Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra
Sekali ini saya kepincut tulisan di dinding facebook-nya Linda Christanty. Sastrawan terkenal itu. Tulisannya berisi pidato sastra acara Napak Tilas Rendra di Taman Ismail Marzuki. Pidato ini milik Remi Sylado. Juga sastrawan yang tak kalah terkenalnya dengan nama yang saya sebutkan sebelumnya. Setelah sampai di laman blog saya ini tulisan akan bersanad seperti ini: Dikutip dari status sastrawan terkenal bersandar pada tulisan kepunyaan sastrawan yang tak kalah terkenal. Tulisannya tidak lengkap. Hanya penggalan saja. Tapi isinya cukup menggelitik. Apik!
Begini isi orasinya:
Begini isi orasinya:
Berita wafatnya Rendra berdekatan dengan berita meninggalnya Mbah Surip. Serta merta saya
prihatin, sebab dengannya muncul juga berita gunjing tentang Cikeas, bahwa
konon Presiden RI ke-6 dan ke-7 Susilo Bambang Yudhoyono, merasa lebih terpanggil
memberi pernyataan belasungkawa kepada Mbah Surip ketimbang kepada Rendra.
Itu aneh, memang, sebab kita
yang biasa datang ke Pasar Seni Ancol sama-sama tahu, bahwa Mbah Surip yang
selama itu hidup sebagai bambung di sana, tapi tiba-tiba beken dan punya cukup
uang karena rekaman lagu “Tak Gendong ke Mana-Mana”, yang, mohon izin pula,
bahwa saya ingin mengatakan itu lagu sampah, sebab lagu tersebut sepenuhnya
merupakan bajakan dari melodi instrumentalia Billy Vaughn pada 1960-an berjudul
“Runchy” yang pada masanya di Bandung diplesetkan oleh Harry Rusli dengan
kata-kata saru, jorang, khas Saritem.
Maka, menghormati dengan cara
aneh terhadap seorang bambung lebih terhadap seorang kawindra (penyair besar),
bagi saya itu sungguh keterlaluan. Ini tidak berarti bahwa saya menutup mata
pada kegigihan Mbah Surip yang berjuang mati-matian untuk memperoleh nafkah
yang layak sampai ia benar-benar mati sungguhan: mati kumlah, mati konyol, mati
kutu, mati lelas, mati mawai, dan seterusnya.
Tapi, di luar itu, memang
terlihat sikap menghargai pelaku seni pop yang berlebihan oleh ketua-ketua
partai dalam tatanan politik kita sejak zaman Orde Baru, maka di situ terlihat,
pada khususnya masa kampanye, mulai dari Pilpres, Pilgub, sampai pil pahit,
betapa pelaku-pelaku seni pop itu pun tidak dihiraukan lagi. Yaitu anakmas
berubah menjadi anak tiri. Artinya, pelaku-pelaku seni pop itu hanya dihargai
manfaatnya sebagai barang, dan bukan martabatnya sebagai orang.
Puan-puan dan Tuan-tuan,
Jadi, ketika Presiden RI diberitakan:
tidak cukup kesungguhan menunjukkan rasa simpati kondolensia, dan terpanggil
untuk menyatakan belasungkawa pada seorang kawindra yang nyata-nyata telah
berjasa mengangkat harkat bangsa lewat karya sastranya, yang notabene dipujikan
meluas di antero mancanegara, tapi sebaliknya malah lebih condong mengapresiasi
secara verbal terhadap seorang pelaku seni pop yang nyata-nyata pula plagiat,
maka kenyataan tersebut membuat saya mohon maaf, terpaksa harus menganggap
Presiden R I telah dengan tidak sadar merendahkan martabatnya sendiri sebagai
seorang intelektual yang tidak bijak bestari di batas yang nian absurd.
Pernyataan yang naif timbul di
situ adalah: apakah Kepala Negara memang hanya gandrung mengapresiasi seni pop,
berhubung SBY juga mencipta lagu-lagu pop dengan sekurangnya dua judul
disangsikan sebagai bentuk reminiscenza untuk tidak mengatakan plagiarisme?
Lantas, apakah dengan begitu Kepala Negara bersikap abai terhadap seni murni
dalam sastra yang galib merangsang dan menuntun orang mampu berpikir serius dan
kritis nasional?
Tapi, apakah ya, hopo tumon Pak
Presiden tidak mengenal kawindra Rendra?
Jika benar begitu, dakwannya
adalah, bagaimana mungkin diterima akal sehat bahwa seorang Kepala Negara yang
menempatkan diri sebagai perajin puisi, artinya yang rajin menulis-menulis
puisi, tidak mengenal kawindra bangsa ini yang telah berjasa pula menyemangati
pikiran-pikiran baru kesenian modern Indonesia antara sastra dan teater?
Padahal, sementara itu anak-anak sekolah desa pun di antero negeri, dalam mata
pelajaran bahasa dan sastra, pasti mengenal Rendra ...
Comments
Post a Comment