Yang Lain Di Simpang Lima

Aku temukan orang-orang diam menikmati deru kendaraan di traffic light Simpang Lima. Aku temukan beberapa pekerja taman, menggali trotoar jalan dengan sabar. Tak menoleh ke muka siapa pun, sementara di badan jalan, orang-orang yang berhenti menunggu lampu hijau nyala memperhatikan mereka dengan berbagai cara pandangnya. Aku temukan juga serombongan gadis chinese berjalan bergandengan menyebrangi badan jalan sambil saling bercengkerama satu sama lain.Sore di tengah hiruk pikuk kota, bening mata sipit mereka adalah pengganti teduh pohon yang ditebang akibat pelebaran jalan.

Sementara bayang baliho iklan yang tumpah di badan jalan adalah tempat yang baik untuk berteduh oleh semua pengendara. Ketika lampu hijau traffic light belum lagi menyala. Di sisi jalan lain, suara klakson dan deru mesin kendaraan adalah nyanyian panjang suka cita. Nyanyian tentang bebasnya tubuh dan pikiran dari kungkungan jam kerja. Serupa nyanyian panjang anak-anak gembala yang menuntun kambing-kambing piarannya di pematang sawah atau jalan setapak pinggir hutan. Ketika senja membuncah di balik bukit sebelah barat pertanda sudah waktunya gembalaan masuk kandang.

Di sisi ruas jalan satu lagi, lampu hijau traffic light nyala berkedip-kedip. Barangkali suplai arus telah dikorupsi orang-orang di jawatan listrik (ini sekadar berprasangka saja kiranya). Tak jauh darinya sepasang suami istri tanpa alas kaki naik ke trotoar jalan setelah sebelumnya turun ke jalan. Sebelumnya di sela-sela antrian panjang kendaraan, dua sejoli ini sabar menadah tangan.

Di Simpang Lima, tak kutemukan Banda Aceh yang hilang bentuk. Kecuali wajahnya yang suntuk oleh ritual orang-orang di dalamnya serupa para pemabuk. Dari sebuah warung kopi yang letaknya persis di satu sudut, mataku terasa jadah saja. Sedari tujuh menit sebelumnya ia terantuk pada dada-dada para gadis yang menempel rapat sampai hilang bentuk di kekar punggung pemudanya. Ini akrab kulihat ketika mereka sama-sama menunggangi kendaraan mesin roda dua. Aku pernah begini juga pada tahun-tahun lewat. Tapi waktu itu, kuakui punggung ini tak cukup luwes untuk membenamkan bentuk dada-dada yang kutatap sekarang. Sampai bentuk yang membukit itu benar-benar hilang. Aku bimbang. Apakah aku kepayang sebab pahit kopi, atau sedang merasa sirik atawa iri?

Barangkali bundaran alas tugu simpang lima yang terpacak di tengah-tengahnya mengerti tentang hal ini. Dan ia punya jawaban untuk aku yang bimbang sembari bisa memberi terang tentang kota religi nan madani. Untuk menghibur diri kubenam dalam hati: "Kota besar dunia adalah kota yang dibangun dari puluhan ribu skandal penghuninya." Sekali ini aku tak lagi mengurut dada, kecuali hanya kepikiran tentang dada-dada yang membuat jadah dua bola mata. Serius!

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra