Timun Ayah Jamal Yang Tak Sama Dengan BBM
PEUNAYONG
masih dirundung gerimis setelah beberapa jam sebelumnya hujan mengguyur deras,
Rabu siang, 19 Juni 2013. Di Jalan Kartini, salah satu pusat pasar sayur di
Banda Aceh, aktivitas pedagang tetap berdenyut. Air hujan yang menggenangi
sebagian jalan berlubang membuat sepanjang jalan ini becek. Namun
kondisi seperti ini tak menyurutkan pedagang sayur yang berjualan di pinggir
badan jalan menggulung lapak dagangannya. Seliweran sepeda motor dan becak yang
keluar masuk, ditambah teriakan para pedagang menegaskan daerah ini adalah
salah satu tempat tersibuk di kawasan Peunayong.
Di salah
satu los jalan ini, seorang lelaki paruh baya duduk bersila. Di depannya, di
pinggir badan jalan yang becek, beberapa karung bekas ditambah dengan plastik
hitam digelar sedemikian rupa menjadi lapak barang dagangannya. Kecuali
terdapat beberapa jenis sayur seperti labu air, labu tanah, terong, gambas (boh
pik), lengkuas, dan daun pandan, ketimun adalah barang dagangan utama lelaki
bertubuh tambun ini.
“Para
pedagang di sini biasa memanggil saya Ayah Jamal,” jawabnya ramah ketika kutanyakan namanya. Berasal dari Cot Preh, Blang Bintang, Aceh
Besar, sejak 2006 silam Ayah Jamal menjadi pedagang sayur dengan lapak tetapnya
di emperan Toko Mas Surya di salah satu los Jalan Kartini. “Ya beginilah cara
kami mencari rezeki,” sambungnya lagi sambil memindahkan timbangannya dari
lapak ke belakang tempatnya duduk.
Tak jauh
dari tempatnya, tong sampah bersandar pada sebuah tiang. Berisi berbagai jenis
sampah, tomat busuk yang tergeletak paling atas menguar bau yang sama sekali
tak bersahabat dengan hidung. Ditambah suasana jalan yang becek, menurutnya,
lapaknya terasa lebih kumuh dari biasanya.
“Kalau
hujan, ya beginilah jadinya. Tapi kalau kering di sini terasa lebih nyaman dari
pada di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah Jalan Kartini. Tak lama setelah
mengucapkan ini sebuah becak melintas. Roda kiri becak melindas karung bekas
tempat Ayah Jamal menjajakan dagangannya, menyisakan lumpur jalanan yang basah
di lapak tersebut. Lantas dengan sabar Ayah Jamal mengambil air yang tersedia
dalam sebuah ember, membersihkan lumpur di lapak dan beberapa timun yang juga
keciprat lumpur.
Ayah Jamal
adalah orang tua dari empat orang anak dan kakek dari tiga orang cucu. Lahir
pada tahun 1953, sebelum 2006 ia bekerja sebagai tukang bangunan. Tapi sejak
rematik menggerogoti kedua kakinya, ia tak bisa lagi bekerja dengan maksimal.
Hingga ia memutuskan untuk berjualan di Peunayong. Sejak saat itu sampai
sekarang, ia menghabiskan sebagian besar hari-harinya di sini. Pergi ke
Peunayong pukul 3.00 WIB dini hari untuk buka lapak, ke Pasar Lambaro untuk
belanja, salat subuh, dan tepat setelah subuh ia mulai berdagang.
Ketimun
kecil-kecil adalah dagangan utamanya. Jika ada jenis sayur-sayur lain yang
dijualnya, itu tak lebih sebagai pelengkap saja. Katanya, ia menjual ketimun
karena banyak diminati oleh pelanggan yang pengidap darah tinggi.
“Banyak yang
membeli ketimun sama saya untuk mengobati darah tinggi. Menurut mereka, selain
harganya murah, ketimun yang saya bawa biasanya bagus-bagus. Tapi yang tinggal
ini adalah sisanya saja, makanya kelihatan tidak segar lagi,” ujarnya.
Bermodal
Rp3000 untuk sekilogram ketimun, di Peunayong Ayah Jamal menjualnya Rp4000.
Menurutnya, kalau dihitung-hitung per kilogram ketimun ia hanya mendapat untung
Rp700 saja. Dengan harga seperti itu rata-rata 100 kilogram ketimun bisa dijual
Ayah Jamal setiap hari. Tapi menurutnya, dengan harga yang dipatoknya itu tak
jarang ada pembeli yang menawar Rp2500. Saat menjelaskan tentang ini, sorot
mata Ayah Jamal menjauh. Sebelumnya saat berbicara ia
bertatap muka dengan ramah.
Hiruk pikuk
pasar masih sangat terasa. Suara klakson sepeda motor, peluit tukang parkir,
teriakan pedagang, dan deru suara becak barang yang lalu lalang menyatu dengan
suara lantunan ayat Alquran dari corong pengeras suara sebuah musalla. Pertanda
azan dhuhur sebentar lagi mengudara. Ayah Jamal mulai merapikan barang
dagangannya. “Biasanya saya shalat dhuhur di kampung. Jadi saya mesti segera
pulang,” katanya.
Sambil
menaruh barang dagangannya ke dalam karung, Ayah Jamal terus berbicara tanpa
sungkan. Isinya sebagian besar petuah. “Pasar melatih kita menjadi seorang
penyabar,” ulangnya lagi. “Sabar dan syukur punya keterkaitan besar untuk tidak
putus asa dalam berusaha,” sambungnya.
Saat
disinggung tentang ketimun yang dijualnya bisa dinaikkan harga sebab harga BBM
sudah mulai naik. Ayah Jamal terbahak. “Meunyo minyeuk di ek, barang bak toko
jeut di peu ek. Man meunyoe kamoe awak meukat bayam kiban cara meu peu ek
harga. Meunyoe hawa dipeugah le ureueng bloe; peu ka neusibu bayam ngon
minyeuk abuwa? (Harga barang di toko boleh naik karena harga minyak. Bayam,
mana bisa. Kalau tidak mau dibilang; apa sudah nyiram bayam dengan minyak,
Abuwa?)”
Comments
Post a Comment