Bicara Sejarah Di Kursi Warungkopi

sumber: http://satulingkar.com/

Sering kita berjalan mundur ke belakang. Itu terjadi ketika kita mengingat-ingat masa lalu. Seperti ketika duduk bermenung sekadar memikirkan tentang yang tersisa dari sebuah perjalanan. Tentang yang belum usai dari suatu pekerjaan. Kita senantiasa merasa bahwa ada saja yang belum selesai dari sebuah tindakan. Kepuasan bagi kita hadir ketika ingatan sibuk dengan apa-apa yang menjadikannya disebut sebagai mengenang banyak kenangan. Dan kita mulai mencari-cari itu kenangan, atau bahkan mengais-ngais kembali apa yang patut dikenang, dan apa yang perlu diulangkerjakan. Menjadi orang yang berjalan mundur ke belakang adalah kesukaan bagi kita semua. 

Di banyak warung kopi kita sering duduk bergerombol sambil bertukar cerita, membicarakan sejarah, dan sesekali mencoba masuk ke dalamnya. Ke adegan sejarah. Di sana, kita berusaha bekerja agar sejarah yang ada, kelak, ketika dibicarakan orang lain di warung kopi-warung kopi lain, isi ceritanya berbeda dengan apa yang sedang kita bicarakan. Sebab bedanya adalah tak lain karena kita sudah meralatnya sekarang ini, di ruang-ruang pengap warung kopi. 

Celakanya, kita meralat sejarah dengan bicara belaka. Hanya mengandalkan rokok dan kopi dengan kursi dan meja warung kopi. Yang terakhir ini adalah amsal bangku studi. Tak ada yang lain untuk jadi rujukan. Tak ada sumber buku bacaan, tak ada analisa keadaan. Yang ada hanyalah cerita-cerita lisan yang sudah ratusan mulut tertutur turun menurun. Menurun hingga sampai ke telinga kita. Menurun hingga sampai ke otak kita dan kemudian kita merasa patut membicarakannya sambil membusungkan dada. Sambil saling mengangguk-anggukkan kepala. Entah iya?

doc. idrus bin harun

Inilah pekerjaan kita sehari-hari. Dari hari ke hari. Kita sering membicarakan nama-nama tokoh yang mungkin saja si tokoh tak pernah ada. Atau jika pun si tokoh pernah hidup di dunia, mungkin juga ia tak pernah bekerja seperti yang sering disebut-sebut orang tua. Kita terus-terusan bicara tanpa pernah bertanya, ontentikkah itu punya cerita? Cerita faktakah? Atau, mungkin hanya dongeng pengantar tidur saja. Kita tak pernah bisa mengkritisi setiap berita yang ada. Mungkin ini gara-gara budaya kita yang tak boleh membantah perkataan orang tua. Apa lagi suatu bantahan dengan memakai kalimat tanya. Hingga sampai kita besar seperti sekarang ini, -barangkali sebab didikan orang tua kita dulu yang memakai didikan 'jangan banyak tanya, dengar dan lakukan saja'- otak kita tak pernah hinggap satu tanda tanya pun selama hidup. Ini sebenarnya berbahaya.

Sungguh, kita sudah sangat keterlaluan membicarakan (baca: mengagung-agungkan) sejarah. Kadang secara tak sadar kita terjebak dalam jebakan pengkultusan. Semacam mengkultuskan seseorang tokohnya, misalnya. Pengkultusan buta. Tanpa membaca akar pangkalnya. Dan kita terus terjebak, serupa terjebak dalam quicksand; terjerumus masuk ke tanah. Logika berpikir jadi mundur ke belakang. Tak sefuturistik orang-orang terdahulu yang mencetak sejarah itu sendiri. Kita malah tidak mengkaji sama sekali. Hanya membicarakannya dari hari ke hari. Ini bisa kita lihat sendiri, jika kita mau membuka mata sedikit saja. 


Orang-orang kita banyak yang berpendidikan. Pendidikan tingkat tinggi, dengan kajian tak kalah tinggi. Lulusan dalam atau luar negeri. Tapi apa yang terjadi ketika mereka berada di kampung-kampung. Mereka malah ikut dengan orang-orang yang sedang asyik ber-euforia dengan sejarah. Bahkan ada pula yang pulang membawa titel tinggi untuk kemudian menadahkan pekerjaan pada orang yang menyekolahkannya. "Kami butuh pekerjaan, Tuan!"

Ketika membicarakan sastra, dengan lantang salah satu di antara kita unjuk suara dengan mimik muka sedemikian sumringahnya menyatakan bahwa dulu orang-orang kita sangat lihai bersastra ria. Lantas ia sebutlah nama-nama yang sudah puluhan atau ratusan silam berkalang tanah. Begitu juga pada topik-topik yang lain. Masa jaya-jayanya suatu peradaban misalnya. Dengan lantang pula salah satu di antara kita yang lain membeberkan nama-nama raja yang sampai sekarang kuburannya pun tak jelas berada di mana. Bicara buku juga begitu. Kita agung-agungkan pustaka yang punya ribuan kitab, ribuan mushaf, yang kenyataannya, tak satu pun di antara kita pernah melihat dengan kasat mata, lantas mengkodifikasikannya sehingga apa yang kita katakan itu adalah benar adanya. 

Namun, ada juga orang-orang kita yang selama hidupnya terus mengkaji. Berulang-ulang mengkaji. Cuma, bersebab adab dan didikan orang kita yang tak boleh menyanggah suatu kajian dengan bertanya, orang-orang yang dimaksud hanya mandeg pada tataran mengkaji saja. Tak ada penemuan baru atau revisi ulang terhadap apa yang sudah dikajinya berulang kali. 

Barangkali, kejadian seperti ini sudah begitu membumi dengan kehidupan kita di sini. Pada hal di sisi lain, jika kita mau membuka diri, dan tidak terlalu masyhuk dengan sejarah pribumi, dan tidak terlalu negative thinking dengan pendapat-pendapat orang di luaran sana, dapat kita temukan bahwa apa yang sedang kita alami ini, sudah dialami ribuan hari silam oleh yang lain. Hingga kemudian para pemikir di sana menemukan jawaban tentang pola pikir kebanyakan orang di antara mereka yang mundur ke belakang demi mengagung-agungkan sejarah dalam sebuah ungkapan tukang sepatu di Rusia sana. Katanya, “Jika disuruh memilih, aku lebih suka menjadi seorang tukang sepatu Rusia dari pada seorang Raphael Rusia. Sebab dalam pertarungan antara Shakespeare dan tukang sepatu dapat diperhatikan bahwa bukanlah saya yang menyumpah: ‘Shakespeare atau keindahan, tetapi sebaliknya yaitu orang yang terus membaca Shakespeare dan tidak memilih membuat sepatu, bahwa ia selamanya tidak pernah dapat membuat sepatu’.”

Barangkali pula, pada waktu luang tertentu bolehlah kita menghabiskan sedikit waktu untuk bermenung apa yang Thomas Jeffersen bilang puluhan tahun lalu: “Saya lebih suka lamunan untuk masa akan datang daripada sejarah masa lalu.”

Yang jelas mau sadar atau tidak, seharian ini kita hanya duduk di warungkopi. Bekerja tidak, pulang makan siang bersama anak istri pun tak. Entah sampai kapan kita berbual begitu rupa? Sementara mulut kita sudah demikian banyak mengeluar busa.  

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra