Bayangkan Kita Sedang Junub, Listrik Padam

Malam ini, Kamis 21 March 2013, listrik padam lagi. Hingga ketika saya tuliskan opini ini, ribuan sumpah serapah berkecamuk dalam hati. Hingga saking banyaknya sumpah serapah tersebut, tak satu pun kata-kata itu bisa tertulis di sini. Kalau pun bisa tertulis, saya tetap saja tak mampu mengingatnya satu-satu. Yang jelas, kecewa sangat pada PLN sebagai si empunya aksi pemadaman. Tak ada tempat tumpahan kekecewaan begini rupa selain PLN saja adanya. Tidak kepada keluarga, geuchik, teungku imum, mukim, camat, bupati, gubernur atau bahkan presiden. Tetap hanya untuk PLN saja kecewa ini berujung.

Maka tentang keberadaan Perusahaan Listrik Negara. Dengan singkatan tiga huruf: PLN; yang oleh sebab seringnya listrik padam. Tiga huruf ini sering dipelesetkan banyak orang dengan kepanjangan Perusahaan Lilin Negara, Pasti Lama Nyalanya, dan plesetan-plesetan lain yang cukup membuat pembacanya tersenyum sambil memendam kesumat.

Contoh kepanjangan lain? Ada. Padam Listrik se-Negara salah satunya. Atau jika ada yang ingin memelesetkan tiga huruf itu dengan kepanjangan-kepanjangan lainnya sesuai selera hati, ya silahkan saja. Saya kira itu tak melanggar hukum dan tidak membuat anda dikejar Densus 88 atau diintai Intel Koramil, misalnya.

Pemadaman malam ini, entah apa alasan pejabat PLN lagi. Yang jelas, Aceh, seperti ungkapan seorang penulis lainnya, belum juga sepenuhnya merdeka dari pemadaman listrik. Aceh hingga saat ini, walau pun punya triliyunan dana ini itu, tetap saja sesekali (banyak kali malah) sengsara dari kegelapan malam atau kebingungan siang akibat listrik padam.

Seandainya listrik bisa diswastakan saja. Walau pun pihak swasta biasanya bertindak tegas dengan pelanggannya. Saya kira ini tidak mengapa. Biarlah kita hidup dengan harga mahal dari pada dipermainkan begini rupa.

Kita, atau dalam hal ini saya sendiri, tentu sudah tidak bisa berteriak lagi, bagaimana hidup sekarang ini sungguh sangat tergantung dengan listrik. Apa-apa pakai listrik. Hingga untuk buang hajat di jamban pun, kalau tidak ada listrik, pekerjaan itu tidak bisa terlaksana dengan sempurna. Bisa berak, tak bisa mencuci karena air mesti ditarik dengan mesin pompa yang memakai tenaga listrik. Ini tentu saja perkara yang membingungkan jika hidup di Aceh. Susah mengembangkan hajat hidup tanpa nyala listrik.

Tidak lagi kalau orang sedang junub. Untuk perkara begini rupa, tak ada salahnya saya membayangkan beberapa pejabat PLN yang sampai saat ini belum juga mampu membuat perusahaan listrik ini berfungsi sebagaimana harapan, suatu ketika dalam keadaan junub. Sementara listrik padam. Sementara air untuk mandi junub tidak naik karenanya. Sementara ada salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Yang tentu saja, selaku orang beriman, pejabat kita yang sedang junub itu mesti Yasinan untuk mendo’akan almarhum. Namun apa boleh buat. Ia sedang junub adanya. Jangankan untuk mendo’akan, untuk mandi atau ambil wudhu’ saja ia tidak bisa. Apalagi Banda Aceh hanya dibelah satu sungai saja. Mungkin lain cerita kalah banyak sungai melintang berseliweran, walau agak mustahil menemukan pejabat PLN mandi junub di sungai sebab listrik padam.

Tentang kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa dijangkau kepala, apakah para pejabat kita tidak pernah memikirkan itu? Sebab, kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi, mungkin sudah banyak disiarkan berita. Contohnya, gara-gara padam listrik, pasien yang sedang operasi di rumah sakit meninggal dunia. Gara-gara listrik padam, omset satu usaha hilang seketika. Yang seperti itu tentu sudah sampai ke telinga para penentu kebijakan PLN saya kira. Itu makanya kemungkinan yang tak bisa dijangkau kepala seperti ilustrasi junub di atas dengan sadar saya gambarkan.

Saya sebagai orang awam masih tidak habis pikir tentang pemadaman listrik ini. Selain sumpah serapah dan juga kecewa, puluhan tanda tanya timbul dalam hati. Beberapa di antaranya: Segini tololkah intelektual PLN di Aceh, hingga urusan listrik saja tidak ada yang bisa mengatasi? Atau mungkin juga urusan listrik memang sudah bisa di atasi, tapi itu terbentur dengan kepentingan-kepentingan segelintir orang. Hingga kebijakan tentang kondisi lampu yang makmu dipelintir atau di putar-putir. Jika begitu adanya: Segitu bangai-kah orang-orang Aceh hingga kepentingan hidup orang banyak bisa dipelintir?

Aih … Dengan ilustrasi dan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, saya akui tulisan ini penuh sentimentil. Berkesan emosionil. Tapi apa hendak di kata. Sebab, sebagai orang awam, ketika hak menikmati listrik direnggut dengan semena-mena (apa pun alasannya), hanya hak bersuara yang tersisa. Untuk ini, saya tunggu bantahan PLN segera!

Emperom Gelap, Pukul 00.42, 21 Maret 2013.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra