Belajar Menulis Puisi

Baiklah. Malam ini kita tulis lagi puisi. Sebelum datang pagi, sebelum subuh pergi. Kali ini puisi tentang mimpi kita tulis. Mimpi apa saja. Mimpi jadi presiden, mimpi ketiban durian, mimpi dikejar ular-diterkam ayam, atau mimpi basah boleh juga. Yang penting puisi kita bertema mimpi. Maka, mari mulai.

Di bait pertama kita tulis pengantar memakai kalimat sederhana saja. Tak usah terlalu banyak bermetafora. Kalimatnya boleh seperti ini, coba dibaca:  

Jika malam dirundung suntuk. Berkemaslah. Rapikan ranjang serupa melerai sprei yang telah kusut. Juga selimut. Nanti akan tiba waktunya kantuk datang. Sementara kau sudah siap menggelinjang. Atau jika kantuk dan suntuk bercampur aduk saling tak mau surut, kuasakan nafasmu pada do’a-do’a. Agar malaikat datang membuat mata lena. Maka lelaplah dua mata.

Bagaimana? Cukup sederhana bukan? Menulis puisi memang tak sukar, tapi sebaliknya: gampang-gampang saja. Asal hati dan pikiran kita peka dan selalu dalam keadaan tenang, bukan menulis puisi saja yang gampang, malah berak di jamban ketika suasana sedang perang pun tak akan membuat kita was-was takut nyawa melayang. Menulis puisi hanya perlu hati dan pikiran yang keduanya sama-sama tenang. Bukan hati dan pikiran yang sedang dibalut hutang. 

Mari kita sambung lagi. Kita sambung puisi tentang mimpi. Walau belum kita tentukan mimpi apa yang kita bahas di sini. Kita lanjutkan saja menulis bait kedua. Kita tak usah memuat suatu spesifikasi mimpi. Biarkan mimpi yang akan kita tulis mengalir sesuai kehendak jidatnya sendiri mau mengalir kemana. Dan mau mengalir seperti gaya zat cair apa, itu juga terserah dia. Mau seperti air hujan, air sumur, air laut, air sungai, liur, ingus, keringat, dan lain sebagainya, ya, biarkan saja. Yang jelas kita selesaikan puisi malam ini. Mumpung pagi belum datang dan subuh belum mau pergi.

Bait kedua, masih seperti bait pertama. Tak usah terlalu bermain-main dengan metafor-metafor buta. Sebab, jika terlalu banyak memakai kalimat metafora kita takutkan pembaca akan pusing kepala. Hal ini bukanlah kita mengklaim bahwa para pembaca tidak secendikia pekarya. Tapi, tentu kita tak ingin puisi yang jadi nanti hanya dinikmati oleh para orang-orang yang mengerti sastra. Ini tak baik. Karena sesuai yang pernah kita dengarkan dulu dari ‘sang guru’, bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa dicerna oleh semua jenis lambung dan tak membuat perut busung. Seperti ini misalnya:  

Maka lelaplah dua mata. Lelap pula segenap raga. Tinggal jiwa melanglang nyalang  antara dua dunia. Dunia yang separuh maya separuh nyata. Serupa dunia avatar barangkali. Dunia yang tak pasti. Dunia yang tak serta merta hadir ketika kau terjaga dalam sebuah situasi. 

Larik-larik dalam bait kedua di atas kita tulis begitu, tak lain sebagai penjelasan tentang anehnya dunia mimpi yang kita tawarkan pada pemirsa melalui puisi. Barangkali ada larik yang kedengaran mengada-ada. Ini tak mengapa. Bukankah dunia yang kita jalani sekarang penuh dengan dusta? Toh, kita hanya sedikit mengada-ada. Anggaplah sebagai bumbu penyedap rasa, agar pembaca hanyut atau larut dalam suasana yang kita gambarkan begitu rupa. 

Bait ketiga? Kita akhiri saja puisi ini di bait ketiga. Sebab, banyak orang kata, puisi tak usah terlalu panjang. Bisa bikin bosan. Bahkan ada juga yang dengan sinis katakan, kalau ingin menulis banyak-banyak, novel kau karang. Jangan main di ranah puisi. Jika sudah begini, baiknya ya kita akhiri saja puisi tentang mimpi di sini. Tepatnya setelah bait ketiga ini: 

Maka lelaplah dua mata. Maka masuklah ke dunia tak nyata. Dunia penuh reka-reka. Dunia yang berhimpun di dalamnya ribuan misteri. Kita tak mengerti.

Jadi puisi yang sudah kita anggap jadi seperti yang kita tuliskan di atas, jika kita gabungkan semua bait-baitnya akan terbaca seperti berikut:

Mimpi
Jika malam dirundung suntuk. Berkemaslah. Rapikan ranjang 
serupa melerai sprei yang telah kusut. Juga selimut. 
Nanti akan tiba waktunya kantuk datang. Sementara kau sudah 
siap menggelinjang. Atau jika kantuk dan suntuk bercampur aduk 
saling tak mau surut, kuasakan nafasmu pada do’a-do’a. 
Agar malaikat datang membuat mata lena. Maka lelaplah dua mata.

Maka lelaplah dua mata. Lelap pula segenap raga. Tinggal jiwa 
melanglang nyalang  antara dua dunia. Dunia yang separuh maya 
separuh nyata. Serupa dunia avatar barangkali. Dunia yang tak pasti. 
Dunia yang tak serta merta hadir ketika kau terjaga dalam sebuah situasi. 

Maka lelaplah dua mata. Maka masuklah ke dunia tak nyata. Dunia penuh 
reka-reka. Dunia yang berhimpun di dalamnya ribuan misteri. Kita tak mengerti.

Juni 2012.

Comments

  1. satu kata, its amazing! keren aq bilang nih tipsnya :)

    ReplyDelete
  2. keereeenn.. patut diacungi jempol, kata2 sederhana tapi indah, sip sip :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra