Guru, Antara Problema dan Dilema
Kali ini kita berbual cakap soalan guru.
Orang-orang yang telah membuka mata, pikiran, dan juga telah melenturkan jemari
tangan anak bangsa untuk bisa menulis, membaca dan memahami apa-apa yang ada di
dunia. Bagi kebanyakan kita sudah lazim mengangguk setuju pada anggapan menjadi
guru itu sama pula halnya memosisikan diri dalam rombongan orang-orang
berpekerjaan mulia. Tugas guru adalah tugas mulia. Barangkali, sebab anggapan
ini pula kenapa di Indonesia, lebih-lebih di Aceh, fakultas keguruan di setiap
perguruan tinggi terlihat penuh dan sesak, hingga tidak jarang kondisi begini
rupa sering membuat keadaan sekitar menjadi pengap. Entah ini gara-gara banyak
mahasiswa keguruan sering lupa memakai deodorant
ketika ke kampus atau ada sebab lain, tak ada yang tahu.
Namun, ada desas-desus di sana-sini yang
mengungkapkan bahwa menjadi guru itu selain mengemban tugas mulia, juga bisa
mengamankan taraf hidup dengan kenaikan gaji setiap tahunnya. Keadaan ini boleh
jadi sebagai faktor lain kenapa fakultas keguruan di setiap perguruan tinggi
jadi tambah ramai dan meriah saja. Konon lagi, seperti yang bisa kita lihat
pada tahun-tahun lewat (sayangnya tahun ini tidak), permintaan untuk menjadi
abdi negara (baca: pe en es) banyak diperuntukkan bagi mereka yang
memegang ijazah sarjana pendidikan. Dengannya, ─apalagi dewasa ini posisi pe
en es punya tempat yang sangat terpandang di mata masyarakat secara umum
dan punya nilai lebih bagi calon mertua khususnya─ tidak heran jika kita
temukan sarjana-sarjana keilmuan lain sibuk mengisi formulir pendaftaran untuk
mengikuti program akta empat.
Pertanyaannya, "Apakah jumlah guru yang bejibun
banyaknya bisa membuat pendidikan di Indonesia terang-gemilang dalam kancah
pendidikan dunia? Dengan jumlah guru beserta calonnya itu, apakah bisa
melahirkan intelektual-intelektual yang bisa kita andalkan? Atau apakah benar
seorang guru berkedudukan demikian terhormatnya?"
Sebelum menjawabnya dengan ikhlas dan lapang dada,
mungkin tidak ada salah dan berdosa jika kita simak apa yang telah dituliskan
oleh seorang guru honorer di akun laman sosialnya: "Saat siswa-siswa
kita sudah mengakses informasi dengan alat-alat telekomunikasi canggih, kita,
guru, masih menghafal pengetahuan dari buku-buku usang. Saat siswa kita sudah
melangkah jauh dengan tontonan 'film biru', kita, guru, masih melarang mereka
berpikiran kotor. Saat kita masih secara sembunyi-sembunyi menyatakan birahi
pada lawan jenis, siswa-siswa kita sudah ereksi berkali-kali. Kita, guru,
selalu lambat. Karena seperti kata Ivan Illich, sekolah adalah tempat
pelembagaan nilai-nilai. Sayangnya, di sini, semua dikalkulasikan dalam bentuk
angka-angka. Bahkan nilai moral sekali pun."
Ungkapan di atas ditulis oleh seorang guru honorer
Sekolah Dasar di pinggiran Kota Banda Aceh, bernama Idrus bin Harun. Entah
namanya ada tercatat di Dinas Pendidikan Kota atau Provinsi? Wallahu'alam.
Yang jelas bukan tentang keberadaan pribadinya yang penting dibicarakan di
sini. Tapi ungkapan yang ditulisnya itu lebih penting untuk dicerna oleh kita
semua. Ungkapan di atas, boleh jadi bagi pengamat pendidikan yang sering-sering
migrain sebab tunggakan kreditan adalah ungkapan vulgar yang tak perlu
digubris. Namun, ungkapan ini jika mau ditelisik lebih jauh, dengan dingin
kepala dan perut terisi cukup, tentu bisa kita temukan suatu ganjalan dalam
setiap makna kalimatnya. Idrus, dengan ungkapan itu, seolah-olah sedang duduk khusyu’ dalam sebuah penataran yang
kerap membosankan, sambil terkantuk-kantuk, dan setengah bergumam ia berkata
pada seseorang yang duduk di sampingnya sambil disodorkannya secarik kertas
bertulis ungkapan di atas. Katanya; “Ini lho,
masalah kita sekarang.”
Seperti yang dikatakan sebelumnya, zaman sekarang,
seorang guru yang sudah menyandang NIP di bawah tanda tangannya tentu saja
dianggap telah mencapai titik aman dalam hidup. Ia sudah dijamin bisa hidup
dengan layak. Setidaknya sudah memiliki akses keluar masuk bank setiap awal
bulan. Atau, jika mau jujur, dalam keadaan kepepet
di akhir bulan, akses ke bank adalah lumrah saja asal tidak lupa membawa SK
pengangkatan.
Tidak sah kiranya jika membicarakan guru tanpa
menghubungkan pembicaraan tersebut dengan mutu pendidikan atau apalah yang
berhubungan dengan pendidikan itu sendiri. Ini sama saja seperti sayur bayam
tanpa dibubuhi garam, hambar rasanya. Tapi, apa pula yang bisa kita bicarakan
dengan mutu pendidikan, jika kebijakan tentangnya sering dipergunakan untuk
kepentingan penambang-penambang modal. Arah pendidikan yang serba ngawur
kerap membuat guru tersangkut di ujung tanduk. Mereka nyaris dilematis.
Kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih-sering membuat guru hilang akal dalam
mengajar. Di satu sisi guru dituntut mengerahkan segala bentuk kekreatifannya
agar peserta didik paham terhadap ilmu-ilmu yang diajarkan. Paham yang dimaksud
tentu saja bukan pura-pura paham seperti pahamnya para anggota dewan lulusan
paket C tentang ilmu pemerintahan. Bukan. Paham di sini memang benar-benar
paham, hingga melekat di hati hingga membentuk watak dan moral serta
kepribadian si anak didik.
Di lain pihak, guru dituntut untuk bisa mengepak
kepala peserta didik dalam sebuah kotak standar kelulusan yang ditentukan oleh
pihak berwenang. Ini berlaku tiap tahun. Biasanya kotak standar kelulusan ini
pun hanya bisa memuat kepala-kepala yang seragam bentuknya. Kalau pihak
berwenang menginginkan bentuknya bulat, ya, tugas gurulah yang membulatkan
kepala peserta didik. Sebenarnya tugas begini rupa tidak terlalu susah selama
guru ikut prosedur dengan baik dan tawadhu’.
Guru tinggal menjalankan program-program yang dicanangkan ‘orang-orang atas’,
seperti jualan buku pelajaran, alat tulis berlabel SNI, buku panduan kelulusan,
dan lain sebagainya.
Keadaan seperti ini tidak lebih sama seperti yang pernah
berlaku di Inggris puluhan tahun silam. Hingga seorang George Bernard Shaw (1856 - 1950), penerima Nobel Kesusastraan tahun
1925) mengaum geram melihat ketimpangan pendidikan. Aumannya, tidak lebih tidak kurang berbunyi
begini: “Di muka bumi ini tidak satu pun yang menimpa
orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi, dalam
beberapa hal, sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda
tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala
penjara.”
Menyikapi perkataan G. Bernard Shaw seperti kutipan di atas, posisi guru nampak demikian dilematis. Semuanya
serba tak logis. Guru hanya bisa mengikuti prosedur yang telah ditentukan para
atasan saja. Hal semacam inilah yang membuat Muhammad Sobary buka mulut dalam
bukunya Kang Sejo Melihat Tuhan. Terangnya,
“Guru bukan manusia merdeka. Ia tak bebas. Ia tidak mempunyai otonomi dalam
memutuskan nasib murid-muridnya, meskipun tak seorang pun berani membantah
bahwa dialah yang paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.”
Jika semuanya sudah sesuai prosedur, barulah guru dianggap
pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Dan, ini sudah diketahui umum. Sampai para
penjaga toilet umum pun tahu. Anak SD juga tahu. Hanya saja kita tak mengerti;
gerangan apakah yang membuat pahlawan ini tak bertanda jasa? Ghaib. Gelar
begini macam, hanya menyisakan tanda tanya besar bagi kita yang berpikiran
waras dan berpandangan awas. Gelar ini sebagai bentuk penghormatan, menghibur
atau malah mengejek diam-diam? Untuk ini, angkat tabik buat tuan pembuat gelar.
Ambiguitas memang sesuatu yang wajar.[]
Reza Mustafa, Jama’ah Komunitas Kanot Bu di Banda Aceh.
hayeue
ReplyDeleteIzin menyimak artikelmu sob..
ReplyDeleteArtikel yang bagus..
#Salam dari saya.. Admin Tutorial Blogz
iya, sob. thanks dan salam kenal dari banda aceh.
ReplyDelete