Egosentrisme Aceh
Aceh punya sejarah
panjang. Saking panjangnya kita yang hidup dalam generasi modern ini tak
sanggup menghitung atau mengukurnya. Yang dalam kepanjangan sejarah tersebut
telah terlalu banyak hadir fenomena-fenomena yang mencengangkan mata dunia.
Konon lagi mata Indonesia, sebagai negara yang menaungi negeri Aceh tempat kita
beranak pinak ini.
Kesempatan untuk bicara tentang
Aceh secara keseluruhan ―apalagi yang membicarakannya kita sendiri yang punya
KTP, KK dan berhak mendapatkan layanan JKA secara sah― adalah sama artinya dengan
memiliki waktu berbangga diri di depan orang lain. Sebab bukan isapan jempol
belaka bahwa Aceh adalah sebuah bangsa superior dalam tatanan kehidupan negara
Indonesia. Sebagai bukti, tak usah ngomongin zaman baheulanya Iskandar Muda. Cukuplah
kita menunjuk-nunjuk puncak Monas di Jakarta atau replika pesawat Indonesia
pertama di Blang Padang sana.
Yang jelas, dalam hal
berbangga diri di depan orang, kita adalah kaum yang tidak pernah alpa ambil
bagian. Bahkan dalam mengenang sewindu mahabencana tsunami Desember 2012 lalu,
ada juga yang dengan bangga cerita ke temannya di sebuah warungkopi. Katanya, “Kee nah, 27 droe abeh. Yang tinggai cit kee
sidroe. Meunyoe han, panee mungken kee na rumoh bantuan lhee!”
Pokoknya, bicara Aceh
dalam kelangsungan hidup negara Indonesia adalah sama halnya dengan
membicarakan keberadaan jantung dalam tubuh manusia. Bayangkan manusia yang
sakit atau malah tak punya jantung. Tentu akan wafu-‘anna (baca saja: maut)
dia.
Untuk itu jangan heran, kalau
dulu ketika GAM getol berperang dengan tentara negara seorang pakar politik
bilang, “Jika Aceh keluar dari Indonesia, jangan harap ini negara bisa hidup
lama.”
Untuk itu jangan heran
pula, jika Aceh itu memang harus dielu-elukan. Dispesialkan atawa diistimewakan.
Atau jika ia diumpamakan sebagai seekor kuda liar nan jalang, butuh padang
rumput khusus dan betina bahenol dan rupawan untuk menjinakkannya.
Lantas jika terhadap
analogi di atas, kita ditanyai orang tentang padang rumput dan betina yang
bagaimanakah telah disodorkan negara untuk menjinakkannya? Dengan gampang bisa
dijawab, “Owh itu? Otsus dan Parlok tentu saja!”
Selanjutnya kalau saja
kesempatan membicarakan Aceh masih punya waktu sisa. Bisa juga ditambahkan
bahwa dalam kehidupan Indonesia, hampir semua hal kebijakan negara, Aceh adalah
daerah prioritas utama. Kalau tidak percaya tunjukkan bukti seperti di atas
tadi. Mana ada daerah lain yang diberlakukan hukum beragama secara ketat dan kaffah? Mana ada daerah lain yang
dikasih otonomi khusus pertamanya? Daerah mana pula di Indonesia yang ada
partai lokalnya?
Atau jika dengan tiga hal
itu, si orang luar yang menyebalkan itu masih emoh juga mengakui Aceh sebagai daerah khusus nan istimewa di mata
telanjang Republik Indonesia. Tunjukkan bukti mutakhir lain. Katakan padanya
bahwa tak ada daerah lain yang gubernurnya melantik orang meninggal mengisi
bangku jabatan pemerintahan. Atau tantang dia, “Adakah daerah lain di Indonesia
yang mengukuhkan si terdakwa zina di kursi jabatan agama? Kalau ada, tunjukkan.
Kalau tidak, jangan macam-macam! Ini Aceh.”
Comments
Post a Comment