Kau Tahu Siapa Aku?

Adakalanya aku menjelma patung yang dipahat sembarangan oleh seorang tukang patung amatir. Adakalanya pula aku berupa manekin bekas terpajang sepi di sudut toko pakaian obral milik seorang pesakitan yang sejak dari lahir menderita ketimpangan otak sehingga agak sedikit susah kalau diajak berpikir. Meski begitu aku tak pernah mengeluh ketika pada saat-saat tertentu harus menjelma serupa ini atau itu. Aku sama sekali tak menggubrisnya kecuali hanya menjadikannya sebagai bagian dari hidup yang memang sudah begitu adanya.

Kadang sempat terpikir tokoh aku sendiri bukanlah benar-benar diriku yang sedang menulis ini. Aku yang menulis tulisan ini adalah tidak sama dengan aku yang membacanya. Atau bahkan tidak sama pula dengan aku yang ada di pikiranku. Aku sendiri, aku yang sempat berpikir, aku yang berpikiran, aku yang menulis, aku yang membaca, adalah keaku-akuan yang jika dijabarkan terdapat saling-silang sengkarut perbedaan.Tapi untuk mendefinisikan perbedaan pun, dengan terpaksa mesti kukatakan tidak punya pengetahuan sama sekali. Konon lagi untuk dijabarkan ke publik ramai di kampung-kampung yang menurut berita-berita orang luar mereka tak lebih dari sekawanan awam yang perlu diajar agar tidak lagi bersikap kurang ajar.

Keberadaan aku menyangkut stigma orang-orang luar, jika ada seseorang kurang kerjaan ingin mencarinya, maka ia akan menemukanku di luar. Terpisah dari orang-orang luar yang terus berkoar-koar. Terpisah pula dari sekawanan awam kampung yang dianggap perlu diajar sebab keterlaluan kurang ajar. Sampai di sini, yang perlu dicatat adalah aku bebas dari kedua subjek-objek, penganggap-dianggap, dan dengan seisi perutku sendiri bisa menyimpulkan tentang gerangan apa yang sedang terjadi.

Maka saat-saat terpisah dari dua hal inilah yang telah membuatku menjelma jadi aneka ragam bentuk, wujud, dan makhluk. Sering ketika penjelmaan aku menjadi hal-hal tertentu yang ramai orang tidak akan setuju jika kusebutkan satu-satu, aku merasa bahwa wujud asliku adalah penjelmaan, dan wujud imitasi adalah aku sebelum menjelma jadi sesuatu.

Tentang hal yang kutulis ini, aku juga yakin banyak orang akan menyia-nyiakan waktunya hanya untuk sekadar berkerut dahi. Tidak hanya waktu terbuang sia-sia, dengan beberapa kerutan kulit di dahi juga bisa mengakibatkan kehilangan energi seper-sekian juta sel kalori.

Namun, jika ditanyai orang tentang arah kemanakah yang diinginkan 'aku yang menulis' ketika menulis tulisan yang sedikit jadah jika ditinjau dari segi maknanya ini, aku mesti mengadakan rapat paripurna untuk itu. Rapat paripurna bersama para aku yang telah kujabarkan posisinya pada paragraf sebelumnya. Jika sudah kutakatan dan kuterangkan begini rupa, maka kesimpulan terakhir dari tulisan ini adalah: "Untuk menjadi kau, aku mesti betul-betul tahu siapa aku. Kalau tidak bagaimana bisa aku mengaku."

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra