Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. II (habis)
Stratifikasi
Sosial Dalam Ritual Keagamaan Masyarakat Maloh
Daerah Kapuas Hulu – Kalimantan
Barat
Stratifikasi
Sosial; Pengertian & Bahasan Singkatnya
Dijelaskan dalam Sosiologi; Suatu Pengantar karya
Soerjono Seokanto, bahwa selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang
dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka
hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis
dalam masyarakat tersebut.[1]
Lebih lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam
sosiologi dikenal dengan istilah social
stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum
(jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto
mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan social
stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[2]
Perwujudan gambaran
definisi di atas adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah
dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, menurut Sorokin, dasar
dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-kewajiban dan
tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota
masyarakat. Keterangan ini menunjukkan bahwa stratifikasi sosial merupakan suatu
cerminan kedudukan anggota masyarakat yang menempati posisi berbeda-beda antara
satu personal atau kelompok dengan yang lainnya dalam sebuah komunal masyarakat.
Posisi yang berbeda ini terjalin dalam bentuk jalinan vertikal, dari atas ke
bawah atau sebaliknya.
Berhubungan dengan
definisi yang dipaparkan sebelumnya, pandangan beberapa ahli sosiologi perlu
pula dijadikan pijakan dalam bahasan ini. Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Max Weber misalnya, di mana menurutnya stratifikasi sosial biasa ditentukan
oleh factor ekonomi, status, dan kekuasaan/politik.[3]
Dijelaskan pula bahwa setiap stratifikasi sosial adalah posisi yang pantas diperjuangkan
oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi yang lebih
tinggi.[4] Keadaan
yang digambarkan oleh Weber ini akan berlaku jika stratifikasi sosial yang
dimaksud adalah stratifikasi sosial dengan sifat terbuka. Sebab telah umum
diketahui bahwa sifat sistem lapisan dalam suatu masyarakat, dapat bersifat
tertutup (closed social stratification)
dan ada pula yang bersifat terbuka (open
social stratification).
Terhadap dua sifat
stratifikasi di atas, Soekanto menjelaskan bahwa yang bersifat tertutup
membatasi kemungkinan pindahnya seorang dari satu lapisan yang lain, baik yang
merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Dalam sistem demikian ini, satu-satunya
jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah
karena kelahiran. Sebaliknya dalam stratifikasi yang bersifat terbuka, setiap
anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri
agar dapat naik lapisannya. Pada umumnya sistem terbuka ini memberi perangsang
yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasangan
pembangunan masyarakat dari pada sistem yang tertutup.[5]
Maka berdasarkan pemahaman
yang telah dijelaskan, sebagai penguat keterangannya, dapat diambil suatu
contoh stratifikasi sosial yang bersifat terbuka terhadap status orang-orang
yang berilmu agama di Aceh misalnya. Adanya istilah teungku rangkang, teungku balee, teungku, abon/abu, teungku chik,
dan lain sebagainya merupakan penjelasan tingkatan keilmuan terhadap
masing-masing sebutan yang dimaksud. Dimana terkhusus dalam lingkungan
pesantren di Aceh, seseorang yang sudah dipanggil Abon/Abu dianggap sebagai
seorang yang ilmu agamanya sudah demikian tinggi dan mempunyai kedudukan yang
paling dihormati dalam komunal masyarakat setempat. Hal keadaan ini, berlaku
bagi siapa saja, karena tolak ukur pengukuhan status tersebut bukanlah ditinjau
dari segi keturunannya, tetapi dari segi keilmuannya.
Sebaliknya, dalam
stratifikasi sosial yang bersifat tertutup, status kedudukan seseorang dalam
masyarakat adalah dipengaruhi oleh garis keturunannya. Sebagai contoh yang
paling gampang didapati untuk penjelasannya adalah adanya sistem kasta bagi
dalam agama Hindu atau kebanyakan masyarakat India. Adanya pengklasifikasian
orang dalam empat kasta: sudra, veisha,
satria dan brahmana merupakan
stratifikasi yang tidak memungkinkan seorang berkasta sudra bisa naik pada
status veisha atau satria.
Profil
Singkat Masyarakat Maloh
Masyarakat Maloh
merupakan suku Dayak tersendiri, yang mendiami daerah Kapuas Hulu, Propinsi
Kalimantan Barat. Perkampungan masyarakat ini terpencar-pencar sepanjang
berbagai anak sungai Kapuas Hulu, termasuk sungai Leboyan, dan daerah-daerah sekitarannya.
Masyarakat Maloh merupakan petani pada daerah pertanian yang terletak di atas
formasi-formasi kuarter dan tersier yang berbukit-bukit dan agak bergelombang,
dan di tempat-tempat tertentu diliputi oleh tanah endapan yang subur.[6]
Dipaparkan pula berdasarkan
tulisan-tulisan pengamat suku ini sebelumnya, bahwa masyarakat Maloh mungkin
merupakan satu-satunya masyarakat pribumi Kalimantan yang mempunyai
spesialisasi dalam pembuatan barang-barang perak hias, dan ketrampilan ini,
mungkin lebih dari pada setiap ciri kebudayaan yang lain, sehingga membedakan
mereka dari suku-suku yang lain. Orang Maloh dapat juga dibedakan dengan orang
Dayak yang lain, karena bahasa, aspek-aspek tertentu upacara-upacara keagamaan
mengenai krisis hidup, tradisi lisan, dan beberapa hal dari kebudayaan jasmani
mereka. Tetapi, selain dari beberapa aspek tersebut, sistem stratifikasi
merupakan ciri utama masyarakat Maloh. Faktor inilah yang memungkinkan Victor
T. King melakukan penelitiannya terhadap masyarakat pedalaman Kalimantan Barat
ini. Juga berdasarkan kajian kepustakaannya, sistem stratifikasi sosial yang
dianut masyarakat Maloh ini telah banyak dicatat oleh para pengamat dunia dalam
kajian antropologi dan sosiologi.[7]
Dalam penelitiannya
yang memakai skema teori Max Weber, Victor menemukan bahwa dalam masyarakat
Maloh terdapat tiga kelas (stratifikasi) politis-ekonomis, kaum bangsawan,
awam, dan budak; serta empat tingkat status yang dinamai samagat (kaum bangsawan), pabiring
(orang-orang biasa), banua
(orang-orang dusun atau-atau orang awam rendah), dan pangkam (budak-budak).[8]
Stratifikasi
Sosial Dalam Ritual Keagamaan Masyarakat Maloh
Berdasarkan pengamatan
dan penelitiannya, Victor mengemukakan kaum bangsawan sebagai kelas ekonomi dan
politik dibedakan dari kaum penduduk lainnya dengan beraneka ragam lambang dan
status. Menurutnya lambang-lambang tersebut bersifat agamawi dan kosmologis. Dari
segi kepercayaan masyarakat Maloh secara umum, kaum samagat dipandang sakti, karena mereka menjadi turunan dari leluhur
pembentuk suku, serta dipandang sebagai kaum pahlawan legendaris yang memiliki
barang pusaka yang keramat dan sakti.
Kaum samagat ini terpelihara dengan tutulan (silsilah) yang panjang serta
terperinci, sedangkan jasa-jasa keperkasaan para pahlawan pria dan wanita dari
kaum ini dikisahkan dalam puji-pujian yang panjang-panjang dalam setiap upacara
keagamaan. Misalnya, ketika akan dibangun rumah panjang masyarakat Maloh
melakukan upacara persembahan sesajen kepada makhluk ghaib dengan menempatkan
kaum samagat ini sebagai tokoh sakral
upacaranya. Pada waktu upacara ini, para tokoh samagat dapat diketahui berdasarkan tempat duduknya yang berbeda
dengan masyarakat banyak, yaitu di atas gong atau di atas balai-balai yang
ditinggikan. Berikut juga yang membedakan tokoh-tokoh yang dimaksud adalah
dengan aneka ragam kosmologi yang dikenakan oleh mereka.
Dijelaskan pula, ritual
keagamaan masyarakat ini khususnya pada ritual kematian, sistem stratifikasi
nampak dengan jelas di dalamnya. Jika seorang bangsawan (samagat) meninggal,
adakalanya kaum budaknya dikorbankan untuk mengiringi pemiliknya di alam baka.
Peti jenazah mereka dihiasi dengan lambang-lambang kaum bangsawan dan
disemayamkan di lantai tertinggi dalam rumah jenazah dusun. Juga dapat diadakan
berbagai pantangan bagi seluruh masyarakat setempat dalam jangka waktu yang
lama dan serba berat, dimana pantangan ini wajib diindahkan oleh seluruh
penduduk setempat.[9]
Gambaran dalam beberapa
kutipan di atas merupakan contoh kecil atas apa yang telah diteliti oleh Victor
J. King terhadap masyarakat Maloh. Stratifikasi sosial yang tercermin dalam
tatanan kehidupan masyarakat ini jika dikaitkan dengan tipe atau sifat
stratifikasi yang dijelaskan para pakar sosiologi bukanlah jenis stratifikasi
yang bersifat tertutup (closed social
stratification). Hal keadaan ini seperti yang diterangkan Victor pada
bagian yang lain, di mana ia menyebutkan bahwa sistem stratifikasi dalam
lingkungan masyarakat Maloh bukanlah bersifat kaku. Berdasarkan hasil
pengamatannya, orang yang statusnya rendah, tetapi cakap, ulet, dan tekun,
dapat memperoleh martabat dalam lingkungan masyarakatnya dengan menjadi ‘orang
besar’, prajurit atau dukun, atau dengan membiayai, mengatur atau membimbing
upacara besar-besaran. Namun hal yang perlu digarisbawahi menurut Victor, bagi
masyarakat Maloh, antara martabat dengan tingkat seperti yang disebutkan
sebelumnya merupakan status yang berbeda satu sama lain. Walaupun seseorang
yang cakap, ulet dan tekun bisa memperoleh martabat sesuai pada tataran
prajurit atau dukun, dan lain sebagainya, tetapi ia tetap tidak bisa menaikkan
tingkatnya statusnya sebelumnya.
Secara sederhana dapat
dipahami bahwa dalam kasus stratifikasi masyarakat Maloh, jika martabat bisa
didapat karena jasa, kenaikan tingkat tidak dapat diperoleh dengan cara
demikian. Tingkatan seseorang hanya dapat diubah karena perkawinan. Maka dalam
keadaan kasus begini rupa, sifat open
social stratification tidak berlaku sama sekali. Ia hanya berlaku pada
tahapan kenaikan martabat anggota masyarakatnya saja, tetapi tidak berlaku
dalam halnya berkaitan dengan kenaikan status mereka.[]
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hal. 203.
aah maas ga tau mau koment apa,ini tenteng kehidupan sosial dan adat atau kebiasann masyarakatnya yah,,nimas ga begitu tau ,dulu nimas ambil sastra di kulaihh salam kenal balik mas,,nimas berkunjung
ReplyDeletememek anjing . aing neangan kalakah masyarakat dayak nu kapanggih .. geuleuh aing da.
ReplyDelete