Menolak Lupa Tragedi Diana

tulisan ini telah dimuat sebelumnya di the atjeh post 
dengan judul Setelah Diana Berada Di Surga


AMIRUDDIN, dalam keadaan payah hari itu. 4 April lepas zuhur di ruang Kanit I Polresta Banda Aceh ia tampil dengan balutan seragam tahanan berwarna oranye bernomor dada 44. Bersama teman ‘seperjuangannya’ Hasbi, ia hanya menunduk saja dan tak berani bertatap muka. Perlahan saja ia beri keterangan. Dengan bibir yang malas digerakkan, ia mengaku, “Saya dan Hasbi memperkosa dan membunuh Diana.”

Amiruddin mengaku. Hasbi mengangguk setuju. Diana telah dimangsa syahwat kesumat mereka. Ada cerita beringas terdengar. Cerita yang membuat pikiran kita terasa bingar oleh sadisnya ulah yang tak punya hati dan akal. Begitulah. Cerita keduanya, bagi kita yang punya akal dan nurani, bisa bikin mual-mual. Kita mesti membelokkan cerita kepada isu tentang bagaimana perasaannya ketika mengeksekusi seorang bocah tanpa dosa.

Sekali lagi keduanya lesu. Ruangan jadi bisu. Sementara sang penyidik memendam geram. Keduanya tak bersuara, kecuali mengangkat wajah untuk bersitatapmuka. Di wajah Amir yang sedikit penyok, mimik bersalah tak tahu di mana. Dan Hasbi masih saja menghiba.
 
Kita tak tahu harus terlibat dalam dendam yang bagaimana. Harus memperlakukan keduanya seperti apa. Kita sama sekali tak tahu jika emosi demikian menguasai. Namun, sebab kita yakin Diana telah berada di surga, bisa kita simpan kesumat sambil mengulum gerutukan gigi.

Sejenak Hasbi mengangguk sembari dengan harap hiba ia bercerita tentang mimpi. Mimpi Diana yang sekonyong-konyong datang dalam keadaan telanjang, dan Amiruddin ikut serta menghiba. Saat ini keduanya mengharap hiba. Dan kita tak bisa mengukur kedalaman hiba mereka. Tapi Hasbi masih terus bersuara, “Saya tak tahu jawab apa-apa ketika Diana tanya kenapa saya tega melakukan ini padanya.” Lantas bagaimana kita menjawabnya?

Kita tentu tak tahu mau jawab apa sebab kita bukan pelaku. Tapi si pelaku sama sekali bisu. Sebisu Hasbi yang didatangi Diana malam kelam itu. Kita pun ikutan bisu. Diam menghela nafas dalam-dalam sambil mencoba melarikan diri dari cerita mimpi yang serupa kutuk, di sela-sela Hasbi yang sibuk memelintir ujung baju. Maka benar saja kita harus lari dari segala cerita. Beranjak meninggalkan ruang yang cemar oleh dua wajah yang menyisakan syahwat di mimiknya walau pun memasang raut hiba ketika ditanya bagaimana.

Mana sanggup kita korek lagi informasi. Kita sudah demikian gusar dan benar-benar ingin menghajar. Namun, sebab kita yakin Diana telah berada di surga, keinginan itu dengan sengaja kita bikin buyar. Bergegas kita keluar.

Di jalanan, di depan Polresta Banda Aceh yang di seberangnya melintas tenang Krueng Aceh, kita diam tak beranjak. Satu-dua labi-labi lalu lalang begitu saja. Satu di antaranya menepi dan sang sopir teriak mengajak kita pergi. Kita mau pergi ke mana? Kita mau sampai di mana? Labi-labi bersama sang sopir lalu setelah dua menit menunggu. Sementara kita diam menyatu dengan panasnya udara siang itu, sambil membiarkan pikiran bergelut dan mengeluarkan kedut: Harus kita kemanakan dendam cerita sadis itu? Harus kita ceritakan pada siapa laku dua pria yang layak dapat kutuk itu? Sementara di depan Masjid Raya orang-orang sedang riuh dibalut merahnya bendera.

***

Hari ini, 12 April 2013 di depan masjid Raya, usai salat Jumat kita sidik kembali Amiruddin dan Hasbi. Kita gantung mereka sebab ulahnya yang mahacelaka. Kita eksekusi keduanya dalam teatrikal simbolik aksi. Keduanya hadir dengan wujud yang tak asli. Tapi kita tetap saja tak boleh berpuas diri. Sebab, seperti kata Idrus bin Harun, “Dan kita di sini, masih terus diselimuti was-was dan waspada. Bahwa pelaku fedofilia terus bergentayangan mencari mangsa.”

Sampai di sini kita tahu, aksi hari ini bukanlah laku euforia belaka. Kita mawas diri sambil mengutuk si pelaku dan berharap tak ada Diana lain yang jadi korban esok hari nanti. Tragedi Diana tak boleh punya episode lanjutan layaknya sinetron Cinta Fitri di televisi.

Dengan aksi Jumat siang kemarin kita berlaku sama-sama awas, sama-sama cemas. Karena bukan tak mungkin, sebab tak bisa membendung luapan syahwat yang biangnya bertebaran di mana-mana, kelak akan datang Amiruddin dan Hasbi lain dalam wujud diri kita sendiri―na’udzubillah. Atau boleh jadi juga calon-calon Amiruddin dan Hasbi lain sekarang sedang menempa diri di dunia maya dengan memelototkan diri di layar komputer sambil ereksi―na’udzubillah sekali lagi.

Kita ingin tragedi Diana adalah sama dengan tragisnya tsunami. Tsunami yang membawa hikmah aman, hikmah perubahan. Tragedi Diana tak lebih mesti jadi amsal yang membawa hikmah akan riangnya dunia bocah sebagaimana lazimnya, tanpa ada lagi syahwat penyakitan mengintai polosnya tawa mereka. Hari ini kita ingin itu.

Kita ingin tragedi Diana dijadikan tugu peringatan tentang ihwal mula kita teriak perang terhadap segala bentuk kekerasan kanak-kanak. Kita ingin orang-orang berwenang bisa mengatur qanun khusus anak-anak Aceh sebagaimana mereka mengatur qanun bendera. Sebab, kita sama-sama tahu: zaman sedang dikerubungi banyak syahwat oleh tayangan vulgar televisi dan dunia maya yang tiap hari memelorotkan celana kita semua.

Ini penting. Kita tak mau tragedi pilu ini menguar di udara begitu saja. Harus kita jadikan tragedi Diana untuk mengingat diri. Lupakan wajah Amiruddin dan Hasbi yang memuakkan dan bikin mual perut. Kita mesti sama-sama bertekad dan berusaha, bagaimana pun caranya, agar tak lahir lagi pemuda-pemuda lain yang perangainya sama dengan perangai makhluk yang tidurnya di kandang itu. Memperingati tragedi Diana harus dijadikan cermin. Cermin tempat kita mematut-matut (baca: mengevaluasi) diri. Tempat untuk menakar-nakar sampai di mana kita berkasih sayang dengan sang anak dan sejauh mana kita memproteksinya sedemikian rupa hingga mereka tumbuh besar. Sebab walau pun kita tahu Diana telah bertempat di surga, lantas tidak begitu saja kita biarkan anak-anak kehilangan proteksi hingga dimangsa pengumbar syahwat sesat. 

Dan dari aksi tadi, kita berharap, orang-orang yang punya perangai seperti Amiruddin dan Hasbi mesti enyah dari muka bumi. Meski kita tahu dalam rombongan keduanya mesti ikut juga si tukang korupsi.


AMIRUDDIN, dalam keadaan payah hari itu. 4 April lepas zuhur di ruang Kanit I Polresta Banda Aceh ia tampil dengan balutan seragam tahanan berwarna oranye bernomor dada 44. Bersama teman ‘seperjuangannya’ Hasbi, ia hanya menunduk saja dan tak berani bertatap muka. Perlahan saja ia beri keterangan. Dengan bibir yang malas digerakkan, ia mengaku, “Saya dan Hasbi memperkosa dan membunuh Diana.”
Amiruddin mengaku. Hasbi mengangguk setuju. Diana telah dimangsa syahwat kesumat mereka. Ada cerita beringas terdengar. Cerita yang membuat pikiran kita terasa bingar oleh sadisnya ulah yang tak punya hati dan akal. Begitulah. Cerita keduanya, bagi kita yang punya akal dan nurani, bisa bikin mual-mual. Kita mesti membelokkan cerita kepada isu tentang bagaimana perasaannya ketika mengeksekusi seorang bocah tanpa dosa.
Sekali lagi keduanya lesu. Ruangan jadi bisu. Sementara sang penyidik memendam geram. Keduanya tak bersuara, kecuali mengangkat wajah untuk bersitatapmuka. Di wajah Amir yang sedikit penyok, mimik bersalah tak tahu di mana. Dan Hasbi masih saja menghiba.
Kita tak tahu harus terlibat dalam dendam yang bagaimana. Harus memperlakukan keduanya seperti apa. Kita sama sekali tak tahu jika emosi demikian menguasai. Namun, sebab kita yakin Diana telah berada di surga, bisa kita simpan kesumat sambil mengulum gerutukan gigi.
Sejenak Hasbi mengangguk sembari dengan harap hiba ia bercerita tentang mimpi. Mimpi Diana yang sekonyong-konyong datang dalam keadaan telanjang, dan Amiruddin ikut serta menghiba. Saat ini keduanya mengharap hiba. Dan kita tak bisa mengukur kedalaman hiba mereka. Tapi Hasbi masih terus bersuara, “Saya tak tahu jawab apa-apa ketika Diana tanya kenapa saya tega melakukan ini padanya.” Lantas bagaimana kita menjawabnya?
Kita tentu tak tahu mau jawab apa sebab kita bukan pelaku. Tapi si pelaku sama sekali bisu. Sebisu Hasbi yang didatangi Diana malam kelam itu. Kita pun ikutan bisu. Diam menghela nafas dalam-dalam sambil mencoba melarikan diri dari cerita mimpi yang serupa kutuk, di sela-sela Hasbi yang sibuk memelintir ujung baju. Maka benar saja kita harus lari dari segala cerita. Beranjak meninggalkan ruang yang cemar oleh dua wajah yang menyisakan syahwat di mimiknya walau pun memasang raut hiba ketika ditanya bagaimana.
Mana sanggup kita korek lagi informasi. Kita sudah demikian gusar dan benar-benar ingin menghajar. Namun, sebab kita yakin Diana telah berada di surga, keinginan itu dengan sengaja kita bikin buyar. Bergegas kita keluar.
Di jalanan, di depan Polresta Banda Aceh yang di seberangnya melintas tenang Krueng Aceh, kita diam tak beranjak. Satu-dua labi-labi lalu lalang begitu saja. Satu di antaranya menepi dan sang sopir teriak mengajak kita pergi. Kita mau pergi ke mana? Kita mau sampai di mana? Labi-labi bersama sang sopir lalu setelah dua menit menunggu. Sementara kita diam menyatu dengan panasnya udara siang itu, sambil membiarkan pikiran bergelut dan mengeluarkan kedut: Harus kita kemanakan dendam cerita sadis itu? Harus kita ceritakan pada siapa laku dua pria yang layak dapat kutuk itu? Sementara di depan Masjid Raya orang-orang sedang riuh dibalut merahnya bendera.
***
Hari ini, 12 April 2013 di depan masjid Raya, usai salat Jumat kita sidik kembali Amiruddin dan Hasbi. Kita gantung mereka sebab ulahnya yang mahacelaka. Kita eksekusi keduanya dalam teatrikal simbolik aksi. Keduanya hadir dengan wujud yang tak asli. Tapi kita tetap saja tak boleh berpuas diri. Sebab, seperti kata Idrus bin Harun, “Dan kita di sini, masih terus diselimuti was-was dan waspada. Bahwa pelaku fedofilia terus bergentayangan mencari mangsa.”
Sampai di sini kita tahu, aksi hari ini bukanlah laku euforia belaka. Kita mawas diri sambil mengutuk si pelaku dan berharap tak ada Diana lain yang jadi korban esok hari nanti. Tragedi Diana tak boleh punya episode lanjutan layaknya sinetron Cinta Fitri di televisi.
Dengan aksi Jumat siang kemarin kita berlaku sama-sama awas, sama-sama cemas. Karena bukan tak mungkin, sebab tak bisa membendung luapan syahwat yang biangnya bertebaran di mana-mana, kelak akan datang Amiruddin dan Hasbi lain dalam wujud diri kita sendiri―na’udzubillah.
Atau boleh jadi juga calon-calon Amiruddin dan Hasbi lain sekarang sedang menempa diri di dunia maya dengan memelototkan diri di layar komputer sambil ereksi―na’udzubillah sekali lagi.
Kita ingin tragedi Diana adalah sama dengan tragisnya tsunami. Tsunami yang membawa hikmah aman, hikmah perubahan. Tragedi Diana tak lebih mesti jadi amsal yang membawa hikmah akan riangnya dunia bocah sebagaimana lazimnya, tanpa ada lagi syahwat penyakitan mengintai polosnya tawa mereka. Hari ini kita ingin itu.
Kita ingin tragedi Diana dijadikan tugu peringatan tentang ihwal mula kita teriak perang terhadap segala bentuk kekerasan kanak-kanak. Kita ingin orang-orang berwenang bisa mengatur qanun khusus anak-anak Aceh sebagaimana mereka mengatur qanun bendera.
Sebab, kita sama-sama tahu: zaman sedang dikerubungi banyak syahwat oleh tayangan vulgar televisi dan dunia maya yang tiap hari memelorotkan celana kita semua.
Ini penting. Kita tak mau tragedi pilu ini menguar di udara begitu saja. Harus kita jadikan tragedi Diana untuk mengingat diri. Lupakan wajah Amiruddin dan Hasbi yang memuakkan dan bikin mual perut. Kita mesti sama-sama bertekad dan berusaha, bagaimana pun caranya, agar tak lahir lagi pemuda-pemuda lain yang perangainya sama dengan perangai makhluk yang tidurnya di kandang itu.
Memperingati tragedi Diana harus dijadikan cermin. Cermin tempat kita mematut-matut (baca: mengevaluasi) diri. Tempat untuk menakar-nakar sampai di mana kita berkasih sayang dengan sang anak dan sejauh mana kita memproteksinya sedemikian rupa hingga mereka tumbuh besar. Sebab walau pun kita tahu Diana telah bertempat di surga, lantas tidak begitu saja kita biarkan anak-anak kehilangan proteksi hingga dimangsa pengumbar syahwat sesat.
Dan dari aksi tadi, kita berharap, orang-orang yang punya perangai seperti Amiruddin dan Hasbi mesti enyah dari muka bumi. Meski kita tahu dalam rombongan keduanya mesti ikut juga si tukang korupsi.
- See more at: http://www.atjehpost.com/saleum_read/2013/04/15/48005/77/3/Setelah-Diana-berada-di-surga#sthash.M3Ednx1c.dpuf

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra