Kita Butuh Makan, Saudaraku!

Ya, saudaraku. Kita butuh makan. Butuh kunyahan berupa makanan yang mengandung gizi untuk perbaiki unsur-unsur tubuh. Kita butuh sesuatu untuk dimakan. Tapi sesuatu itu bukan semacam angin. Sebab jika makan angin, adalah angin pula yang sering keluar dari lubang angin. Ini bahaya. Sangat berbahaya bagi kelangsungan nikmat indera penciuman kita. Oleh karenanya, adalah hal yang patut ditertawakan jikalau kita yang setiap hari butuh makan, namun, setiap harinya pula kita hanya duduk-duduk saja. Kita tak bekerja selayaknya orang-orang yang mencari makan di luar sana. Kita masih asyik mendekam dan berdiam diri di kamar rumah, atau di warungkopi-warungkopi.

Pun begitu, adalah hal yang tak baik bagi akal, jika kita berpikiran bahwa hanyalah tubuh yang menuntut makan. Makan atas permintaan jasmani kita penuhi berkali-kali dalam sehari. Setiap hari. Dari hari ke hari. Sedang makanan rohani kita abaikan sedemikian rupa. Rohani di sini, kita amsalkan saja sebagai akal, tak usah kita maknai ianya dengan kata jiwa. Sebab, menurutku kata akal lebih enak di pakai, dan lebih lugas ketika hendak bertutur-menyampai. Juga, jika memakai kata jiwa akan terasa ribet dalam berlogika. Kita takut jika memakai kata ini malah ada yang menuduh bahwa kita ini sok-sok filsuflah, sok ngerti filsafatlah atau tuduhan-tuduhan lainnya.

Maka, adalah hal yang tak baik bagi akal, jika kita tak pernah memberi makan akal. Dengannya, lazimlah jika banyak di antara kita yang lemah akal, atau malah tak sehat akal. Ini terjadi bukan apa-apa. Bukan gara-gara kebodohan kita. Bukan juga sebab suatu kutukan atau takdir yang sudah digariskan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini terjadi, karena kita sering mengabaikan masalah bagaimana memenuhi kebutuhan makannya.

Barangkali kita lupa, atau merasa tak ingat sama sekali tentang makanan yang mesti dikonsumsikan akal setiap hari. Dalam hidup, kebanyakan di antara kita berpikir bagaimana mengisi perut saja. Sedang isi kepala kita biarkan terbengkalai, tak terhirau dan dibiarkan dalam keadaan kacau. Ini pemahaman salah, yang celakanya, kita sering tak sadar atau malah tak mengetahuinya sama sekali. Perut kerap kita sumpal dengan banyak makanan. Dalam sehari, tiga kali makan wajib yang kemudian tentu diikuti oleh pelbagai bentuk makanan sunat lainnya. Tapi di lain pihak kita kerap lupa dengan pemenuhan kebutuhan akal. Makanan yang perlu disantap akal.

Sebut seorang ahli, bermula tubuh manusia terbentuk dari dua unsur utama. Unsur materi dan immateri. Unsur materi berupa jasmani, dan immateri berbentuk rohani. Termasuklah di dalamnya jiwa, akal, hati, dan segala bentuk pikiran ghaib lainnya. Untuk ini adalah lazim unsur-unsur immateri itu diketahui sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kerohanian. Begitu juga sebaliknya, unsur materi itu terkandung di dalamnya unsur-unsur yang bersangkut paut dengan kejasmanian.

Lebih lanjut sang ahli menerangkan. Jikalau kebutuhan jasmani (materi) itu indentik dengan nafsu dan kebutuhannya tak jauh-jauh dari perihal berupa harta, tahta wanita; kebutuhan rohani lain lagi. Ia tak berhubungan dengan nafsu. Tapi sebaliknya. Sebab itulah, agama dan keyakinan mesti ada. Di samping kebutuhan-kebutuhan lain berupa bacaan, idea, dan unsur-unsur yang membutuhkan otak untuk berolah pikir. Maka bisa dibayangkan, bagaimana bego-nya seseorang yang melulu memenuhi kebutuhan jasmani tapi mengabaikan kebutuhan rohani. Ini orang tak bisa dibilang dungu, tapi celaka adalah kata yang layak diterimanya. Semoga saja kita tak termasuk dalam daftar nama-nama orang celaka. Orang-orang yang dalam hidupnya hanya tahu bagaimana cara menyumpal perutnya saja. Semoga!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra