Piala Dunia: Antara Hambar Dan Candu

Tahun 1994 adalah tahun pertama sekali saya berkenalan dengan Piala Dunia. Itu tahun ketika saya masih benar-benar ingusan, penuh rengekan, yang selalu minta ikut Ayah atau Abang ketika mereka keluar rumah ingin menonton piala dunia. Itu tahun ketika ABRI sudah duluan masuk kampung tenimbang televisi. Maka tahun di mana menangis sejadi-jadinya adalah senjata paling ampuh saya agar boleh ikut nonton bola bersama Ayah atau Abang, televisi adalah barang mewah yang bisa dihitung jari dalam satu kampung. Beruntung, rumah saya berada di antara beberapa rumah tetangga mapan yang letaknya bisa ditempuh dalam tiga, empat kali tarikan nafas saja.

Tak banyak yang saya ingat dari pengalaman menonton Piala Dunia pada tahun itu. Kecuali yang saya tahu, itu pun setelah saya membaca huruf-huruf kapital cetak tebal di cover Tabloid Bola langganan Abang, Piala Dunia tahun 1994 dihelat di negara Amerika. Selebihnya, saya hanya menghapal nama-nama seperti si blonde Claudio Cannigia pemain Argentina, Roberto Baggio si kuncir kuda dari Italia, Alexi Lalas punggawa tuan rumah, Goerge Hagi sang jenius Rumania, black pearl Kamerun Roger Milla, Romario dari Tim Samba, Carlos Valderrama si kribo blondy Kolombia berikut rekan senegaranya yang gara-gara gol bunuh diri pada pertandingan pertama sewaktu melawan tuan rumah Amerika di fase grup, jadi korban penembakan mafia taruhan bernama Andres Escobar.

Kelak setelah kabar terbunuhnya Escobar sampai juga ke telinga teman ayah saya yang punya boat penangkap ikan sekitar setengah lusin banyaknya, nama Escobar diabadikan jadi nama salah satu boatnya. Saya ketahui hafalan nama-nama itu bukanlah dari hasil menonton bola sebenarnya. Sebab pada usia masih bocah begitu rupa, nonton bareng Piala Dunia hanya berujung pada enaknya tidur di pangkuan ayah yang ketika pulang tengah malam saya dipanggul pulang dalam keadaan lelap layaknya karung beras.

Saya tahu nama-nama tokoh pesepakbola anyar pada masanya itu dari poster-poster bonus Tabloid Bola (biasa disisip di halaman tengah) yang ditempel rapi di dinding kamar Abang. Kadang, sepenuturan Emak, hafalan nama ini kerap terbawa dalam igauan kala saya tidur, yang esoknya sudah pasti kena tegur keras oleh emak dengan peringatan, "Lebih baik menghafal nama nabi yang 25 atau nama malaikat yang 10 dari pada menghafal nama pemain bola yang agamanya tak sama dengan kita."

Lantas tahun ini saya bertemu kembali dengan Piala Dunia. Kurun waktu 20 tahun sejak perkenalan pertama, 4 perhelatan turnamen bola teranyar seisi dunia ini tak saya lewatkan begitu saja. Hasilnya, saya hanya mendapatkan bahwa Piala Dunia adalah perhelatan sepakbola yang hanya akan menghasilkan partai-partai klasik di penghujungnya. Tahun 1998 ada Prancis vs Brazil di finalnya, 2002 Brazil vs Jerman, tahun 2006 Italia vs Prancis, dan 2010 ada Spanyol vs Belanda di partai puncaknya.

Tahun ini, seperti yang sudah kita ketahui bersama, Jerman vs Argentina adalah final yang telah menghancurkan mitos tak berdayanya tim negara Eropa di tanah Amerika Latin. Maka setelah melewati enam perhelatan Piala Dunia sejauh masa hidup sekarang ini, keikutsertaan saya menonton hampir setiap pertandingannya tidak lebih sebagai usaha pembenaran kesimpulan saya sendiri: "Bahwa Piala Dunia hanyalah ajang penguat hegemoni negara-negara tertentu di mata dunia." Sejak pertama dihelat pada tahun 1930, yang menjadi juara hanyalah perulangan beberapa negara saja. Kecuali pada tahun 2010, Spanyol mampu mengalahkan Belanda untuk tampil menjadi juara baru dalam ranah persepakbolaan dunia. Yang lain? Hanyalah penggenap euforia belaka. Juaranya tetap muka-muka klasik, dan itu-itu saja.

Namun, apakah dengan kesimpulan itu saya merasa kapok, bosan dan kemudian memutuskan untuk tidak turut ambil bagian lagi menonton Piala Dunia kedepan? Tidak juga. Sebab bagi pecinta sepakbola, Piala Dunia jauh lebih asyik dari pada konser dangdut gratisan. Inilah hiburan yang membuat si penggilanya pasrah lahir batin demi bisa mengikuti setiap pertandingannya. Si penggila sepakbola boleh kehilangan banyak waktu sebab begadang semalaman, boleh menciut uang saku sebab harus bayar kopi atau pasang dan kalah taruhan, dimarahi pacar atau istri sebab berpecahnya titik fokus atensi. Sekali waktu si penggila sepakbola juga mengalami emosi berlebihan seperti pengidap darah tinggi atau sakit gigi akut sebab tim yang didukungnya secara fanatik kalah telak tanpa ada gol balasan. Konon lagi taruhan yang dipasang telah menguras semua isi tabungan termasuk isi celengan anaknya.Gila.

Maka kegilaan Piala Dunia adalah sihir. Pun hasilnya bisa ditebak, penggila sepakbola seperti saya tetap saja menggandrungi turnamen ini lahir batin, di mana pada pertandingan perempat final, Belanda vs Kosta Rika, dalam hati saya membatin, "Jangan menangis Kosta Rika. Kali ini pecundang itu adalah Brazil berikut Argentina!"[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra