk gob singoh meunyo buet keu hana jeulaih," urainya mengutip isi dampratan ayahnya sendiri.
"Kir, ka tamah kupi sikhan teuk," teriaknya pada seorang pelayan.[]
Emperom, 3 November 2013.
- See more at: http://www.atjehtoday.com/content/read/927#sthash.vIbcfJli.dpuf
Comments
Post a Comment