Satu Jam Bersama Ibu & Putri Ishak Daud Di Rumah Kak Na


Marlina atau akrab dipanggil Kak Na, istri Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf dengan balutan gaun biru muda terlihat sumringah sore ini. Duduk berbaur bersama sejumlah ibu-ibu berusia lanjut di Aula rumah dinas di Jalan Syeich Muda Wali Banda Aceh, Rabu sore 31 Juli 2013, Kak Na menggelar acara silaturrahmi dan buka puasa bersama dengan Nyak-nyak pedagang kaki lima. 

Di aula yang terletak di samping kanan rumah dinas itu, sejumlah penganan buka puasa mewah sudah tersedia di meja bulat yang kerap dipakai oleh pejabat teras pemerintah. Namun, hari ini, atas undangan Kak Na meja dengan hiasan bordiran khas Aceh ini dipakai oleh sekitar 50-an lebih pedagang kaki lima. 

Saat saya masuk ke ruangan ini, Kak Na duduk di meja paling depan dan akrab bergurau dengan seorang gadis kecil yang duduk di samping kanannya. Tepat di depannya seorang nenek duduk sambil sesekali tersenyum melihat Kak Na bersenda dengan gadis kecil tersebut. 

“Selain Nyak-nyak yang hadir sebagai tamu khusus, Kak Na punya tamu istimewa hari ini,” kata seorang stafnya kepada beberapa wartawan yang hadir.

Setelah mencari informasi pada beberapa sumber, tamu istimewa yang dimaksud ternyata adalah nenek yang tersenyum dan gadis cilik yang duduk satu meja dengan Kak Na. Keduanya adalah ibu kandung dan anak kandung Ishak Daud, seorang pentolan GAM terkenal yang meninggal saat konflik Aceh masih berlangsung.

Mendengar nama Ishak Daud disebut, saat acara buka puasa usai saya tertarik mencari kesempatan bertemu dengan Ibu dan putri kandung tokoh yang sampai sekarang saya kagumi sepak terjangnya itu. Atas bantuan seorang teman, kesempatan ini tersedia juga akhirnya. Senang bukan kepalang sebab gayung bersambut lebar terhadap niat besar saya.

Diterima di ruang belakang rumah dinas Wagub, gadis cilik itu nampak masih asyik bercengkerama dengan Kak Na. Sementara sang nenek dengan berbalut kerudung besar berwarna coklat duduk di samping cucunya sambil terus mengumbar senyum. Sesekali tangannya yang berkeriput gemulai membelai rambut sebahu sang gadis manis. 

“Piyoh neuk,” sambut nenek bernama Nuriah dan akrab disapa Ummi ini setelah sebelumnya menjawab salam saya dengan ramah. 

Kak Na tersenyum saat saya minta izin mewawancarai Ummi dan cucunya. Lantas sang cucu pun dengan manja bergelayut di bahu neneknya. Dengan lincah dan mata yang berbinar, ia mengenalkan diri. “Nan lon Annisa Ulfitra. Lon teungoh sikula bak SD Negeri 11 Lhokseumawe di Panggoi,” katanya tersenyum.

Perkenalan Annisa dengan saya adalah awal mula cerita. Pasalnya, dalam waktu singkat, Ummi bercerita tentang kenangannya pada anaknya. Ishak Daud. Tokoh yang sampai sekarang masih menyandang nama besar walau telah lama meninggal. Saat bercerita tatapannya teduh. Tapi intonasi suaranya kerap terdengar seperti orang sedang terenyuh. Sementara mimik wajahnya yang berubah-ubah adalah penentu setiap scene dari ceritanya.

“Kiban han tingat teuh keu aneuk,” katanya sambil membelai rambut cucunya yang sudah duduk berkelendot di bahunya. 

Lantas walau dari mimik wajahnya yang terlihat tanpa raut, seperti memendam duka cita yang mendalam, lirih ia berujar kembali, “Kedua terakhir saya berjumpa dengannya waktu di Lhok Jok. Saya lupa tahun berapa. Dan jumpa saya dengannya yang paling terakhir, ya, saat ia telah meninggal.”

Mendengar ucapannya yang lirih ini, sejenak ruangan jadi hening. Kak Na yang duduk tak jauh darinya menunduk. Annisa, sang cucu atau putri semata wayang dari tokoh yang sedang diceritakan, yang bentuk wajahnya mewarisi bentuk wajah ayahnya ikutan menunduk. Binar matanya redup.

Dua-tiga menit seisi ruangan seperti memendam perih. Saya beralih topik. Kali ini mencoba bicara seputar kehidupan Ummi yang telah berusia 75 tahun ini. Sekarang ia tinggal bersama suaminya, Salihin 76 tahun, di Gampong Kuala Geuleumpang, Panggoi Kota Lhokseumawe, mengasuh Annisa yang sedang duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar di sana. 

Bersama suaminya yang sekarang telah sakit-sakitan, kesehariannya terisi penuh mengasuh sang cucu. "Away, kakek awak nyoe na geu keurija jak u laot. Cuma meunyoe ka tuha, peu lom ka saket-saket pane na geu keurija lom,” katanya sembari menyungging senyum. 

Lantas Annisa tersenyum saat Kak Na kembali duduk di dekatnya setelah sebelumnya masuk ke dalam sebentar. Sambil menyodorkan segelas cendol dingin ia berujar, “Dek Nisa meunyoe tinggai sajan lon sinoe, jak sikula di sinoe jeut kon?”

Annisa malu-malu. Matanya berbinar. Merah bibirnya menyungging senyum menampakkan deretan giginya yang putih mungil. 

Menurut Kak Na, ia sangat berkeinginan untuk mengajak putri semata wayang teman seperjuangan suaminya pada masa konflik dulu untuk tinggal bersamanya. “Di sini saya ada mengasuh beberapa anak-anak korban konflik. Beberapa di antaranya sudah belajar di pesantren-pesantren di Banda Aceh dengan wali murid atas nama saya,” kata Kak Na. “Kiban Dek Nisa, tem tinggai sinoe?” tanyanya lagi kepada Annisa.

“Lon bah tinggai ngon nek dilee. Teuma lheuh SD lon bah tinggai sajan Nek Tu di Ulee Kareng. Bah sajan ngon Bang Anbiya,” jawab gadis cilik ini polos.

Dari keterangan Ummi, Ishak Daud dan Istrinya berpulang kerahmatullah dengan meninggalkan dua orang anak. Pertama bernama Muhammad Anbiya dan kedua adalah Annisa Ulfitra. Saat dua orang tua mereka meninggal,  masing-masing keduanya masih berusia 3,5 tahun dan 18 bulan. 

Saat konflik, keduanya diungsikan ke Medan dengan diasuh oleh babysitter khusus dari Aceh. “Mungken alah na diba u Medan awak nyoe dua. Kadang cit meu seulamat han meunyoe awak nyoe na sajan watee keujadian nyan,” jelas Ummi dengan suara setengah berbisik. Lirih, hampir tak terdengar.  Tapi cukup membuat ruangan hening untuk kedua kalinya. 

Saat neneknya bercerita tentang ia dan abangnya sepeninggal orang tua mereka, Annisa lagi-lagi menunduk. Dua tangannya memelintir ujung kaos merah tanpa lengan bergambar kucing hitam. Tubuhnya yang agak kurus tak lagi bergelayut di bahu sang nenek. 

Jelas Ummi, sepeninggal dua orangtuanya, kedua cucunya itu juga diasuh oleh Nek Tu, Panglima Wilayah Aceh Timur pengganti Ishak Daud. Sampai sekarang, kata Ummi, Anbiya dan Annisa telah menganggap Nek Tu seperti orang tuanya sendiri. “Bah pih lagee nyan, lawet nyoe awak nyoe ka muphom cit bacut-bacut tentang ayah ngon mak droe jih,” sambung Ummi sambil mengelus ubun-ubun Annisa. 

Kemudian Ummi diam. Suasana ruang belakang rumah dinas Wagub yang menyambung dengan dapur terasa lebih hening. Beberapa orang yang ikut nimbrung dalam pembicaraan ini juga diam. Seorang ibu yang duduknya agak jauh dari dari Kak Na menyeka mata dengan sapu tangannya. Entah sudah bulir keberapakah dua matanya mengalir air? 

Sampai di sini, Kak Na mengambil alih. Katanya ia mengundang khusus Ummi, Anbiya dan Annisa saat mendengar mereka ada di kediaman Nek Tu. “Namun hari ini, seperti dibilang Ummi, Anbiya tidak bisa datang,” jelas Kak Na.

“Lon neuk sambong bak Pesantren Babunnajah. Lagee geu peugah le Nek Tu. Bah sapat ngon Bang Anbiya enteuk,” jawab Annisa saat saya tanyakan tentang sekolahnya. Di sekolah, Annisa mengaku dapat rangking 4 semester ini. 

Sementara saat saya tanyakan kelak mau jadi apa, tangkas pula ia menjawab, “Cita-cita lon beu jeut keu bidan.”
 
Sejenak, seisi ruangan tertawa mendengar jawaban Annisa. Tak terkecuali Ummi dan Kak Na yang duduk mengapitnya di sofa. Namun suasana riang ini tak berlangsung lama. Saat saya mencoba bertanya keberadaan ayahnya keriangan itu hilang sekejap. Dan ruangan kembali senyap. 

“Dek Nisa na turi ayah?”

Tak ada jawaban. Annisa diam. Kali ini gadis cilik pemilik dagu tirus ini tak lagi menunduk kecuali menatap saya tajam. Binar matanya menyala. Setarikan nafas, ia menoleh neneknya berharap memberikan bantuan jawaban. Tapi sang nenek sibuk bersitatap dengan Kak Na untuk kemudian serentak keduanya menatap saya dalam-dalam. Seperti memberi isyarat waktu saya untuk pamit telah tiba. 

Maka setelah menyalami Ummi, Kak Na dan beberapa orang lainnya, saya menggenggam tangan Annisa. Bersalaman erat dengannya. “Pokoknya nanti Annisa harus jadi ibu Bides yang sukses,” kata saya padanya. “Get bang,” katanya tersenyum malu menimbulkan rona merah di kedua pipinya.[]

Nb. Tulisan ini pernah dimuat di tabloid The Atjeh Times, tapi saya lupa edisi berapa. Foto oleh Miko Munthe.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra