Golput Tahun 1999 dan Tidak Golput Pada Pilpres Sekarang

Jelang hari pencoblosan calon presiden negara yang entah benar-benar kita cintai ini, suhu politik makin memanas saja. Suhunya mengalahkan panasnya cuaca siang hari Kota Banda Aceh akhir-akhir ini. Juga mengalahkan panasnya persaingan negara-negara kontestan Piala Dunia di Brazil sana. Tidak di laman sosial, tidak di portal berita, atau bahkan di hampir semua area publik (bisa dipastikan berserak seluruh Indonesia), pelbagai bentuk dan atribut kampanye diumbar sedemikian rupa untuk menarik perhatian para pemilih. 

Tim pemenangan dua kubu capres dan cawapres yang naik, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, jelas-jelas 'berperang' demi memenangkan pertarungan sengit pada 9 Juli 2014 mendatang untuk penentuan arah jalan Indonesia lima tahun ke depan. Begitulah, perang ini telah menghabiskan banyak 'amunisi', juga telah menyita perhatian rakyat Indonesia dari segala unsur lapisan masyarakat. Baik artis, akademisi, pejabat pemerintah, juru kabar, guru PAUD, teungku rangkang, ulama, sampai tukang becak atau tukang jualan obat sekalipun. 

Semuanya antusias ikut dalam euforia masa kampanye yang waktunya akan berakhir dalam hitungan beberapa hari kedepan. Bentuk kampanye pun, jika mau diikuti dengan seksama, sangat beragam. Sesuai dengan keyakinan para simpatisan kedua belah pihak capres yang diyakininya. Mulai dari bentuk kampanye hitam, kampanye putih, abu-abu, anarkis, picis, penuh fitnah, saling menjelek-jelekkan, telah memposisikan euforia pesta lima tahunan ini semakin membahana saja. Sampai-sampai orang-orang di Jerman yang tidak punya kepentingan apa-apa harus buka suara, sebab salah satu kampanye artis di pihak Prabowo-Hatta kebablasan memakai seragam bersimbol nazi yang bisa mengungkit luka lama mereka. Itu ditambah lagi dengan kecaman seorang Brian May, pentolan band legendaris dunia Queen, yang mengecam lagu mereka digubah untuk kepentingan kampanye Prabowo-Hatta. Artis yang dimaksud tentu sudah kita tahu semua siapa orangnya.

Namun dari segala euforia yang secara kasat mata, kasat pikiran, dan kasat telinga bisa saya dapatkan di mana saja, mulai dari warung kopi sampai ke masjid sekali pun, pemilu capres dan cawapres tahun ini membuat ingatan saya mundur ke suasana lima belas tahun silam. Tepatnya tahun 1999. Itu tahun yang mencekam bagi hampir seluruh pelosok Aceh. Tak ada euforia sebegini rupa. Saling hujat antar masyarakat sipil jarang, sebab bedil yang menyalak hingga meregang puluhan ribu nyawa telah mengkondisikan Aceh adalah daerah tak baik untuk saling menghujat. Pada masa yang malam-malamnya cukup mencekam itu hampir semua orang sibuk menyelamatkan nyawa dari salak senjata. Jangankan saling hujat dalam mendukung capres yang naik pada tahun itu, tidak dipopor atau ditendang tentara dengan sepatunya di tulang kering saja sudah untung bukan kepalang. 

Perihal baliknya ingatan saya ke tahun 1999 menghadapi pilpres tahun ini, tidak lebih karena dua kandidat pasangan yang naik punya codet hitam di jidat masing-masing. Jika Prabowo tercoreng gegara sepak terjangnya pada masa Aceh masih berstatus Daerah Operasi Militer yang menghantarkan puluhan ribu rakyat tak berdosa pulang ke alam sana dan itu terjadi oleh ulah biadabnya tentara di bawah komandonya, Jokowi lain lagi. Ia didapuk jadi capres oleh sebuah parpol yang induk semangnya mantan presiden yang ketika ia berkuasa, Darurat Militer diberlakukan di Aceh setelah sebelumnya DOM resmi di cabut. 

Lalu apa? Darah para saudara sebangsa yang mengalir atau nyawa saudara sebangsa yang melayang sia-sia adalah sumber dari segala apa-apa. Dulu, pada tahun 1999, sumber segala apa-apa ini telah membangkitkan semangat perlawanan di kalangan masyarakat mana pun di Aceh. Ada yang melawan dalam hati, naik ke gunung angkat senjata secara bergerilya, melawan sambil mengumpat tentara di kedai kopi, dan ada juga yang melawan dengan aksi-aksi politis seperti demonstrasi misalnya. Dari semua aksi perlawanan itu, terkait dengan musim pilpres tahun ini, satu perlawanan yang paling saya ingat pada tahun 1999 adalah ditempelnya satu stiker bertulis: GOLPUT ADALAH HAK AZASI MANUSIA, di pintu kamar Pak Cik saya di kampung. 

Itu stiker berwarna hitam dengan tulisan warna abu-abu. Adalah oleh-oleh yang dibawa pulang Abang saya dari Banda Aceh, di mana pada tahun itu ia berkesempatan menjadi relawan Komisi Independen Pemantau Pemilu, yang pelatihannya juga diselenggarakan di sana. 

Itu adalah salah satu stiker yang selamat dari sitaan ayah. Menurut ayah yang waktu itu masih menjabat Geuchik atau Kepala Desa (sejak dilantik tahun 1991 tidak turun-turun sampai tahun 2000-an karena tak ada yang mau jadi geuchik di zaman konflik), barang-barang seperti itu tak boleh disimpan di rumah. Bisa membawa malapetaka yang mengakibatkan melayang nyawa jika dilihat tentara. Yang disebutkan ayah, memang cukup beralasan. Sebab pada zaman (mengutip Azhari Aiyub, pentolan Komunitas Tikar Pandan), jumlah tentara lebih banyak dibandingkan jumlah sapi di seluruh Aceh, rumah penduduk sering kena razia para tentara. Jika ada barang-barang yang menurut tentara bisa membahayakan keutuhan NKRI ditemukan pada seseorang atau sebuah rumah maka alamatlah orang atau penghuni rumah tersebut kena imbas berupa penculikan atau lebih sadis lagi langsung ditembak ditempat. 

Barang-barang yang membahayakan itu bisa saja berupa selembar potret kakek di masa muda yang memegang sebilah rencong misalnya. Untuk hal ini, ayah punya banyak referensi. Kejadian-kejadian di kampung-kampung lain di Aceh, seperti di beberapa kampung pedalaman Aceh Utara, Pidie dan beberapa daerah lain, ayah wanti-wanti agar tidak terulang di rumahnya. Maka oleh-oleh abang dari Banda Aceh disitanya, walau pun sebelumnya beberapa stiker itu telah dibagi-bagikan abang ke teman-temannya termasuk kepada pak cik tanpa sepengetahuan ayah.

Stiker yang tertempel di pintu kamar Pak Cik itu sejarah pertama kalinya saya membaca kata golput. Tapi baru beberapa tahun setelahnya saya bisa sedikit paham apa yang dimaksud dengan golput. Dari beberapa bacaan saya dapatkan bahwa golput adalah sebutan yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Baik tidak menggunakan hak pilih dengan tidak datang ke tempat pemilihan atau boleh jadi dengan merusak kertas suara seperti mengubah bentuk wajah gambar di kertas suara dan menuliskan kata raja jen di sampingnya. Yang jelas golput harus dilakukan berdasarkan kesadaran politik. 

Tapi untuk pilpres tahun ini, menjadi golput ya sah-sah saja. Tidak jadi soal, dan saya yakin kelak malaikat Munkar-Nakir tidak akan menanyakannya di dalam kuburan sana. Namun jika ingin dikaji ulang, khusus untuk tahun ini, tindakan golput bukanlah kesadaran politik yang bijak. Mengingat suara yang akan kita keluarkan nanti menjadi penentu arah negara ini lima tahun ke depan. Apa lagi dengan kandidat yang naik, dengan track record pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sebelumnya, bisa ditebak, jika menang siapa Indonesia akan bagaimana. Maka, khusus untuk pilpres masa sekarang, golput bukanlah suatu pilihan.[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra