Begini Cerita Buruh Di Mulut Pemodal


"Kami Aman Kalian Amin" karya Idrus bin Harun
Malam ini bulan tak jadi membola. Seperti dua atau empat pekan lalu dimana mendung masih saja mewujud-nyata. Banda Aceh tak serta merta gigil walau angin berkesiur acak dan usil. Di beranda kantor yang baru menyelesaikan pajak tahunan perusahaannya, dua orang besar bertukar cakap. 


“Benarkah harapan pupus oleh sebab gaji yang belum mengada?”


“Nafas manusia tetap menguar karena kata harapan ada dalam kamus semua bahasa mereka. Makna agama akhirnya menuju ke kata harapan juga. Orang shalat berharap masuk surga contohnya.” 


“Tapi membuat utuh hati buruh yang telah keping cukup menguras tenaga.”


“Benar. Tapi di situlah bulan yang membola menunjukkan fungsi aslinya. Kita pakai jari telunjuk. Kita menunjuk. Menuding istilah kasarnya. Bahwa saat bulan yang membola dibalut mendung, tak ada jalan lain kecuali menggantung harap serta sama-sama menghalaunya, seiya sekata. Jika suatu kali mereka bimbang, bisa kita katakan almanak dan bulan tetap saja membawa harapan. Kesanalah kita sama-sama bermuara. Kita yakinkan itu berulangkali sampai otak mereka yakin bahwa hanya kitalah yang mampu memberi harapan akan kemudahan rezeki.” 


“Hmmm... Benar juga. Tapi jika ada yang mendakwa selagi doktrin harapan belum penuh tertanam dalam kepala mereka, kita harus bagaimana?”


“Bukankah dalam anggaran dasar rumah tangga sebuah perusahaan ada pasal tak tertulis tapi bisa terbaca kapan saja bagi bawahan keras kepala?”


“Apa itu? Saya belum benar-benar tahu.”


“Tak ada perusahaan di dunia yang membuat kaya para buruh, kecuali dari keringat merekalah perusahaan beranak-pinak, besar dan terus tumbuh.”


Malam ini bulan tak jadi membola. Mendung masih bergelayut di reranting patah sang purnama. Tapi Banda Aceh mulai menggigil oleh sebab embun jatuh ritmis diiring kesiur acak angin yang jauh dari kata dinamis. Di beranda kantor yang baru saja mendaftarkan perusahaannya dalam koperasi kreditan, dua orang besar sama-sama menguap. Usai sudah segala obrolan atawa cakap. Sekali lagi keduanya sama-sama menguap. 

“Gam, keuno kajak. Kabloe kupi siat. Bek tuwoe rukok beh!”[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra