Hypocriet? Nee, Meneer!

Bagaimanapun, dalam dunia yang serba carut marut, kebaikan dan kejahatan hadir di hadapan kita dengan pakaian yang hampir sama mewahnya. Jika dalam film-film banyak dikisahkan kebaikan selalu terpuruk pada adegan atau scene pertama, dan kemudian menang di penghujungnya; ini tidak berlaku sama sekali dalam dunia nyata. Apalagi kehidupan dunia seperti yang kita jalani dalam durasi waktu sekarang ini. Kita hidup di antara dua nilai, dimana kita sama sekali tak tahu secara detil tentang nilai apa yang sepadan dengan akal sehat. 

Barangkali jika abad-abad lampau, antara baik-buruk, kebaikan dan kejahatan dapat ditandai dari warna kostumnya: baik = putih dan hitam = jahat, sekarang keduanya sama-sama samar. Atau secara gamblang bisa kita katakan dunia sekarang baik dan jahat telah sama-sama mengenakan jubah berwarna abu-abu. Untuk ini, sepatutnya kita mengakui dan berkata dalam hati: “Berbahagialah para moyang yang sudah berada di alam ghaib sana.” 

Kebaikan berjubah abu-abu. Kejahatan juga sama.  

Pada masa sekarang keduanya sama-sama hadir di depan kita, tanpa bisa ditepis dengan sekali kibasan tangan atau gelengan kepala. Keduanya tetap saja bersikukuh hadir menawarkan jasanya. Sementara kita sering mendengar bahwa hanya ada satu jalan untuk menemui kebaikan. Ia tak lain selain jalan agama. Tapi apa yang didapat ketika kita sedang menggerakkan kaki di atas jalannya? Kita mendengar orang-orang yang korupsi dalam pengadaan Kita Suci. Kita melihat seseorang mati diiringi teriakan nama Tuhan yang sama antara pembunuh dengan si terbunuh. Kita melihat beberapa pemuka agama terlibat dalam skandal yang memusingkan kepala. Dari sini, banyak dari kita yang meng-iyakan ketika seorang dungu datang dan mengatakan: ‘tahukah kau, agama itu racun!’ Jika kita pernah menggangguk setuju dengan anggapan ini, tak ada satupun makhluk naïf kecuali kita sendiri.

Ketika keadaan sudah begini rupa, tak sesuatu apa yang tersisa selain iman dan nurani tersemat di dada. Dengannya kita hanya bisa menyimpulkan bahwa: ‘manusia adalah makhluk yang hidup di antara dua sisi’. Celakanya, dua sisi inilah yang mengajarkan kita untuk hidup dalam sebuah adegan yang sarat dengan kemunafikan. Kita seperti tak punya pilihan. Kita menjadi agen ganda secara disengaja atau sebaliknya. Seseorang yang baru saja menikah. Bukankah menikah beribadah? Tapi ibadah macam apakah yang bisa menenangkan kepala, jika hanya untuk memulai malam pertama atau malam-malam selanjutnya, sepasang suami istri terlebih dahulu menonton video-video cabul di televisi? Seseorang yang sangat kaya suka membantu anak yatim dengan sekian banyak sedekah dan derma. Tapi derma dan sedekah macam apakah yang bisa diteladani jika ternyata salah satu pegawainya yang bertugas membagi derma memendam lapar ?

Kita terjebak dalam ironi. Entah ironi yang bagaimana? Tak ada yang tahu secara mendetail dan pasti. Hanya satu yang bisa dimengerti, dan ini bisa kita buktikan dengan mata kepala kita sendiri: ironi telah mengajarkan kepada semuanya -kita sendiri, saudara, anak-anak, relasi, tetangga, dan lain sebagainya-, bahwa yang sukses dan mempunyai tempat terhormat di depan public, kebanyakan di antaranya adalah orang-orang yang berprofesi ganda dalam dua nilai itu tadi. Ironi telah menjebak atau menuntun kita kepada suatu perilaku munafik sepanjang hidup. Hanya dengan modal munafik, kita seperti mempunyai sajadah terbang, atau ceret Aladin yang mampu memenuhi semua kebutuhan hidup. Di sini, kita tak perlu topeng. Tapi sesekali dalam usaha mengukuhkan diri, kita hanya perlu bermuka dua sebagaimana ironic system telah mengajarkan kita untuk selalu nyaman dengannya.

Jika mau jujur terhadap diri sendiri, sesekali kita menepi ke meunasah-meunasah di kampung terpencil. Di sana kita bisa cuci tangan dan muka, sambil sedikit bersenyum-senyum ramah dan bertegur sapa dengan para jama’ah. Sembari membagi sedikit dua dikit sedekah, kita akui dalam hati: ‘sebab fiqh dan do’a-do’a terhafal sudah, tak ada lain yang bisa membersihkan jalan ini selain ketetapan iman dan nurani.’

Lusa kita bertemu relasi lagi. Hmmmm… Jika ingin sedikit rezeki, kita mesti menyuap beberapa instansi. Ya, mau bilang apa lagi?

Comments

  1. jgn terlalu banyak nonton TV. Dunia tdk sehitam itu. Yang rusak biarkan saja. Selama diri kita berusaha tetap di jalurnya. Sy masih percaya masih banyak yg jauh lebih indah ketimbang hal-hal buruk yang disajikan idiot box di ruang tengah rumah kita.

    ReplyDelete
  2. great blog i totally like comethru my fashion blog too and follow back if you will like what you will see there

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra