Memaksiatkan Bioskop Di Banda Aceh?

Kota tanpa bioskop sama halnya seperti rumah mewah tapi tak punya perabotan di ruang tamu. Tak ubahnya sebuah pasar besar tapi hanya menjual satu mata barang di semua toko. Kota tanpa bioskop, menurut istilah kami di Meureudu adalah kota yang bugam. Bakai meunan. Dan hari ini, Banda Aceh adalah kota paling representatif untuk menjabarkan kota bugam alias bakai tersebut. Adalah kota yang cocok dengan amsal rumah mewah tapi tak punya perabotan. Atau kota selayak pasar besar tapi barang-barang jualannya terlalu membosankan untuk diminati para pembeli.

Tapi layakkah Kota Banda Aceh direpresentasikan begitu rupa? Dulu tidak. Sekarang, iya. Layak. Dulu Banda Aceh punya bioskop, sekarang tidak. Maka jika sekali waktu orang luar datang dan menanyakan bioskop kepada kita, cukuplah kita saling mengingatkan sesama begini: "Jika engkau ditanyai orang adakah bioskop di kota syar'i ini? Jujur saja. Dulu ada, sekarang jangan tanya." Dan jika orang luar itu, masih juga menanyakan perihal kenapa jangan tanya? Jawab lagi dengan jujur. Bulan puasa begini, segala suku setan telah dirantai Tuhan, dan kita tak punya cukup alasan untuk mengkambinghitamkan setan ketika ingin berdusta kepada orang luar yang suka tanya-tanya itu. Bilang saja, "Jangan tanya, sebab di sini bioskop sudah tak lagi ada."

Begitulah. Bagi kita orang-orang muda di Banda Aceh, obrolan tentang bioskop adalah obrolan paling menyebalkan, paling bikin keki, yang ujung-ujungnya bisa berakhir pada perasaan sakit hati sendiri. Tapi mau dikata apa lagi. Kita tentu tak bisa menyalahkan tsunami yang setelah sebentar singgah dan kemudian kembali pulang ke laut, bioskop yang bersisa dipaksa tutup. 
Tapi benarkah tsunami yang membuat bioskop bersisa tutup? Tidak. Yang membuat bioskop tutup adalah kebijakan pemerintahan kita. Pemerintahan Kota Banda Aceh, tentu saja. Di mana kebijakan itu didompleng dengan alasan; bahwa kota islami haram punya tempat maksiat, dan bagi beberapa penentu kebijakan, sebenar-benarnya rupa tempat maksiat adalah bioskop, di samping ada beberapa rupa tempat lain yang bahasannya tidak sedang kita perbincangkan di sini. Jika ditilik lebih lanjut, maksiat yang bagaimanakah bisa terjadi di gedung bioskop menurut penentu kebijakan sehingga ia haram adanya? Jawabannya adalah sama dengan seperti yang kita lihat saban hari di jalan-jalan protokol kota di waktu pagi, sebelum siang, tengah hari, petang, malam, tentang: bercampurnya muda-mudi bukan muhrim ketika berkendaraan (bersepeda motor khususnya) dengan cara berpelukan, bergesekan, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Hmmmm... yang lain sebagainya itu kau boleh mengembangkan imajinasi seluas-luasnya, mumpung belum imsak.  

Barangkali ketakutan bentuk maksiat yang saya jabar secara lugas seperti itulah ihwal sepakatnya para penentu kebijakan pemerintah kota, mengharamkan bioskop ada di Kota Banda Aceh tercinta. Imbasnya, maksiat itu tumpah ruah di jalanan, walau sesekali WH (baca: polisi syariat) datang dengan sigap melakukan razia. Itu pun, tempat razianya bisa kita tebak di jalur mana saja. Kalau tidak di depan Taman Budaya di Jalan Teuku Umar, ya di jalan T. Nyak Arief seputaran Simpang Mesra. 

Bagi kita yang masih punya akal, upaya membendung bentuk maksiat seperti itu dengan mengorbankan keberadaan bioskop adalah hal yang tak logis sama sekali. Tak rasional walau sekuat tenaga kita pahamkan sepenuh hati kepada diri sendiri. Tapi apa boleh buat, kebijakan kadung dibuat, kadung pula diamini penentu kebijakan di tampuk pemerintahan. Imbasnya, kita orang-orang muda hanya punya satu tempat untuk sekadar mencari hiburan: Warung Kopi. Tak ayal beralihlah julukan kota islami ini dari Kota 1000 Masjid menjadi Kota 1001 Warung Kopi. 

Maka heranlah orang-orang luar yang datang, demi menyaksikan muda-mudi yang berlama-lama di warung kopi, mengalahkan kebiasaan mereka yang berlama-lama di kamar mandi. Kenapa seperti ini? Jawabnya, tak ada tempat hiburan lain kecuali warung kopi. Diskotik? Husshhh... Itu haram. Kalau kau banyak uang, kau boleh secara sepihak menghalalkannya dengan diam-diam masuk ke basement hotel berbintang yang di sana. Tapi yakinlah, jika kau nekad masuk juga, sampai akhir bulan nanti alamatlah kau kelaparan seorang diri. (bersambung).  

Sumber dua foto (berturut-turut, atas-bawah): adrianyyen dan ini

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra