Bersoal Adanya Teman: Kembali Menulis

Entah bagaimana,blog ini sudah terbengkalai sampai beberapa bulan lamanya. Aku sendiri tak habis pikir bagaimana bisa. Sejak Februari lalu tak satu pun tulisan yang dapat kuposting. Tak satu pun tulisan yang keluar dari kepala. Ini sungguh di luar niatku sebelumnya. Sebab, sejak aktif menekuni blog pribadi, aku pernah bertekad untuk menelurkan tulisan secara terus menerus, berkesinambungan, yang setidaknya dapat berguna bagi para pembaca, atau kalau tidak, berguna untuk diriku sendiri juga tak mengapa. Tapi kenyataannya, ya, sungguh celaka. Tak ada tulisan yang muncul tiga bulan ini. Barangkali ini pertanda tak baik, dan aku harus segera dapat menampik.

Maka, untuk menampik pertanda tidak baik ini, hari ini, tanggal 1 Juni 2012 saya mencoba mulai menulis lagi. Setidaknya menulis tentang keadaanku yang serba tak menentu begini.

Terdapat satu tamsilan untuk menggambarkan keadaanku beberapa waktu ini. Seiring musim yang tak menentu -hujan, angin, dan panas bercampur dalam durasi waktu seminggu- aku tak ubahnya seorang pesakitan yang tak punya aktivitas apa-apa. Seorang pesakitan yang tak tahu harus bekerja di mana. Tak ubahnya juga seperti seorang pendosa yang menanggung beban celaka di pundaknya. Inilah yang kualami dalam beberapa minggu ini. Tragis. Tapi entah bagaimana pula, mataku tak kunjung keluar tangis.

***

Kemarin, dalam kamar yang banyak berserak buku, aku membaca satu buku. Antologi puisi. Judulnya lupa. Yang kuingat hanya apa yang kulakukan kemarin hari. Tidur, bangun tidur, cuci muka, minum kopi, lalu membaca buku. Dan kutemukan beberapa bait puisi yang dengannya aku mencoba membunuh perasaan dalam hati. Perasaan tentang tak bergunanya banyak waktu dan sia-sianya hari lalu. Tapi usaha pembunuhan yang kurencanakan ini gagal belaka. Setelah membaca beberapa puisi, perasaan diri sebagai seorang pesakitan malah makin membuncah saja. Sial. 

Ki-ka: Muhajier Pemulung, Edi M. Mustafa, Idrus Bin Harun, Haris.
Tapi, adalah sebuah keberuntungan yang sama juga ianya serupa anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, ketika diri dikepung perasaan terkutuk ini, aku berada di antara teman-teman yang selalu saja dengan pelbagai aksi dan ekspresi mereka perasaan yang tidak-tidak sedikit banyak terkikis begitu saja. Hingga aku bisa menepis segala anggapan buruk pada diri sendiri yang dapat mengakibatkan frustasi serta menambah tekanan di ulu hati. Inilah fungsi teman. Kata orang-orang tua, jika kita banyak teman, keadaan sedih jadi sedikit menggembirakan. Setidaknya sang teman bisa memberikan banyak hiburan. Namun, teman yang bagaimana? Ya, tentu saja teman yang baik hati. Teman yang peka terhadap pergantian mimik muka dan ekspresi. 

Jikapun demikian, tentang keberadaan teman, ada yang katakan lain lagi. Perkataan Leo Tolstoy misalnya. Katanya, "Musuh dapat lebih berguna dibanding teman karena teman sering memaafkan kelemahanmu. Musuh selalu memperhatikan kelemahanmu. Jangan abaikan pendapat musuh-musuhmu." Nah, soal begini ini bagaimana menurutmu? Aku sedang tak mau tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra