Kitab Omong Kosong, Buku Kalkulus, dan Bualan Dunia Kampus

Walau sekarang tak pernah mengaplikasikan lagi apa yang pernah saya terima di bangku kuliah, diakui atau tidak saya ini sarjana pendidikan matematika. Artinya sarjana pendidikan yang (entah) layak menjadi guru mata pelajaran matematika. Masuk tahun 2003, Maret 2009 dinyatakan lulus dari Jurusan Tadris Matematika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Sekarang telah berganti sebutan jadi UIN. Universitas Islam Negeri. Selama kuliah yang menghabiskan waktu di atas durasi tahun standar, banyak hal saya dapat di bangku kuliah. Salah satunya seperti yang akan saya ceritakan berikut. Cerita pengalaman bagaimana saya melewati mata kuliah Kalkulus yang bahasannya sangat memusingkan kepala orang-orang yang agak malas berurusan dengan angka-angka.
Sudah barang tentu kuliah Jurusan Pendidikan Matematika mengharuskan saya berkutat dengan pelbagai mata kuliah yang tak jauh dari bahasan angka, teorema, rumus-rumus serta macam-macam tetek bengek lainnya. Di antara banyaknya, Kalkulus adalah mata kuliah wajib yang harus ditempuh setiap mahasiswa. Ini mata kuliah penting dan harus mampu dikuasai oleh semua mahasiswa matematika. Saking pentingnya, kalkulus diajarkan secara berkesinambungan setiap semester. Mulai dari semester IV dengan Kalkulus-I, semester V Kalkulus-II, Semester VI Kalkulus II, dan semester VII harus menamatkan Kalkulus terakhir, yaitu Kalkulus-IV. Sekarang saya tidak tahu lagi apakah rentetan seperti itu masih berlaku?

Belajar tanpa buku acuan bisa dikatakan omong kosong. Itu makanya, sejak semester IV, saya, juga semua mahasiswa lainnya, khusus untuk mata kuliah Kalkulus, memiliki buku ajar Kalkulus adalah wajib. Setidaknya itulah yang dikatakan dosen mata kuliah ini saat tatap muka pertama.

"Pokoknya semua mahasiswa haram masuk pelajaran saya tanpa bawa buku Kalkulus. Setiap orang wajib punya buku sendiri. Saya tidak mau tahu, apakah buku itu kalian beli, kalian pinjam atau kalian curi sekalipun. Tidak ada istilah lihat dari buku teman, dan kalau tidak ada yang bawa mending tidak masuk, atau kalau sudah masuk dan kedapatan tidak bawa, saya suruh keluar. Saya mau tiap masuk kelas, kalian menenteng buku itu mulai dari pintu. Jadi jelas saya bisa lihat kalian bawa buku atau tidak," jelas sang dosen waktu itu tegas ditambah gaya mengangker-angkerkan diri dengan tatapan mata melotot. Seolah-olah, sewaktu menyatakan hal ini sang dosen ingin merubah wujud serupa vampir atau jenis makhluk gaib lain yang tampilannya banyak direpresentasikan secara brutal di film-film horor.

Semua patuh. Saya ingat sekali, di antara sekitar 30-an mahasiswa, hampir semuanya memang sudah punya dan bawa buku ajar Kalkulus pada hari 'angker' itu. Walau agak sedikit beragam dari segi nama pengarangnya, tetap saja buku acuan yang dibawa para mahasiswa adalah buku berjudul Kalkulus I. Dan dari rata-rata yang bawa hari itu, disepakati Kalkulus I-nya Edwin J. Purcell dan Dale Verberg menjadi buku wajib untuk dibawa tiap pertemuan mata kuliah yang sering bikin otak kerasa nyungsep.

Usai mencapai kesepakatan begitu rupa, kuliah pelajaran Kalkulus I pada hari pertama itu hanya berisi tentang penetapan peraturan-peraturan saja. Peraturan yang hampir semua isinya ditetapkan secara sepihak oleh sang dosen dengan mengandalkan fakta dialah orang paling berkuasa menentukan nilai akhir. Tidak ada yang lain, malaikat sekalipun.

Mulanya, saya bukanlah seorang pembenci buku. Malah sebaliknya. Namun, faktor ekonomi adalah alasan utama kenapa saya tak memiliki itu buku. Tidak membeli buku itu. Faktor moral juga kenapa saya tidak mencurinya saja di pustaka, di samping pustaka pun, celah untuk mencuri buku-buku seperti itu agak susah juga. Walau pada semester-semester sebelumnya, khususnya sebelum tsunami, mencuri buku di pustaka bisa sedikit gampang karena CCTV tidak ada di rata sudut setiap ruangan. Karena ingin lulus mata kuliah penting itu, saya harus putar pikiran untuk bisa masuk di setiap pertemuan. Bersoal buku wajib yang harus saya bawa tiap ada kelas itulah yang kemudian jadi pokok soalan.

Tapi yang namanya niat telah bersatu dengan tekad, tiap kendala pasti ada penyelesaiannya. Saya yang tak ingin merepotkan banyak orang untuk minta pinjam buku sana-sini, kendala itu kelak bisa terselesaikan sampai akhir semester. 

Adalah sebuah novel berjudul Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma penyelamatnya. Dengan sampul putih yang serupa dengan warna cover buku Kalkulus-nya Edwin J. Purcell dan Dale Verberg, Kitab Omong Kosong adalah sebenar-benarnya penyelamat. Setidaknya menyelamatkan saya dari amukan teror dosen yang killernya minta ampun, tapi agak sedikit bermasalah dengan persoalan ketelitian. Saat masuk kuliah di pertemuan kedua, agak khawatir juga menenteng novel yang tanpa termasuk kata pengantar, daftar isi, daftar pustaka, dan cover tebalnya mencapai 444 halaman itu. Tapi dasar dosen yang disiplinnya tidak dibarengi dengan sifat teliti, saya mampu meloloskan diri dari pintu masuk dan dengan takzim bisa mengikuti mata kuliah yang diasuhnya. 

Alhamdulillah, kiat-kiat mengikuti atau belajar mata kuliah kalkulus yang saya tekuni dengan baik ini, kelak dihargai dengan nilai C+ di akhir semester usai mengikuti ujian final. Ini nilai yang membuat saya melonjak. Melompat-lompat girang, terbahak-bahak riang. Bagaimana tidak. Hanya mengikuti jejak Walmiki, Sinta, Rama, Hanuman, Satya, Maneka dan tokoh-tokoh lain dalam Kitab Omong Kosong melalui tuturan si pencerita Togog, bahasan-bahasan dalam Kalkulus mampu saya lewati dengan nilai yang tidak menggembirakan tapi tetap saja lulus di akhir ujian. 

Kepada Togog, pun di Bab Pengakuan dengan lugas ia berterus terang: "Saya, Togog, penulis cerita ini, mohon maaf kepada Pembaca yang Budiman, telah menghabiskan waktu Pembaca sekian lama untuk mengikuti cerita ini. ... Mohon maaf sudah berani-beraninya menulis cerita, banyak cerdik pandai cerdik cendikia di muka bumi yang mampu menulis lebih dari sekadar cerita. Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca, karena membuang waktu, pikiran dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka. Mohon maaf sekali lagi untuk permintaan tolong ini. Maaf. Beribu-ribu mohon maaf," saya mengucapkan ribuan terima kasih yang tak berhingga. Seperti tak berhingganya teorema persamaan diferensial dalam mata kuliah Kalkulus yang entah bagaimana saya menjawab soal ujiannya, hingga kemudian dianggap lulus. 

Kelak, saat telah sukses memanggul titel sarjana, seperti sekarang ini misalnya. Ketika mengenang kembali pelajaran-pelajaran apa yang telah saya dapat di kampus? Melalui sebuah buku saya bertemu Goerge Bernard Shaw pada waktu yang tak terduga. Sambil sepintas lalu ia berujar dengan nada berguyon, yang perkataannya saya baca: "Otak seorang yang bodoh mencerna filsafat menjadi lelucon, ilmu pengetahuan menjadi takhayul, dan seni menjadi kesombongan. Seperti halnya pendidikan di universitas."[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra