Bersoal Adanya Teman: Kembali Menulis
Maka, untuk menampik pertanda tidak baik ini, hari ini, tanggal 1 Juni 2012 saya mencoba mulai menulis lagi. Setidaknya menulis tentang keadaanku yang serba tak menentu begini.
Terdapat satu tamsilan untuk menggambarkan keadaanku beberapa waktu ini. Seiring musim yang tak menentu -hujan, angin, dan panas bercampur dalam durasi waktu seminggu- aku tak ubahnya seorang pesakitan yang tak punya aktivitas apa-apa. Seorang pesakitan yang tak tahu harus bekerja di mana. Tak ubahnya juga seperti seorang pendosa yang menanggung beban celaka di pundaknya. Inilah yang kualami dalam beberapa minggu ini. Tragis. Tapi entah bagaimana pula, mataku tak kunjung keluar tangis.
***
Kemarin, dalam kamar yang banyak berserak buku, aku membaca satu buku. Antologi puisi. Judulnya lupa. Yang kuingat hanya apa yang kulakukan kemarin hari. Tidur, bangun tidur, cuci muka, minum kopi, lalu membaca buku. Dan kutemukan beberapa bait puisi yang dengannya aku mencoba membunuh perasaan dalam hati. Perasaan tentang tak bergunanya banyak waktu dan sia-sianya hari lalu. Tapi usaha pembunuhan yang kurencanakan ini gagal belaka. Setelah membaca beberapa puisi, perasaan diri sebagai seorang pesakitan malah makin membuncah saja. Sial.
Ki-ka: Muhajier Pemulung, Edi M. Mustafa, Idrus Bin Harun, Haris. |
Jikapun demikian, tentang keberadaan teman, ada yang katakan lain lagi. Perkataan Leo Tolstoy misalnya. Katanya, "Musuh dapat lebih berguna dibanding teman karena teman sering memaafkan kelemahanmu. Musuh selalu memperhatikan kelemahanmu. Jangan abaikan pendapat musuh-musuhmu." Nah, soal begini ini bagaimana menurutmu? Aku sedang tak mau tahu.
Comments
Post a Comment