Seks dan Tragedi

SEKS hadir seiring Adam diciptakan Tuhan di surga. Kemudian ia berkembang seiring manusia terdampar hidup dan beranak-pinak di dunia. Maka konflik pun bermula.

Timbul tenggelamnya sebuah kebudayaan tidak mempengaruhi seks untuk hilang dengan serta merta. Zaman kuno sampai zaman modern kontemporer sekalipun, seks tak pernah raib. Sebab tak ada seorang pun yang membantah, pentingnya seks adalah sebagaimana pentingnya udara.

Seks punya catatan penting dalam motif kekuasaan. Tragedi Habil dan Qabil contohnya. Tak bisa ditentukan siapa yang salah dalam fakta begitu rupa. “Ironinya, ada yang mati agar ada yang hidup. Kita dapat mengatakan, kemaluan sepenuhnya berdiri di balik tragedi itu,” tulis Aslan Abidin dalam bukunya Bahaya Laten Malam Pengantin.

Dalam hal ini otoritas religi mengambinghitamkan iblis atau syaitan. Menurut Aslan, saat dapat tuduhan, iblis berkelit: “Oe, jangan asal tuduh. Saya hanya menjelma ular dan gagak, semata sebagai penyedap cerita.” Intinya Aslan Abidin, si penyair Makassar itu, punya pendapat kalau si iblis tak pernah bisa menjalankan misinya jika seks tidak ada.

Segaib apa pun seks, ia punya wujud kontradiktif. Satu sisi sebagai biang keturunan, satu sisi lainnya menimbulkan banyak persoalan. “Di mana ada kemauan, di sana ada jalan. Di mana ada kemaluan, di sini ada persoalan,” sebut Pidi Baiq, pentolan The Panas Dalam pada akhir lagunya yang berjudul Cita-citaku.

Ungkapan Pidi Baiq sungguh bukan tanpa alasan. Dunia mencatat bahwa seks adalah suatu hal yang tak habis-habisnya dibicarakan. Persoalannya sekarang terletak pada bagaimana seseorang atau masyarakat membicarakan perkara seks itu sendiri. Ada yang bicara blak-blakan, ada yang menutup-nutupi seolah-olah seks itu tabu untuk diungkapkan. Dan ia tak bisa diungkapkan dalam ruang-ruang publik. Harus dengan bisik-bisik.


Peradaban yang gemilang adalah peradaban yang mampu membicarakan dan mencatat hajat hidup manusia secara terbuka. Termasuk membicarakan dan mencatat seksnya juga. Keterbukaan tentu saja menolak rahasia. Kata banyak orang, rahasia adalah biang penasaran. Dan rasa penasaran adalah salah satu pangkal kejahatan.

Sejak dari dulu orang-orang sudah sadar tentangnya. Kalau tidak, mana mungkin orang Romawi punya Ars Amatoria (The Art of Love), Vatsyayana menulis Kamasutra, Serat Nitimani tercipta di Jawa, dan kitab lontara Assikalaibineng beredar di Makassar. Kesemua nama-nama itu adalah judul literatur pendidikan seks yang sudah ada berabad-abad silam sebelumnya.

Dalam konteks seks, keterbukaan bahasannya harus dibungkus dengan pendidikan. Sebab, pendidikan punya caranya sendiri dalam menyajikan seks agar tidak terdengar vulgar di telinga dan memicu naiknya libido dalam kepala. Itu makanya, pendidikan seks adalah penting.

Ajaran pastoral Kristen menjadikan seks sesuatu yang dengan sendirinya harus diakui sebagai dosa, tulis Michel Faoucault dalam La Volonte Histoire de la Sexualite. “Tetap menampilkan seks sebagai teka-teki yang membingungkan: seks bukanlah sesuatu yang bersikeras untuk menampakkan dirinya, melainkan sesuatu yang terus bersembunyi di mana-mana, seks seperti suatu kehadiran yang terselubung, yang kurang dihiraukan suaranya karena kehadiran itu berbisik begitu lembut dan sering kali samar-samar,” sambung filsuf plontos asal Prancis ini dalam bukunya.

Terhadap ujarannya itu, kita tahu bahwa Faoucault pada dasarnya ingin mengungkapkan, ketika seks dianggap tabu dan harus tertutup sedemikian rupa. Akan berakibat fatal jika suatu kali ia tersingkap secara tak sengaja. Seks ibarat bangkai. Akan terungkap juga jejaknya walau sudah dikubur baik-baik. Jika tidak baunya, ya tulang belulangnya.

Fakta sejarah telah mencatat banyak tragedi. Seks yang tertutupi kemudian terkuak dalam banyak skandal. Terbuka dengan pelbagai konflik, tanpa bisa dibendung selain menyisakan bisik-bisik yang berisik.
Meurah Pupok dipancung oleh sebab gairah. Keith O’Brien, Uskup Agung St Andrews dan Edinburgh, didepak mundur akibat nafsu kaum Sodom bersisa dalam nafsunya. Bahkan tokoh mutakhir yang bugil pada sebuah maghrib di salah satu salon Peunayong juga tak luput dari serapah. Walau tidak dihukum sebagaimana orang kecil yang dipanggung cambuk terkucil.

Dalam keadaan begitu rupa, harus dikemanakankah seks itu seharusnya?
Seks harus jadi ilmu. Harus jadi pengetahuan yang berkembang unsur ajaran dan filsafat di dalamnya. Ada wawasan sebab akibat tentangnya. Sebab, seks tidak saja terisi tentang tata cara mengumbar nafsu. Tidak juga tentang tingkah dungu seorang pria yang bersiul siut-siutan ketika melihat lenggok pinggul perempuan. Sampai di sini, kita tahu seks bukanlah perkara cabul. Hanya saja orang-orang kelewat takut membicarakannya walau dalam bentuk pelajaran sekalipun.

Maka bukan tidak mungkin, suatu saat, ketika berita berjudul “Seorang Janda Kepergok WH Sedang ‘Diplitur’ Tukang Kayu” terpampang di halaman sebuah koran. Kita sadar bahwa kecabulan itu berasal dari kepala kita sendiri. Bukan dari seks yang terus ditutup-tutupi. Sementara anak-anak kita semakin asyik dengan pesona yang ada dalam situs-situs web yang lazim kita buka diam-diam melalui telpon genggam.

Comments

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra