Surat 'Cinta' Tanpa Amplop Untuk Mbak Titiek Yang Cantik

Selamat sahur Mbak Titiek yang baik. 
Salam sejahtera, semoga Mbak makin cantik dan sehat wal afiat saja. Sebelumnya banyak maaf dari saya sebab telah terlalu berani menulis sepucuk surat kepada Mbak, yang boleh jadi ketika saya tulis, Mbak sedang buang air besar di toilet kediamannya yang tentu saja mewah itu. Atau boleh jadi juga sedang lelap dan bermimpi nostalgia masa lalu tentang indahnya malam pertama, kedua dan seterusnya. 

Malam ini Banda Aceh sedang gerimis, entah bagaimana cuaca di Jakarta sana? 
Tapi itu tak penting. Sebab, perihal saya tulis surat ini adalah untuk membicarakan perkara berkenaan sinyalemen rujuknya kembali Mbak Titiek dengan kandidat capres kita tahun ini, Prabowo Subianto. Itu saya dapat berdasar berita-berita yang berseliweran di banyak media akhir-akhir ini. Bahkan di Republika Online misalnya, ada berita yang mengabarkan rujuk Mbak Titiek dengan sang capres akan dihelat hari ini, dan tak tanggung-tanggung, rencana prosesinya akan disiarkan live di salah satu televisi swasta. Ini berita baik, Mbak. Sangat-sangat baik, dan memang patut diapresiasi oleh seluruh rakyat Indonesia yang masih punya hati tentu saja. Bukankah, menyokong suatu pernikahan berikut juga perujukan sepasang kekasih atau mantan kekasih memang diharuskan dalam agama?

Mbak Titiek yang (tak patut lagi disebut) caem tapi berhidung bangir. 
Surat ini adalah surat 'cinta'. Surat sokongan untuk Mbak Titiek jika rujukan itu memang benar adanya. Sekali lagi, surat ini adalah surat 'cinta'. Ihwal cintanya saya sama Mbak Titiek, tidak lain sebab Mbak-lah satu-satunya yang bersisa di kancah politik Indonesia sekarang mewakili Keluarga Besar Cendana. 32 tahun Alm. Bapak Mbak Titiek berkuasa, tentu telah mengekalkan cinta di hati rakyat Indonesia seperti halnya saya. Dan sebab saya berasal dari Aceh, cinta yang saya maksud dan sekarang saya utarakan kepada Mbak, adalah cinta dalam tanda kutip. 

Cinta yang entah bagaimana, untuk melampiaskannya kepada Mbak melalui surat ini, saya harus membuka luka lama tragedi kemanusiaan di kampung saya. Setiap cinta yang ingin saya ungkap melalui kalimat-kalimat dalam surat ini selalu mengharuskan saya mengingat-ingat simbol-simbol brutalnya kebijakan Bapak Mbak Titiek di negeri saya dan dilaksanakan dengan patuh oleh mantan suami Mbak yang gara-gara jadi capres tanggal 3 Juli kemarin mengaku sedang linglung. Tentang simbol-simbol kebijakan brutal itu, mungkin Mbak pernah mendengar walau samar-samar tentang nama-nama tempat seperti Simpang KKA, Gedung KNPI, Beutong Ateuh, Arakundo, Gampong Janda atau Bukit Tengkorak misalnya.

Atau yang mungkin tidak pernah Mbak Titiek dengar sama sekali, tentang efek dari brutalnya kebijakan itu, tahun 1991, kampung saya di Meureudu pernah gempar oleh sesosok mayat yang dicampakkan begitu saja di persimpangan jalan kecamatan. Menurut beberapa saksi, mayat itu dibuang oleh para tentara dengan otak terburai dan darah terciprat di mana-mana. Lantas orang-orang kampung memberanikan diri menyambangi mayat malang yang anggota tubuhnya sudah tak sempurna sekadar untuk menutupinya dengan daun pisang ala kadarnya. Itu mayat Syama'un, Mbak. Mbak tak kenal dia, dan mungkin tak penting bagi Mbak untuk mengenalinya. Yang jelas, Syama'un orang baik, kata ayah saya. Berasal di satu kampung dekat gunung sana, yang menurut radio meuigoe (kabar dari mulut ke mulut) ditangkap dan dibunuh tentara tanpa jelas sebab musababnya. Tapi bagaimana pun baiknya profil Syama'un yang telah menjadi mayat dengan kondisi mengenaskan dan kemudian dikuburkan di pekuburan kampung yang letaknya tak jauh di belakang rumah saya. Bagi kami bocah-bocah kecil pada tahun-tahun mencekam itu, nama Syama'un menjadi simbol segala horor yang arwahnya terus bergentayangan di mana-mana. Setidaknya itulah cerita yang disebutkan oleh orang-orang tua seisi kampung demi melarang anak-anaknya yang masih bocah keluar rumah malam-malam, oleh sebab sedang diberlakukan jam malam.   

Aih, kenapa pula saya menyebut-nyebut tempat dan cerita horor itu dalam surat cinta begini rupa. Bukankah, nanti siang Mbak Titiek direncanakan bahagia kembali?

Mbak Titiek. Kembali ke topik semula. Rencana rujuknya Mbak dengan Prabowo yang saking sibuknya tanggal 3 Juli kemarin juga mengaku sudah lupa hari dan lupa tanggal, sedikit banyaknya mengerutkan dahi saya sejak mendapat ini berita. Ada banyak tanda tanya di kepala saya. Ditambah lagi pisahnya Mbak dengan Prabowo belasan tahun lalu masih penuh misteri. Apakah pisahnya Mbak dengan Prabowo itu dengan cara talak atau fasakh? Kalau dengan cara talak, talak berapa? Satu, dua, atau tiga? 

Saya tanyakan ini kepada Mbak, tidak lain karena saya memang 'cinta' sama Mbak. Sebab, tidak bisa saya bayangkan jika perceraian Mbak dulu itu dilakukan dengan cara talak tiga. Sebab, jika ini memang harus saya bayangkan, entah bagaimana saya harus membayangkan lagi tentang cara rujuk dari talak tiga ini. Di Aceh, rujuk dari talak tiga harus dengan peucina buta. Saya tidak tahu istilahnya dalam bahasa Indonesia. Yang jelas, yang dimaksud dengan peucina buta yaitu mantan istri yang ingin dirujuk harus terlebih dahulu dinikahi dan diceraikan oleh seorang lelaki lain. Dan selama berumah tangga dengan lelaki lain itu, segala yang patut dalam berumah tangga harus dilakukan sepenuh hati, termasuk pekerjaan malam pertama, tentu saja. Maka demi 'cinta' saya kepada Mbak, saya berdo'a kepada Allah swt., bahwa cerai Mbak dengan Prabowo dulu bukan dengan talak, apalagi talak tiga. 

Lagi-lagi saya tak bisa membayangkan jika untuk rujuk dengan Prabowo setelah talak tiga jatuh, Mbak harus menikah dengan salah satu lelaki lain yang tentu saja tidak Mbak cintai sepenuh hati. Apalagi jika lelaki itu punya inisial nama seperti FZ atau FH misalnya. Aduh, naudzubillah, Mbak. 

Mbak Titiek, yang mungkin sekarang telah bangun tidur dan barangkali sedang menyantap makanan sahur.
Maafkan saya telah membayangkan yang tidak-tidak seperti yang telah saya sebutkan dengan lugas di atas. Ini tidak lain (sekali lagi) karena saya merasa makin 'cinta' saja kepada Mbak. Saya beranikan untuk menulis surat tanpa amplop begini, sebagai cara lain dari saya untuk mendoakan rencana rumah tangga Mbak yang ingin rujuk dengan capres kita yang terhormat itu. Turut juga saya doakan, semoga rencana rujuk itu bisa terlaksana dengan baik, tanpa kurang suatu apa, dan Mbak dengan Tuan Capres bisa hidup dalam rumah tangga yang samara (sakinah, mawaddah, wa rahmah). Amiin ya rabbal 'alamin.

Wassalamu,
Yang makin 'mencintai' Mbak Titiek akhir-akhir ini.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra