Sementara Zarathustra
Sekali ini kita tanggalkan
puisi-puisi
Puisi yang kita sendiri tak bisa
mencerna
Apalagi mengangguk mengerti
Di luar orang-orang telah banyak
Berlalu lalang telanjang
Tanpa puisi tanpa alas kaki
Kita masih belum mengerti tentang
puisi
Tidak sesekali, pun ketika kita
pernah
Menanggalkannya saat pergi ke kamar
mandi
Dan kita tak ubahnya seorang egois
dungu
Tanpa tahu secara utuh tentang
alasan
Mengapa puisi mesti tumbuh di
halaman rumah
Atau tersangkut lekat di tubuh kita
Di luar orang-orang bergegas
lalu lalang. Tong sampah telah penuh dengan puisi. Puisi mati. Tapi Tuhan tak
pernah mati. Tidak sama sekali. Tak pernah mati walau si bijak tua berkoar-koar
meneriaki Tuhan telah mati di jalan-jalan pasar yang kumuh dan terkutuk. Itu
Zarathustra. Barangkali si bijak tua itu sama terkutuknya dengan pasar dan
penghuninya. Siapa tahu?
Sementara jalanan kian menghimpit
Kian membuat nyeri si pejalan kaki
Sebab jalurnya telah dicuri
Pertanyaannya: adakah puisi yang
lahir dari hati nurani?
Yang dengannya hati nurani kita
benar-benar keluar
Benar-benar merdeka berkoar
Tentang langkanya keadilan seperti
langkanya
Laki-laki tegar di akhir zaman
nanti
Mari tanggalkan puisi dan kita
Berjalan telanjang tanpa puisi
tanpa alas kaki
Dan kita mencoba menahan diri dari
pelbagai
Pancingan birahi yang demikian
menyentuh nafsu
Kita berusaha untuk terus pura-pura
tidak peduli
Walau seorang penzina menyapa kita
dengan binalnya
Walau seorang tukang korupsi
menepuk bahu kita
Dengan timpukan uang yang
menggoyahkan iman
Di luar orang-orang buru-buru
pulang. Pintu rumah menganga besar membuka mulutnya. Menyambut pemiliknya. Dan
mereka tak perlu merapal salam. Tak pula perlu merogoh saku mencari kunci atau
puisi. Sebab rumah-rumah sudah tak berkunci. Sebab di rumah tak pernah ada
puisi. Sementara pencuri bebas hilir mudik dari satu anak tangga melompat ke
anak tangga lainnya. Sementara tetangga hanya mengerling diam-diam sambil
menyeruput secangkir kopi ketika ia membaca koran sore sebelum maghrib nanti.
Kita tak peduli. Puisi juga. Tapi Tuhan Maha Peduli.
Minggu lalu kita pernah menulis
puisi
Kita kirim itu puisi ke
redaktur-redaktur koran
Agar nanti di akhir pekan seseorang
menyapa
Kita di jalanan: "Hei penyair!
Hei penyair!"
Kita terbang di jalanan
Tak kita injak tanah atau aspal
atau apapun itu
Kita terbang serupa seekor burung
pipit di hajar badai
Terlunta-lunta, dengan kepak sayap
gesa
Barangkali sampai di sini, sebab
kita tahu dan meyakini bahwa Tuhan tidak akan pernah mati, kita sedikit jadi
sadar dan dalam hati berujar: "Mungkinkah Tuhan nyengir melihat
kondisiku ini?"
Emperom, Ramadhan 1433 H.
Puisi ini sebelumnya telah dimuat dalam rubrik budaya tabloid The Atjeh Time, Banda Aceh.
Comments
Post a Comment