Review Film The Bucket List


source: newyorker
Sejatinya ini adalah film drama berkisah tentang bagaimana dua orang tua pesakitan menghabiskan waktu jelang ketibaan ajal masing-masing. Jelang tiba ajal sebab keduanya menderita kanker paru stadium akhir. 

Dua orang tua itu diperankan oleh aktor gaek hollywood, Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Jack Nicholson memerankan seorang tua bangsawan, miliarder terkenal bernama Edward Perriman Cole. Punya sifat rada-rada angkuh dengan kepribadian “i’am the boss” dalam menghadapi semua bawahannya.  Edward adalah tipikal seorang borjuis modern yang menyukai segala hal yang serba wah, termasuk kopi yang digilainya tidak boleh lain kecuali Kopi Luwak.

Sementara Morgan Freeman berperan sebagai montir kulit hitam bernama Carter Chambers. Ia sosok sederhana. Tidak berlebihan secara materi, kecuali otaknya yang cukup cerdas. Berwawasan luas, ia pernah bermimpi menjadi seorang Professor sejarah. Tapi kandas sebab finansial hidup tak berpihak padanya, hingga sampai usia mencapai batas akhir sebab penyakit, ia hanyalah seorang mekanik pesakitan. 

Keduanya bertemu di sebuah kamar rawat inap rumah sakit swasta milik si angkuh, Mr. Cole –begitu ia dipanggil semua bawahannya. Di sinilah film yang dirilis Desember 2007 lalu memulai kisahnya. Tadinya, Mr. Cole tak ingin berbagi kamar selama dirawat atas penyakitnya. Namun karena dalam sebuah sidang penentuan kebijakan rumah sakit swasta, sebelum ia jatuh sakit, Mr. Cole pernah sepakat dengan penentu kebijakan bahwa di rumah sakit swasta miliknya tidak lagi dibedakan kelas berdasarkan bekal finansial pasien. Semua sama.

Dalam bilik rumah sakit itu, dua aktor gaek ini memainkan perannya dengan apik. Di sini, karakter Mr. Cole yang penyendiri, yang pernah menjadi mantan suami untuk empat orang istri, dan sudah lama tak pernah berkomunikasi lagi dengan putri semata wayangnya, benar-benar diperankan dengan ciamik oleh Jack Nicholson.

Berbeda dengan Carter yang malang. Ia tetap dengan pembawaannya yang tenang. Menghabiskan hari-hari pertamanya di rumah sakit dengan terus membaca buku. Sesekali, istrinya datang menjenguk. Ia seperti seorang yang tanpa beban walau pun diagnosa penyakitnya yang tak bisa diobati lagi. Berusaha bersahabat dengan teman barunya di kamar rawat. Tapi dasar Mr. Cole yang cukup tahu diri bahwa ia tidak selevel dengan seorang tua kulit hitam miskin. Persahabatan yang diinginkan Carter sama sekali tak terjalin untuk beberapa hari pertama di adegan-adegan awal film berdurasi 97 menit ini.

Tapi seiring berjalannya waktu, kebekuan dua pasien tua ini akhirnya mencair juga. Mr. Cole seperti sadar dengan penyakit yang diidapnya tak ada lagi yang mesti diagungkan di depan teman sekamarnya. Persahabatan terjalin dari dua ranjang dalam satu kamar rumah sakit. Dan itu mencapai klimaksnya ketika pada suatu pagi Mr. Cole menemukan sesobek kertas berisi catatan keinginan yang ingin dicapai Carter sebelum maut datang. Dan klimaks itu benar-benar tumpah ketika Mr. Cole dengan hartanya yang melimpah mengajak Carter keluar rumah sakit untuk mewujudkan semua keinginannya. 

Keduanya pun pergi pelesiran. Dengan kuasa yang dimiliki Mr. Cole, akhirnya Carter sampai ke Mesir untuk melihat Piramida, berkunjung ke Taj Mahal di India, ke Tembok Raksasa di China, hingga sampai ke Tibet. Itu ditambah pula dengan pemenuhan keinginan lain seperti diving udara, dan balap mobil atau menginap di salah satu hotel termewah dunia. Jalinan persahabatannya dengan Mr. Cole, semua yang diidam-idamkan Carter sebelum maut terwujud, kecuali keinginannya menjejakkan langkah di kaki Mount Everest gagal sebab penyakitnya yang sudah mulai kambuh. 

Dari perjalanan yang mereka tempuh, dua-duanya nampak akrab dan bahagia. Tapi keakraban yang telah menghabiskan banyak uang, menguras emosi, retak kembali setelah dua-duanya mulai mencampuri urusan pribadi masing-masing. Carter merasa tersinggung dengan ulah Mr. Cole yang mencoba menyewa seorang perempuan untuknya. Sementara Mr. Cole malah marah besar ketika Carter mencoba memperbaiki hubungannya dengan putri semata wayangnya. Lantas dua sahabat tua ini berpisah untuk kembali menjalani hidup masing-masing. 

Film Bucket List ini adalah film yang menuntut emosi dan perasaan penonton teraduk-aduk dalam suatu pergulatan batin. Pergulatan batin tentang bagaimana kita bisa menyelami diri sendiri, ketika vonis menunggu ajal ditetapkan dokter sebab suatu penyakit misalnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang dilontarkan Carter ketika ia bersama Mr. Cole duduk menikmati senja dengan view Piramida di belakangnya. 

"Have your life brought joy to others?

Itu adalah pertanyaan yang tak mesti kita jawab dengan serta merta kecuali mencoba mengintrospeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan sehari-hari. Ketika masih muda, selagi masih punya kuasa, pernahkah kita berusaha membahagiakan orang lain selama hidup? Menyimak film ini, memahami setiap percakapan sampai ending ceritanya, bisa dipastikan perasaan penonton akan tergugah untuk sekadar menjawab kepada dirinya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan introspektif itu.

Terakhir, khusus bagi kalangan muda yang merasa yakin umurnya akan sampai di usia senja. Ucapan Mr. Cole dalam sebuah adegan, barangkali bisa menjadi semacam panduan tentang apa yang harus diperhatikan ketika tua nanti. Katanya, "Tiga hal yang harus kau ingat ketika tua. Jangan lupakan kamar mandi, jangan sia-siakan ereksi, dan jangan percaya kentut."[]

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra