Perkembangan Pemikiran Islam Di Indonesia
PROBLEMA PERBENTURAN PEMIKIRAN ISLAM ANTARA
SARJANA ISLAM BARAT DENGAN SARJANA ISLAM TIMUR DI INDONESIA
Latar Belakang
Seperti yang telah
dijelaskan oleh Dosen Pengasuh Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam
Indonesia pada beberapa pertemuan kuliah semester 1 Program Pascasarjana IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, tahun ajaran 2011/2012, Bapak Prof. DR. Farid Wajid, MA.
Dimana beliau mengungkapkan bahwa perkembangan pemikiran Islam Indonesia muncul
untuk mencari solusi atas problema keumatan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Problema-problema tersebut meliputi aspek ekonomi, sosial, dan budaya, aspek
pendidikan, aspek persatuan, serta aspek moral suatu bangsa.
Problema-problema
umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan tersebut dapat digambarkan secara
tegas seperti yang diungkapkan Zulkarnaini Abdullah, bahwa; konflik, kemiskinan
dan keterbelakangan, baik dalam bidang pendidikan maupun pembangunan, hampir
saja identik dengan kaum Muslim. Di mana ada umat Islam di situ terdapat
pemandagan yang membuat hati kita pilu dan air ludah terasa pahit ditelan.[1]
Masalah-masalah
seperti masyarakat miskin dan banyaknya pengangguran, kebodohan, perpecahan,
dan menurunnya akhlak masyarakat merupakan kasus-kasus yang memicu para
intelektual Islam untuk mencurahkan segala yang mereka punya, baik pikiran
maupun tenaga demi untuk mencari suatu bentuk penyelesaian. Dari sinilah
kemudian muncul individu-individu, kelompok, lembaga-lembaga, institusi atau
organisasi-organisasi yang bergerak pada bidang tertentu dengan misi mencari
solusi atau menerapkan suatu pemikiran tertentu sehingga problema
kemasyarakatan teratasi dengannya.
Beranjak dari
kenyataan seperti yang diungkapkan di atas, perkembangan pemikiran Islam
Indonesia muncul dan lahir karenanya. Dan seperti yang disebutkan sebelumnya,
dalam mengembangkan pemikiran demi mencari jalan keluar terhadap problem yang
timbul dalam masyarakat, ada yang bergerak secara individu, kelompok, dan lain
sebagainya dengan mengemban suatu misi dan visi masing-masing dalam suatu
bidang tertentu. Ada yang bergerak di bidang politik, pendidikan, ekonomi,
budaya, pemikiran, dan lain sebagainya.
Yang bergerak
secara individu dapat diketahui seperti lahirnya tokoh-tokoh pemikir Islam,
yang dengan daya intelektualitasnya ia mengembangkan suatu konsep pemikiran
sehingga dengannya pula lahir suatu gagasan, idea, atau teori-teori yang
berkenaan dengan suatu kasus problema. Dalam konteks kekinian, di sini dapat
kita sebut seorang tokoh seperti Harun Nasution, misalnya. Secara individual,
beliau mengerahkan pikirannya melalui buku-buku karangannya demi menuangkan
gagasan-gagasan modernisme dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
Di pihak lain,
yang bergerak secara kelompok, dimana secara bersama-sama membangun suatu
lembaga, institusi atau organisasi juga dapat diketahui dengan melihat
banyaknya organisasi-organisasi yang melalui ‘corong’ organisasinya mengeluarkan
gagasan-gagasan penyelesaian terhadap suatu kasus permasalahan yang ada.
Organisasi-organisasi yang dimaksud ini pada tahap selanjutnya dapat
dipilah-pilah lagi sesuai dengan visi dan misi gerakannya. Ada organisasi yang
bergerak di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Sebagai
contoh adalah munculnya Syarikat Islam pada masa awal pergerakan Indonesia
sebelum merdeka.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia terjadi seiring dengan perkembangan
kehidupan sosial suatu masyarakat, khususnya masyarakat Islam Indonesia. Di
mana tidak bisa dipungkiri bahwa setiap aspek kehidupan sosial ini mempunyai
polemik-polemiknya tersendiri sehingga memungkinkan para intelektualnya, apakah
secara individu atau secara berorganisasi melakukan penelitian-penelitian
hingga menimbulkan gagasan-gagasan penyelesaian.
Namun, seiring perubahan zaman, oleh sebab
banyaknya muncul individu-individu, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi
yang saling melemparkan gagasan-gagasannya tersendiri ke hadapan publik demi
menyelesaikan suatu permasalahan masyarakat, fenomena yang terjadi sekarang
adalah bukan lagi menjadi gagasan yang dapat membuka suatu solusi penyelesaian.
Tetapi, seperti yang telah umum diketahui, gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh
kelompok yang berbeda malah menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Sehingga
jika ditelisik ulang, ide pertama mengembangkan suatu gagasan pemikiran sebagai
bentuk mencari solusi terhadap problema kemasyarakatan, berbalik menjadi
problema baru akibat perbenturan gagasan yang dikeluarkan oleh individu atau
kelompok yang berbeda.
Berkenaan dengan
perbenturan gagasan pemikiran Islam ini, Martin van Bruinessen menjelaskan
bahwa menjelang akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20—ketika bangsa Indonesia, termasuk kalangan Muslim
terpelajarnya berkenalan dengan ide-ide Barat secara lebih intensif—telah
secara signifikan mempengaruhi cara pandang masyarakat Islam, terutama para
cendekiawannya, untuk lebih memahami dan mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam
ke dalam realitas sosial mereka. Dalam konteks ini, muncul sejumlah pemikir Muslim Indonesia
seperti Moh. Natsir dan Agus Salim, dan beberapa dekade sebelumnya telah muncul
berbagai gerakan pembaharuan Islam seperti Muhammadiyah dan Persis yang sudah
mulai melibatkan pemikiran keislaman mereka dengan berbagai tantangan sosial
dan budaya bahkan kebangsaan yang mereka hadapi saat itu. Namun demikian,
karena pada saat yang hampir bersamaan juga muncul pengaruh pemikiran Islam
dari luar, khususnya negeri-negeri Arab, corak pemikiran Islam ini lebih
cenderung puritan, sehingga terkadang juga disebut ortodoks.[2]
Beranjak dari apa yang
telah dipaparkan sebelumnya, dalam bahasan ini, penulis akan mencoba mencari
suatu titik permasalahan, khususnya benturan pemikiran atau gagasan-gagasan
yang pada dasarnya gagasan tersebut adalah untuk mencari suatu solusi, tetapi
dalam konteks kehidupan masyarakat Islam Indonesia sekarang malah menjadi
problema baru.
Maka untuk
memenuhi maksud dari tulisan ini, penulis akan membahasnya berdasarkan suatu
pertanyaan besar yang sering terdengar dalam ruang publik yang berkenaan dengan
benturan gagasan antar kelompok pemikiran Islam Indonesia dewasa ini yang
didasari oleh bedanya background pendidikan antar tokoh intelektualnya
masing-masing kelompok. Berkenaan dengannya secara umum telah diketahui bahwa selama
ini banyak sekali muncul diskusi hangat mengenai para sarjana Islam yang
belajar ke Barat (Eropa) dan para sarjana Islam yang belajar ke Timur (Mesir,
misalnya). Apa sebenarnya yang menjadi masalah dan apa yang dapat ditinjau dari
perbedaan antara pendidikan Islam di Timur dan pendidikan Islam di Barat?
sambungan ada di sini.
[1]
Zurkarnaini Abdullah, Meretas Jalan Islam; Telaah Masalah Filsafat,
Pemikiran Politik, dan Dinamika Masyarakat Muslim, (Langsa: STAIN Zawiyah
Cot Kala, 2011), hal. 137.
[2] Martin
van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey Historis,
Geografis dan Sosiologis, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992),
hal.
15.
sip
ReplyDelete