Binatang Kertas Dalam Kepala Rudy Atjeh
Di Aceh, boleh jadi
nama Rudy ‘Atjeh’ Dharmawan tak banyak diketahui orang selain sanak kerabatnya
saja. Tapi ini tidak berlaku di luar sana. Khususnya Yogyakarta tempat ia
berdomisili sekarang ini. Di sana, di kota budaya itu, ia telah dianggap
sebagai salah satu seniman yang mempunyai talenta tak lazim dalam dunia seni
instalasi. Pameran tunggal seni memotong kertas yang
bertajuk ‘welcome to the jungle’ yang
diselenggarakan di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta baru-baru ini (7-23 Oktober
2012) adalah bukti.
Awalnya adalah
kertas, cutter, dan barangkali
ditambah lagi dengan imajinasi serta kreatifitas yang mumpuni. Kemudian
terbentuklah berbagai macam rupa binatang setelah sang seniman menguliti. Ada harimau, ular, tikus, burung elang dan
lain sebagainya. Rupa-rupa binatang inilah yang menghiasi setiap sudut galeri. Semuanya
berasal dari kepiawaian Atjeh ―nama panggilan Rudy Dharmawan― dalam memainkan lobang kertas
hingga menghasilkan wujud-wujud berimaji.
Seni memotong kertas atau dalam bahasa bule disebut art of hand cutting paper pada dasarnya hampir
sama juga seperti
seni stensilan bagi anak-anak yang
punya hobby liar seperti mural dan graffiti. “Yang membuat ini berbeda dari stencil adalah pada bentuk
karya jadi, pada karya Rudy, kertas tidak berfungsi sebagai mal, namun final dari
karya itu sendiri” terang Tu-ngang Iskandar,
salah satu
seniman Atjeh dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang juga hadir pada pameran tunggal Rudy Dharmawan.
Sementara di Aceh
belum banyak seni seperti ini yang menggeluti, walaupun dahulu (bahkan sekarang juga masih ada) seni memotong kertas
ini sering
terlihat pada gaba-gaba (semacam
umbul-umbul dari kertas warna-warni) di acara-acara perkawinan,
kenduri, dan peringatan 17 Agustusan. Dari berbagai bahan
bacaan diketahui bahwa seni memotong kertas sebenarnya
telah begitu membumi bagi masyarakat dunia. Di Ukraina seni ini disebut vytynanky, dari kata kerja vytynaty, yang artinya memotong atau
keluar. Kesenian ini juga dikenal di Polandia dengan sebutan wycinanki. Di Jepang disebut kirigami.
Menilik pada hasil
karya Rudy, bisa membuat sedikit pusing kepala. Tak naik pikir (istilah Aceh han ek pikee) bagaimana seorang Rudy
yang menurut desas desus sana-sini adalah seorang pembetot bass di salah satu
band underground Yogya bisa mengukir
kertas sedemikian rupa hingga membentuk wujud-wujud binatang seperti ular,
elang, harimau, tikus dan jenis-jenis binatang lain yang tak habis disebutkan
satu persatu di sini. Gilanya lagi wujud binatang itu lengkap dengan tetek
bengek detailnya yang aduhai sekali.
Harimau lengkap dengan loreng, taring, misai, cakar, dan ekornya. Ular juga.
Sisik-sisik ular terlihat detil dengan guntingan Rudy, apalagi di tambah dengan sorot
lampu warna-warni.
Untuk menjabarkan
hasil karyanya, Rudy seperti anteng-anteng saja menulis beberapa paragraph
kalimat yang jika dibaca terkesan: “Ah, masalah potong-memotong kertas begini mah:
kecil dibanding bagaimana menata, menjalani, mendiami, dan menghayati hidup di
dunia.”
Sebagaimana
dilansir oleh situs resmi pemilik galeri, Rudy menulis akhir penjabaran
acaranya begini:
“Apapun duniamu,
jalanmu,
Inilah pertarungan hidup
Hidup untuk berfikir
Dan hidup untuk sesuatu
Selamat datang dikehidupan nyata
Selamat datang di"rimba" kehidupan.”
Sudah banyak kita
dengar atau kita baca bahwa kehidupan adalah rimba raya. Untuk mengungkapkan
keadaan begini rupa, lain orang lain pula jalan ekspresinya. Axl Roses, Slash,
dkk. mengungkapkannya dalam sebuah lagu. Kita pasti ingat lagu keras yang
menghentak-hentak gendang telinga itu. Begitu juga Rudy. Ia mengekspresikan
bahwa kehidupan adalah rimba Tuhan dengan mengukir-ngukir (baca: memotong) kertas hingga membentuk wujud binatang-binatang dan
kemudian memajangkannya menjadi sebuah seni instalasi yang ketika dinikmati
public, decak kagum adalah salah satu apresiasi wajib yang harus dimaklumi.
Walau tanpa narasi
utuh untuk menjelaskan karyanya, Rudy Atjeh, menurut Agung Kurniawan yang
menjabat sebagai Artistic Director di
Kedai Kebun Art Space mengungkapkan bahwa acara pameran tunggal Rudy yang
bertema ‘welcome to the jungle’
merupakan metafora dari sebuah perjalanan perantauan.
Lebih spesifik
Agung menambahkan komentar atas pengamatannya bahwa binatang-binatang ditoreh di atas kertas adalah sebuah simbol.
Masing-masing jenis binatang adalah simbol dari sesuatu atau seseorang. Karya
Rudy Atjeh adalah fabel atau cerita binatang. Menggunakan cerita atau simbol
binatang untuk menceritakan kembali dunia manusia. Fabel biasanya dipakai untuk
menyentil perkara-perkara yang tidak mungkin disuarakan secara realis, seperti
novel “Animal Farm” dari George Orwell misalnya. Dalam konteks karya Rudy
Atjeh, karakter binatang dimaksudkan sebagai sebuah metafora dari perjuangannya
sebagai seorang seniman yang mencoba bertahan di rimba raya seni rupa Indonesia
yang kejam.
Maka jika sudah
sedemikian dalam pemahaman yang tertangkap seorang pakar seni, kita yang awam
tentu bisa sedikit paham tentang apa yang ingin disampaikan Rudy Atjeh dengan
karya-karyanya. Semuanya tak jauh dari kerasnya hidup dalam realita sosial.
Keras sebetul-betulnya keras. Bukan keras-keras lembek seperti yang sering
ditonton para pembantu (majikannya juga) rumah tangga dalam sinetron,
telenovela, dan ftv. Hingga hidup yang keras itu tertuang dalam rupa-rupa
binatang hasil karya Rudy. Atau dengan kata lain, isi kepala Rudy tertuang
dalam karya-karyanya adalah sebagai bentuk pengartikulasian atas ungkapan yang
melegenda dalam kehidupan manusia dunia: homo
homini lupus.
Bisa dipahami pula
symbol-simbol yang tertuang dalam karyanya, Rudy, dalam konteks Aceh dulu dan
kekinian, mencoba menghubungkan bahwa keadaan manusia adalah serigala bagi
manusia lainnya pernah dan masih berlaku di kampung halamannya. Konflik
bersenjata boleh dikatakan sebagai salah satu materi bagi Rudy di samping
materi-materi lain yang ditangkapnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan
kemampuannya ‘mengukir’ kertas adalah amsal “pac’uep”
(corong minyak) baginya untuk
menuangkan materi-materi yang dimaksud dalam sebuah pameran tunggal yang sampai
tulisan ini ditulis masih berlangsung dengan khidmat, khusyu’, dan meriah di
Kedai Kebun Forum, Yogyakarta sana.
Terakhir, atas
kemampuannya menangkap realitas sosial dalam karya-karyanya, kita di Aceh yang
masih sedikit sehat akal berharap agar salah satu Seniman Perantauan Atjeh (SePAt) ini bisa diapresiasi oleh
semua kalangan. Dan adalah sebuah hal yang penting untuk masuk dalam agenda
pribadi Rudy agar sesekali ‘membesuk’ Aceh sebagai asal kampung. Sebab, jika
mau jujur banyak anak-anak muda di Aceh pada zaman facebook dan twitter ini masih buta melampiaskan
hobby dan rabun mengeluarkan ekspresi.[]
Tentang karya-karya Rudy Atjeh sebagaimana ulasan di atas, kita bisa menikmatinya pada beberapa hasil jepretan juru potret acara berikut ini:
sumber foto: di sini
iih,, hayeu that :O
ReplyDeletebereh.... peu kureung hayeu teuma ureung aceh nyoe???
ReplyDeletemenunggu talenta-talenta lain..!