Abuwa Min, Sang Pahlawan Adipura
LALU-lalang
kendaraan di Jalan Sudirman, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh, tak menganggu
lelaki tua itu, Rabu sore, 12 Juni 2013. Di depan
sebuah musalla, di bawah sebatang pohon palem yang tumbuh di atas trotoar, ia
mengaso. Ia duduk memanfaatkan beton trotoar sebagai alas.
Sebatang
rokok daun nipah disulutnya. Matanya menerawang jauh, seperti menembus
seliweran kendaraan bermotor yang dengan deru suaranya saja terasa memusingkan
kepala. Tapi pria itu duduk santai seperti tak peduli. Tubuhnya
yang kurus dibalut seragam warna orange. Ia memakai sepasang sandal jepit warna
biru yang alasnya mulai menipis. Namun di balik kulitnya yang keriput, pria ini
seperti menyimpan ketegasan dan wibawa.
Tak jauh
dari tempat duduknya terletak sebuah tong sampah dorong berwarna sama dengan
seragamnya. Di dalam tong, seperangkat alat sapu menyatu dengan sampah seperti
dedaunan kering, botol air mineral bekas, kantong plastik, dan beberapa jenis
sampah lainnya.
“Ada perlu
apa?” tanyanya saat saya mengajaknya bicara. Terkesan kurang
bersahabat dari gayanya bertanya. Ia juga tak menoleh ketika disapa. Namun saat
disinggung soal Piala Adipura yang baru saja diraih Banda Aceh untuk keenam
kalinya, pria tua ini terkekeh.
“Orang mana
tahu Adipura itu diperoleh bagaimana. Yang orang tahu kan, kota mereka bersih,
layak dapat Adipura,” ujarnya sembari sambil menyeka dahi setelah membuka topi
warna coklat yang lusuh. Ia tahu
Banda Aceh kembali mendapat gelar kota terbersih se-Indonesia dari
teman-temannya. “Ya, kita bersyukur saja kalau kota kita memang mendapat piala
lagi,” ujarnya.
Namanya M
Amin, warga Ulee Kareng, Banda Aceh. Telah lama ia bekerja sebagai penyapu
jalan. “Banyak yang panggil saya Mat Amin. Tapi sering juga dipanggil Abuwa
Min,” ujarnya sambil terkekeh lagi.
Saat ditanya
tahun lahirnya, ia menggeleng sembari berujar, “Umu lon paleng na 60 thon.
Kureueng na, leubeh tan. Bek ka tanyong thon lahee, hana teucatat. Nyang na lon
ka lhee droe cuco, aneuk limong (Umur saya 60 tahun. Jangan tanya tahun lahir,
tidak tercatat. Yang jelas, saya sudah punya tiga cucu, anak lima).”
Bagi Abuwa
Min, mendapat Adipura atau tidak, itu tak terlalu penting baginya. Yang
penting, bagaimana ia bekerja dengan baik dan bisa menghidupi keluarganya.
Tapi, Abuwa Min bangga, hasil kerjanya bersama rekan-rekan mendapat penghargaan
secara nasional.
Tiba-tiba
Abuwa Min berdiri menuju ke tong sampah untuk membuang rokok daun nipah. Dari
gaya jalannya, langkah yang berkesan ringkih tidak terlihat sama sekali. Tak lama ia
duduk kembali. Saat disinggung betapa tenaganya masih kuat saja, ia lagi-lagi
terkekeh. Pipi keriputnya, seperti masuk disedot oleh sela-sela gusi yang sudah
tak bergigi.
Dua tahun
terakhir ini, ia berkutat di sepanjang jalan lingkup Kecamatan Banda Raya.
Selama bekerja, ia menerima gaji sebagaimana mestinya. Walaupun jika
dihitung-hitung, menurutnya, serba tak cukup. Tapi setidaknya bisa mengepulkan
asap dapur keluarga.
Saat Banda
Aceh menjuarai Adipura, ia pernah dua kali mendapat bonus Rp1 juta dan Rp1,5
juta. Untuk yang satu ini, menurutnya, walau Banda Aceh telah mendapat gelar
Adipura keenam kali, bonus diterimanya secara bergiliran. “Kalau setiap juara
uangnya dibagi semua, mana cukup.”
Selama
sekian tahun bekerja, kata Abuwa Min, yang paling sering membuatnya kesal ulah
warga dalam menjaga kebersihan. Banyak yang kurang perhatian tentang hal yang
satu ini. Ketika
mendapat piala Adipura, kata dia, banyak warga bangga dengan kotanya. Banda
Aceh bersih, rapi, dan lain sebagainya. Tapi untuk saling menjaga kebersihan,
menurut Abuwa Min, warga kota mesti diajarkan caranya. Ia menggerutu ketika
berbicara masalah ini.
Abuwa Min
mengatakan, yang paling tidak menghargai kebersihan di kota ini adalah para
pengguna jalan. Seenaknya, kata dia, mereka membuang sampah sembarangan. "Kamu
tahu, yang tak habis pikir lagi, orang yang bawa mobil. Buka kaca, buang tisu,
botol minuman seenaknya saja. Pernah juga saya dapati ibu-ibu naik mobil mewah,
buka kaca mobil, buang sue jagong di jalan. Itu saya ingat sekali. Dia buang
tepat di depan saya selagi menyapu di jalan ini.”[]
Sebelumnya telah dimuat di http://atjehpost.com/saleum_read/2013/06/13/55503/83/3/Kisah-Abuwa-Min-pahlawan-Adipura-kota-Banda-Aceh
LALU-lalang
kendaraan di Jalan Sudirman, Kecamatan Banda Raya, Banda Aceh, tak
menganggu lelaki tua itu, Rabu sore, 12 Juni 2013.
Di depan sebuah musalla, di bawah sebatang pohon palem yang tumbuh di atas trotoar, ia mengaso. Ia duduk memanfaatkan beton trotoar sebagai alas.
Sebatang rokok daun nipah disulutnya. Matanya menerawang jauh, seperti menembus seliweran kendaraan bermotor yang dengan deru suaranya saja terasa memusingkan kepala. Tapi pria itu duduk santai seperti tak peduli.
Tubuhnya yang kurus dibalut seragam warna jingga. Ia memakai sepasang sandal jepit warna biru yang alasnya mulai menipis. Namun di balik kulitnya yang keriput, pria ini seperti menyimpan ketegasan dan wibawa.
Tak jauh dari tempat duduknya terletak sebuah tong sampah dorong berwarna sama dengan seragamnya. Di dalam tong, seperangkat alat sapu menyatu dengan sampah seperti dedaunan kering, botol air mineral bekas, kantong plastik, dan beberapa jenis sampah lainnya.
“Ada perlu apa?” tanyanya saat ATJEHPOSTcom mengajaknya bicara. Awalnya ia terkesan kurang bersahabat. Ia juga tak menoleh ketika disapa.
Namun saat disinggung soal Piala Adipura yang baru saja diraih Banda Aceh untuk keenam kalinya, pria tua ini terkekeh.
“Orang mana tahu Adipura itu diperoleh bagaimana. Yang orang tahu kan, kota mereka bersih, layak dapat Adipura,” ujarnya sembari sambil menyeka dahi setelah membuka topi warna coklat yang lusuh.
Ia tahu Banda Aceh kembali mendapat gelar kota terbersih se-Indonesia dari teman-temannya. “Ya, kita bersyukur saja kalau kota kita memang mendapat piala lagi,” ujarnya.
Namanya M Amin, warga Ulee Kareng, Banda Aceh, yang telah lama bekerja menjadi penyapu jalan. “Banyak yang panggil saya Mat Amin. Tapi sering juga dipanggil Abuwa Min,” ujarnya sambil terkekeh lagi.
Saat ditanya tahun lahirnya, ia menggeleng sembari berujar, “Umu lon paleng na 60 thon. Kureueng na, leubeh tan. Bek ka tanyong thon lahee, hana teucatat. Nyang na lon ka lhee droe cuco, aneuk limong (Umur saya 60 tahun. Jangan tanya tahun lahir, tidak tercatat. Yang jelas, saya sudah punya tiga cucu, anak lima).”
Bagi Abuwa Min, mendapat Adipura atau tidak, itu tak terlalu penting baginya. Yang penting, bagaimana ia bekerja dengan baik dan bisa menghidupi keluarganya. Tapi, Abuwa Min bangga, hasil kerjanya bersama rekan-rekan mendapat penghargaan secara nasional.
Tiba-tiba Abuwa Min berdiri menuju ke tong sampah untuk membuang rokok daun nipah. Dari gaya jalannya, langkah yang berkesan ringkih tidak terlihat sama sekali.
Tak lama ia duduk kembali. Saat disinggung betapa tenaganya masih kuat saja, ia lagi-lagi terkekeh. Pipi keriputnya, seperti masuk disedot oleh sela-sela gusi yang sudah tak bergigi.
Dua tahun terakhir ini, ia berkutat di sepanjang jalan lingkup Kecamatan Banda Raya. Selama bekerja, ia menerima gaji sebagaimana mestinya. Walaupun jika dihitung-hitung, menurutnya, serba tak cukup. Tapi setidaknya bisa mengepulkan asap dapur keluarga.
Saat Banda Aceh menjuarai Adipura, ia pernah dua kali mendapat bonus Rp1 juta dan Rp1,5 juta. Untuk yang satu ini, menurutnya, walau Banda Aceh telah mendapat gelar Adipura keenam kali, bonus diterimanya secara bergiliran. “Kalau setiap juara uangnya dibagi semua, mana cukup.”
Selama sekian tahun bekerja, kata Abuwa Min, yang paling sering membuatnya kesal ulah warga dalam menjaga kebersihan. Banyak yang kurang perhatian tentang hal yang satu ini.
Ketika mendapat piala Adipura, kata dia, banyak warga bangga dengan kotanya. Banda Aceh bersih, rapi, dan lain sebagainya. Tapi untuk saling menjaga kebersihan, menurut Abuwa Min, warga kota mesti diajarkan caranya. Ia menggerutu ketika berbicara masalah ini.
Abuwa Min mengatakan, yang paling tidak menghargai kebersihan di kota ini adalah para pengguna jalan. Seenaknya, kata dia, mereka membuang sampah sembarangan.
"Kamu tahu, yang tak habis pikir lagi, orang yang bawa mobil. Buka kaca, buang tisu, botol minuman seenaknya saja. Pernah juga saya dapati ibu-ibu naik mobil mewah, buka kaca mobil, buang sue jagong di jalan. Itu saya ingat sekali. Dia buang tepat di depan saya selagi menyapu di jalan ini.”[]
Di depan sebuah musalla, di bawah sebatang pohon palem yang tumbuh di atas trotoar, ia mengaso. Ia duduk memanfaatkan beton trotoar sebagai alas.
Sebatang rokok daun nipah disulutnya. Matanya menerawang jauh, seperti menembus seliweran kendaraan bermotor yang dengan deru suaranya saja terasa memusingkan kepala. Tapi pria itu duduk santai seperti tak peduli.
Tubuhnya yang kurus dibalut seragam warna jingga. Ia memakai sepasang sandal jepit warna biru yang alasnya mulai menipis. Namun di balik kulitnya yang keriput, pria ini seperti menyimpan ketegasan dan wibawa.
Tak jauh dari tempat duduknya terletak sebuah tong sampah dorong berwarna sama dengan seragamnya. Di dalam tong, seperangkat alat sapu menyatu dengan sampah seperti dedaunan kering, botol air mineral bekas, kantong plastik, dan beberapa jenis sampah lainnya.
“Ada perlu apa?” tanyanya saat ATJEHPOSTcom mengajaknya bicara. Awalnya ia terkesan kurang bersahabat. Ia juga tak menoleh ketika disapa.
Namun saat disinggung soal Piala Adipura yang baru saja diraih Banda Aceh untuk keenam kalinya, pria tua ini terkekeh.
“Orang mana tahu Adipura itu diperoleh bagaimana. Yang orang tahu kan, kota mereka bersih, layak dapat Adipura,” ujarnya sembari sambil menyeka dahi setelah membuka topi warna coklat yang lusuh.
Ia tahu Banda Aceh kembali mendapat gelar kota terbersih se-Indonesia dari teman-temannya. “Ya, kita bersyukur saja kalau kota kita memang mendapat piala lagi,” ujarnya.
Namanya M Amin, warga Ulee Kareng, Banda Aceh, yang telah lama bekerja menjadi penyapu jalan. “Banyak yang panggil saya Mat Amin. Tapi sering juga dipanggil Abuwa Min,” ujarnya sambil terkekeh lagi.
Saat ditanya tahun lahirnya, ia menggeleng sembari berujar, “Umu lon paleng na 60 thon. Kureueng na, leubeh tan. Bek ka tanyong thon lahee, hana teucatat. Nyang na lon ka lhee droe cuco, aneuk limong (Umur saya 60 tahun. Jangan tanya tahun lahir, tidak tercatat. Yang jelas, saya sudah punya tiga cucu, anak lima).”
Bagi Abuwa Min, mendapat Adipura atau tidak, itu tak terlalu penting baginya. Yang penting, bagaimana ia bekerja dengan baik dan bisa menghidupi keluarganya. Tapi, Abuwa Min bangga, hasil kerjanya bersama rekan-rekan mendapat penghargaan secara nasional.
Tiba-tiba Abuwa Min berdiri menuju ke tong sampah untuk membuang rokok daun nipah. Dari gaya jalannya, langkah yang berkesan ringkih tidak terlihat sama sekali.
Tak lama ia duduk kembali. Saat disinggung betapa tenaganya masih kuat saja, ia lagi-lagi terkekeh. Pipi keriputnya, seperti masuk disedot oleh sela-sela gusi yang sudah tak bergigi.
Dua tahun terakhir ini, ia berkutat di sepanjang jalan lingkup Kecamatan Banda Raya. Selama bekerja, ia menerima gaji sebagaimana mestinya. Walaupun jika dihitung-hitung, menurutnya, serba tak cukup. Tapi setidaknya bisa mengepulkan asap dapur keluarga.
Saat Banda Aceh menjuarai Adipura, ia pernah dua kali mendapat bonus Rp1 juta dan Rp1,5 juta. Untuk yang satu ini, menurutnya, walau Banda Aceh telah mendapat gelar Adipura keenam kali, bonus diterimanya secara bergiliran. “Kalau setiap juara uangnya dibagi semua, mana cukup.”
Selama sekian tahun bekerja, kata Abuwa Min, yang paling sering membuatnya kesal ulah warga dalam menjaga kebersihan. Banyak yang kurang perhatian tentang hal yang satu ini.
Ketika mendapat piala Adipura, kata dia, banyak warga bangga dengan kotanya. Banda Aceh bersih, rapi, dan lain sebagainya. Tapi untuk saling menjaga kebersihan, menurut Abuwa Min, warga kota mesti diajarkan caranya. Ia menggerutu ketika berbicara masalah ini.
Abuwa Min mengatakan, yang paling tidak menghargai kebersihan di kota ini adalah para pengguna jalan. Seenaknya, kata dia, mereka membuang sampah sembarangan.
"Kamu tahu, yang tak habis pikir lagi, orang yang bawa mobil. Buka kaca, buang tisu, botol minuman seenaknya saja. Pernah juga saya dapati ibu-ibu naik mobil mewah, buka kaca mobil, buang sue jagong di jalan. Itu saya ingat sekali. Dia buang tepat di depan saya selagi menyapu di jalan ini.”[]
Comments
Post a Comment