Sebab Janji Uang Meugang


Di depan pagar Meuligoe Gubernur Aceh, orang-orang berkerumun. Ibu-ibu, calon ibu-ibu, anak-anak dan biangnya anak-anak sepakat teriak. "Mana Gubernur? Mana Pak Zaini? Kemarin katanya dibagi uang meugang hari ini. Mana buktinya. Kami butuh daging, untuknya uang Rp100 ribu jadi penting. Mana? Mana? Uangnya mana?" Aku bayangkan jika uang tak ada di dunia, orang-orang yang berkerumun itu tak mesti membuat capek pita suara. Aku bayangkan jika jabatan Gubernur tak ada, orang-orang tak akan sanggup pergi ke Jakarta jika memang jabatan Kepala Negara memang sudah wajib ada. Tapi nyatanya, hari ini, di kediamannya yang resmi, Gubernur dikepung. Dikurung. Dua pintu gerbang masuk ditutup rapat. Di pintu pagar itu pula orang-orang berkerumun bersandar-rapat. Beberapa becak terparkir di pinggir jalan. Beberapa bapak-bapak berdiri di belakang perempuan. Semua menghadap pagar. Ratusan paha mereka juga membentuk pagar. Seperti ingin mengatakan, "Jangan biarkan siapa pun keluar! Seekor semut sekalipun". Aku bayangkan tahun depan orang-orang yang berkerumun jadi Gubernur semua. Sementara Gubernur yang sedang di kepung dalam Meuligoe sana jadi rakyat seorang. Balik posisi maksudnya. Gubernur puluhan atau ratusan, rakyat hanya satu badan saja. Kalau yang kubayangkan itu benar terjadi, maka yakin dan tobatkanlah kalau sang pembual paling brutal itu adalah aku. Tapi kalau takdir Tuhan memang begitu, maka aku hilang bayangan. Kecuali tahun depan itu, ratusan gubernur gila sendiri menghadapi seorang rakyat yang juga sekarat sendiri. Meugang adalah tradisi turun temurun di Aceh. Turun dari titah raja untuk menyantun siapa pun rakyat yang papa. Meugang tetap berjalan di Aceh walau raja telah mangkat membawa pulang segala kejayaannya. Meugang tetap berjalan walau raja telah mangkat membawa pulang segala yang jaya, walau menyisakan temurunnya yang papa. Hingga hari ini, meugang di bawah pemimpin Gubernur Zaini, rakyat papa dan beberapa di antaranya pura-pura papa mengeroyok Meuligoe. Menghunus kata-kata tajam, berteriak dengan lafaz yang jika secara kasar kumaknakan berbunyi; "Mana uang? Mana uang? Ini sedang meugang!" Saat menulis tulisan dan mengupload jepretan ini, kuputar satu lagu The Panas Dalam yang liriknya terdengar begini: "Salah sendiri kenapa menjadi inul, tiap bergoyang dimarah rhoma. Salah sendiri kenapa menjadi rhoma, harus melarang inul bergoyang. Salah sendiri kenapa jadi presiden, harus mengatur, harus memimpin. Salah sendiri kenapa menjadi rakyat, harus diatur, harus dipimpin..." Jadi begitulah!



Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra