Alasan Kenapa Aku Ingin Terus Menulis

Sebab aku cukup sadar bahwa ingatan tak pernah bisa utuh. Bahwa saat senja pikiran bisa renta juga, maka dengan sadar pula aku pun memagangkan diri. Memagangkan tubuh dan pikiran ini dalam dunia tulis baca. Dunia yang berisi kumpulan huruf, titik, koma, tanda tanya, serta tanda baca lainnya. Aku tak menyebutkan diri ingin menjadi penulis di sini. Namun hanya bermaksud mengutarakan isi hati tentang bagaimana sadarnya aku saat ini, sepagi ini, bahwa menulis itu memang penting. Lebih penting dari sekadar niatan mencumbu seorang perempuan sementara akad belum terlaksana juga.

Jika boleh meminjam kata anak-anak Komunitas Jeuneurob di Lamgugop sana, tidak ada salahnya apa yang mereka katakan tempo hari aku kutip di sini. "Suatu saat kita memang harus menulis cerita sendiri, sebab bukan tidak mungkin kita akan dirundung bosan dengan cerita-cerita lama," begitu kira-kira maksud yang pernah mereka utarakan kepadaku, ketika berbicara tentang kenapa mereka bikin kelompok menulis sendiri tanpa ada paksaan dari siapa pun. Dari emak mereka pun tidak. Apalagi dari pacar mereka. Untuk yang terakhir, tentang pacar yang mengajak menulis sebagai bumbu-bumbu bermesra atawa bermasyhuk ria dengannya adalah perihal yang sangat langka aku kira. Kalau pun ada pacar seperti itu, paling bisa dihitung satu dua sampai lima di antara ratusan calon pacar yang ada. Kalau pun ada pacar seperti itu, tentu ia harus kita selamatkan dalam artian kita jaga baik-baik agar ia tidak punah sebagaimana punahnya makhluk-mahkluk langka di dunia.

Maka aku pun memagangkan diri. Memagangkan tubuh dan pikiran ini dalam dunia tulis baca. Agar apa yang ada dalam ingatan, dalam pikiran dan tersangkut dalam hati nurani, bisa aku selamatkan sampai hari tua nanti. Aku percaya kalau dunia terang karena adanya cerita-cerita lama. Kalau tidak, bagaimana pula kita bisa tahu kalau kita punya nenek moyang pejuang, hartawan, ahli perang, atau apa pun itu menyangkut sejarah muasal hidup kita, misalnya. Untuk itu, sebab aku cukup yakin bahwa keberadaanku di dunia ini akan punah suatu saat nanti. Sebagaimana punahnya kentut setelah bunyi dan baunya sirna di telan udara tanpa sisa. Tanpa jejak untuk dikenang, tanpa rupa untuk dibayang, maka aku menolak untuk tidak bersisa. Aku menolak untuk tidak dikenang setelah punah (agar lebih sopan, ganti saja kata punah dengan mati atau meninggal) nanti. Aku bersikeras pada masyarakat dunia bahwa aku pernah hidup di dunia. Pernah punya bangsa, punya keluarga, sanak kerabat, dan tentu saja pernah berak juga.

Pasalnya, bagaimanakah cara menolak itu semua? Gampang. Cukup menulis saja. Sebab seperti kata Paman Pram, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Inilah alasan kenapa saat ini aku memagangkan diri untuk belajar menulis sedemikian rupa. Intinya, aku menolak untuk tidak dianggap dunia. Sekian!

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra